Oleh: Yusra Habib Abdul Gani
ALQURAN adalah kompas hidup –petunjuk dan pembeda– bagi manusia. Hal ini tertera dalam (Q.S; Al-Baqarah:185) yang artinya: ”Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu...” Yang berarti, Alquran adalah referensi umum yang tidak hanya terbatas kepada umat Islam. Secara umum, Alquran memuat tema sentral manusia: hubungan manusia dengan Khaliq (Allah), hubungan antara sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam dan dari ketiga hubungan ini, lahirlah multi disiplin ilmu pengetahuan.
Alqur’anulkarim –petunjuk yang di dalamnya tidak ada keragu-raguan– (Q: Al-Baqarah:1), dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami proses ”editing” terhadap teks aslinya. Hal ini terbukti dari terdapatnya beberapa “mush’haf” [istilah lain dari Alquran, yaitu: kumpulan firman Allah yang ditulis dan dibukukan]. Namun begitu, umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad pada 17. Ramadhan, berdasarkan firman Allah: ”Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an...” (Q: Al-Baqarah, ayat 185).
Kita, adalah generasi Islam bertuah, yang siap terima jadi dari bacaan (qira’at) Alqur’an yang alhamdulillah sudah baku sekarang. Tetapi, pernahkah kita berpikir dan tahukah kalau sebelumnya terdapat puluhan mush’haf dan pelbagai versi qira’at yang beredar sepanjang perjalanan sejarah perkembangan Alquran? Maka untuk memperingati nuzulul Alquran, kita renungkan sejenak kisah perjuangan standarisasi, unifikasi dan kodifikasi Alqur’an yang tidak terlepas dari pebagai tantangan zaman.
Ketahuilah, bentuk Alqur’an yang kita saksikan dan baca sekarang baru berusia 85 tahun, setelah mengalami standarisasi bacaan Alquran (qira’at) lewat penerbitan Alqur’an dalam cetakan modern oleh pemerintah Mesir tahun 1924. Sebelum itu, Alqur’an dikenal dalam bentuk tulisan tangan yang bervariasi penandaan bacaan (diacritical marks). Idé pemerintah Mesir yang berhasil menyatukan beberapa mush’haf merupakan usaha yang luar biasa dan layak dipuji. Itu pula sebabnya, pemerintah Arab Saudi, telah bersedia menyumbang dana untuk mencetak ratusan ribu eksemplar versi Alqur’an (cetakan Mesir) yang dibagikan secara percuma kepada umat Islam seluruh dunia.
Sebenarnya, pada zaman khalifah ke-3, Usman Bin Affan r.a. (35.H) berkuasa; buat pertama sekali telah memerintahkan usaha standarisasi, kodifikasi dan unifkasi Alqur’an dengan maksud untuk menghindari terjadinya konflik intern, karena dikenal beberapa mush’haf yang masing-masing dinisbatkan kepada para sahabat Nabi, dimana penandaan bacaannya berbeda-beda dan beredar meluas dalam masyarakat Islam pada ketika itu. Usman Bin Affan dengan terang-terangan memerintah untuk membakar semua mush’haf yang beredar dalam masyarakat dan hanya “mush’haf Usmani” adalah satu-satunya yang diperkenankan dipakai pada ketika itu.
Usaha Usman Bin Affan r.a, ternyata tidak seluruhnya berhasil, sebab beberapa sahabat Nabi juga memiliki mush’haf masing-masing yang berbeda qira’at, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat. Mush’haf-mush’haf ini selain dalam bentuk tulisan, kebanyakan disimpan dalam bentuk hafalan. Jadi sangat sukar memberantasnya.
Mush’haf A’isyah (isteri Nabi Muhammad saw) misalnya, terdapat tambahan kalimat “washalatil ‘asri” dalam surat Albaqarah dalam ayat 238. Dalam hal ini, mush’haf Hafshah (isteri Muhammad saw) dan mush’haf Ummu Salamah sependapat dengan mush’haf A’isyah. Hafshah bahkan memerintahkan penulis mush’hafnya supaya apabila sampai pada surat Albaqarah dalam ayat 238, tulislah “washalatil ‘asri” sesudah kata “wusta”. Dalam mush’haf Ubay bin Ka’b terdapat kalimat: “lilladhina yuqsimun” dalam surat Al-Baqarah ayat 226. Dalam mush’haf Ibnu Zubair terdapat tambahan kalimat “fi mawasimal hajj” sesudah kalimat “min rabbikum” dalam surat Al-Baqarah ayat 198. Demikian pula terdapat kalimat: “mutatabi’ati fi” sesudah kata “tsalasati ayyam” yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 89.
