Monday, October 13, 2008

Memaknai Puasa Sebagai Irtiqa'

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

TARGET utama ibadah puasa bagi umat Islam adalah taqwa. Untuk mencapai makhraj taqwa, orang harus melewati proses tertentu. Misalnya, orang dianjurkan ber-takhliyah, yakni: menghindar dari perbuatan yang tidak diredhai Allah dan dilarang Sunnah dan disusul dengan ber-tahliyah, yakni: memperindah moralitas dengan cara mempertebal amal tanpa menggugat nikmat yang diiming-imingi dalam al-qur’an dan Hadits.

Dengan begitu, orang yang hatinya tandus ketulusan, keikhlasan dan kejujuran akan merasa ghirah [cemburu] kepada moralitas yang terpancar dari ibadah puasa. Terjadinya proses dari ”takhliyah” menuju ”tahliyah” inilah yang dinamakan ’irtiqa’ atau ‘meningkatkan moralitas seseorang’. Dalam bahasa filosufis, pernyataan Umar bin Khattab: "semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib dariku", merupakan ’irtiqa’ yang sangat tinggi makhrajnya.

Diakui bahwa, masalah moral merupakan thema central manusia yang tidak akan pernah sunyi dari pembicaraan, sebab diakui bahwa, prilaku (moral) manusia salah satu faktor penentu: cepat atau lambatnya dunia ini karam. Jadi, moral mempunyai kaitan langsung dengan keselamatan alam dan manusia. Ibadah puasa dinilai bisa mengurangi kecepatan kehancuran moral dan memperlambat datangnya malapetaka. Dengan demikian: puasa, moral, keselamatan alam dan manusia saling berkaitan. Selain daripada itu, puasa sebagai wadah penyerahan diri secara total kepada Allah atas segala kesalahan dan kesilapan manusia. Maka, puasa dijadikan sebagai amalan bagi mereka yang ingin mensucikan diri. Hal ini sudah terjadi sejak dahulu kala. Indikasinya ialah, firman Allah yang berbunyi: ”Kuwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa”. Qur’an: surat al-Baqarah, ayat 183.

Petikan kalimat ”... sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu ...” nampak dari pengalaman di bawah: Sesudah menerima perintah ke-Rasulan, Nabi Daud berpuasa selang sehari sepanjang hayat beliau. Orang Yahudi, pernah berpuasa selama sehari di Mizpa, karena ”menyesali penyembahan mereka kepada Baal dan ingin berdamai dengan TUHAN” (1Sam 7: 4-6). ”Ester dan semua orang Yahudi di Susan-Persia berpuasa selama tiga malam” [Est 4:15-17]. Mereka berjuang demi keselamatan umat Allah”.Daniel menyesali kehancuran Yerusalem dengan cara berdoa, berpuasa.” ”Nabi Musa berpuasa di gunung Sinai ketika menuliskan perkataan perjanjian TUHAN di loh batu” (Kel 34:28; Ul 9:9). ”Nabi Isa berpuasa selama empat puluh hari siang dan malam” (Mat 4:1-11).

Dalam pandangan Nabi Isa, manusia sebenarnya tidak akan hidup hanya dari roti saja, tetapi dari setiap firman Allah dan janganlah engkau menguji Tuhan, Allahmu. Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu. Hanya orang yang merasa laparlah yang bergantung pada Allah. Umat Islam menjalankan ibadah puasa selama sebulan sebagaimana di-Sunnah-kan oleh Rasulullah S.A.W. Fakta ini membuktikan bahwa puasa merupakan amalan untuk meningkatkan moralitas di hadapan Allah dan sesama manusia yang sudah berakar sejak sekian lama dalam peradaban manusia.

Untuk membangun dan meningkatkan moralitas seseorang, salah satu cara ialah: menjalani latihan penyadaran jiwa dalam ’kém ramadhan’ (puasa) tentang: disiplin, kejujuran dan kesabaran. Ini penting, karena Rasulullah SAW bersabda: ”Puasa adalah separuh kesabaran” (diriwayatkan: Tarmizi dan Ibnu Majah). Kepada mereka yang menjalani latihan penyadaran jiwa ini dijanjikan Allah sbb: ”Sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q: an-Nahl, ayat 96). Demikian hebat effek daripada sabar, sampai-sampai Allah berfirman: ”Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka.” (Q: al-qashash, ayat 54). Bahkan lebih dari itu: ”Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang ducukupkan pahala mereka tanpa batas” (Q: az-zumar, ayat 10); ”Dan bersabarlah kalian sesungghunya Allah berserta orang-orang yang sabar” (Q: an-Anfal, ayat 46). Hanya saja, bagi orang muslim, dalam konteks ’irtiqa’ (‘meningkatkan moralitas seseorang’), jangan beranggapan atau jangan sampai tersirat dalam hati bahwa ini hanya iming-iming. Allah selamanya konsekuen dengan janji-janji-Nya.

Pendidikan kesadaran dalam ’kém ramadhan’, Komandannya ialah Allah: "Ku wajibkan atas kamu berpuasa..." (Q: 2 ayat 183). Perintah tahunan Allah ini, tidak memerlukan aturan birokrasi, karena kalimatnya jelas dan sistem pengawasannya pun tidak rumit: "Ketika anda tengah beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu" (Hadits). Disinilah perlu kejujuran dan keikhlasan, karena Allah senantiasa melihat dan mengawasi: ”Dan Tuhan-mu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan” (Q: 27, ayat 91). Jika dalam perjalanan keimanan [puasa] seseorang dihadang oleh rasa was-was, cara mengatasinya juga sederhana: "Orang-orang yang bertaqwa, bila mereka ditimpa was-was dari syaithan, maka mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (Q: al-A'raf, ayat 201). Jadi, ingat dalam kamus keimanan, bukan sikap pasif (diam), melainkan aktif begerak (pro-acitve).

Betapa pentingnya sabar yang berputik dari puasa, sehingga Ibnu Abbas menkalsifikasikan sabar dalam Qur'an kepada tiga kelas: pertama, sabar akan memenuhi kewajiban yang dibebankan Allah terdapat 300 tingkatan; kedua, sabar menahan diri dari larangan terdapat 600 tingkatan; ketiga, sabar atas musibah yang menimpa manusia dikenal 900 tingkatan. Kemampuan mengawal diri [sabar] akan menghindarkan manusia untuk tidak selamanya bertekuk-lutut kepada kehendak dan kepentingan pribadi. Tentang hal ini diingatkan: ”Dan manusia itu mengikut tabiat kikir” (Q: an-Nisa', ayat 128). Diharapkan, puasa mampu mengikis karakter-karakter negatif dalam diri kita. ”Dan siapa yang dihindarkan dari kekikiran dirinya, maka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q: al-Hasyar, ayat 9).

Sebetulnya, untuk menyelamatkan puasa, management organ tubuh sangat penting peranannya. Bayangkan, jaringan syaraf manusia menyediakan 8 milyar saluran, yang menurut para ahli neurolog, hanya 1/3 dari saraf manusia yang difungsikan dalam segala urusan. Syaraf inilah menampung: an-nafs amarah, an-nafs lawwamah, an-nafs muthmainnah, an-nafs radhiya, an-nafs mardhiyah, an-nafs arif billah, an-nafs qudsiyah, an-nafs kamilah, yang masing-masing punya kepentingan. Managemen organ tubuh dikendalikan oleh station utama, yaitu: Tazkiyatun nafs, yang mampu mengidentifikasi jenis informasi dan mengetahui pintu-pintu masuk syaithan ke dalam diri manusia.

Informasi tersebut ada bersifat "fujur" dan "taqwa". Hal Ini diketahui dari: ”... Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan... .” (Q:91, ayat 8). Jika ada informasi: ”pandangan adalah salah satu anak panah beracun diantara anak panah Iblis” (diriwayatkan: al-Hakim). Ini masuk jalur "fujur". Jika terdapat informasi: ”puasa itu sendiri adalah amanah, maka hendaklah salah seorang diantara kamu menjaga amanahnya” (Hadits, diriwayatkan: al-Kara'ithi), berarti masuk jalur "taqwa". Sistem kinerja organ tubuh yang baik, akan menjadikan puasa seseorang sebagai perisai yang mampu membentengi masuknya syaithan ke dalam lubuk hati. ”Sesungguhnya puasa itu adalah perisai: apabila salah seorang diantara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor dan jangan pula bertindak bodoh,..." (Hadits, diriwayatkan: Bukhari Muslim).

Bagaimanapun, puasa pada peringkat awal sangat sukar diselamatkan, jika hanya bergantung kepada faktor intern –yaitu: kesadaran pribadi walaupun sudah memahami arti dan kegunaan puasa– Faktor extern, tetap mempunyai peranan penting, seperti: legalitas hukum (Perda) yang mengatur tata tertib, sopan santun, adab, budi pekerti, penghukuman, dan toleransi dari kaum non muslim dalam masyarakat, sehingga ’irtiqa’ ( ‘meningkatkan moralitas seseorang’) bukan saja diandalkan dari upaya seseorang, melainkan juga dari rasa kebersamaan dan tanggungjawab bersama. Rasanya akan lebih asyik kalau memasuki 8 pintu surga bareng-bareng. Mudah-mudahan: ”Allah menunda hancurnya alam semesta ini, lantaran di tempat-tempat ibadah, manusia masih tetap memmuji-Nya.” [Hadits qudsi], terutama dalam bulan suci Ramadhan yang penuh nikmat, barakah dan ampunan. Insya-Allah.[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
[Serambi Indonesia, 16/09/08]

Artikel Terkait