Dalam mush’haf Ibn Mas’ud terdapat kalimat “warka’i wasjudi fissajidina” dalam surat Ali ‘Imran, ayat 43 dan kata: “watsumiha” sesudah kata “waqittaiha” dalam surat A-Baqarah, ayat 61. Selain itu, mush’haf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah al-Fatihah, surat Al-Falaq dan An-Nass, sebagaimana diakui oleh Ibn Nadiem, pengarang kitab al-Fihrist. Susunan surahnya pun berbeda. Sebagai contoh: surah ke-enam bukanlah surah Al-An’am, tapi surah Yunus. Ternyata, Ali bin Abi Thalib juga sepakat untuk tidak memasukkan surah al-Fatihah sebagian dari Alquran. Surat yang maha penting adalah pengantar, berdasarkan Hadits yang berbunyi: “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan bismillah maka pekerjaannya menjadi sia-sia belaka.” Abu Bakr al-Asamm (313.H), mengatakan bahwa: al-Fatihah hanyalah ungkapan penghormatan saat memulai membaca Alqur’an. Kalimat yang tertera dalam mush’haf- mush’haf tadi, tidak kita dijumpai dalam Mush’haf Usmani [teks Alqur’an yang ada sekarang]. Selain itu masih ada mush’haf lain, seperti: mush’haf Abdullah bin Amr bin ‘ash dan mush’haf Ibnu Abbas yang di sana-sini terdapat sedikit perbedaan.
Perbedaan antara mush’haf Usman bin Affan,r.a dengan mush’haf-mush’haf lainnya bisa dilihat dari pernyataan Aisyah (isteri Nabi Muhammad) bahwa: “Pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat”. Hal ini diulas dalam “Al-Itqan”, kitab yang ditulis Jalaluddin al-Suyuthi dan pendapat Aisyah r.a ini, diperkuat oleh Ubay bin Ka’b beserta sahabat Nabi lain, yang terdapat dua surah, yaitu: al-Khal’ dan al-Hafd dalam mush’haf mereka. Setelah Usman Bin Affan melakukan standarisasi, unifikasi dan kodifikasi, jumlah surah al-Ahzab menjadi 73 ayat saja [versi yang ada sekarang]. Sejumlah 177 ayat yang menurut Aisyah R.a raib dari surah al-Ahzab, diperkirakan tersebar ke dalam surah-surat lain. Dalam soal pemberian nama surah, hingga sekarang pun masih wujud, misalnya saja surat Al-insan versi terbaru sekarang, yang pernah juga dikenal sebagai surat Ad-dahr.
Pada gilirannya, pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65.H), telah mengambil kebijaksanaan untuk menghapuskan mush’haf Hafsah. Namun begitu, tidak berhenti di sini, sebab seperti sudah dikatakan sebelumnya, mush’haf-mush’haf tadi dihidupkan dalam bentuk hafalan dan bahkan ratusan tahun kemudian, qira’at mush’haf para shabat tersebut masih wujud. Misalnya: versi Warsh dari Nafi yang beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang beredar di Basrah.
Munculnya pelbagai versi qira’at sebenarnya berkaitan dengan Hadits yang berbunyi: “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.” Oleh Ibn Mujahid menafsirkan dan memilih 7 diantara, yaitu: qira’at Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).
Qira’at Alquran yang kita baca sekarang adalah salah satu varian dari pilihan Mujahid. Ini, belum lagi masuk tafsiran kata “sab’a” (“tujuh”) dalam bahasa Arab, yang selain berarti (7), juga berarti banyak. Ini akan runyam kalau Allah mewahyukan Alqur’an dalam beberapa dialek, bahasa, bunyi dan bacaan. Yang pasti Alqur’an diwahyukan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dalam redaksi original (‘arabiyya), sebagaimana firman Allah: ”Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Alqur’an dalam bahasa Arab...” (Q: Surah Asy-syuura, ayat 7). Selain itu, Allah berfirman: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q: surat Ibrahim, ayat 4). Inilah yang kita percayai dan imani! Walaupun kemudian mengalami proses “editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan dan pengaruh penguasa.
Pada saatnya nanti, dunia Islam akan hanya memiliki satu versi bentuk dan qira’at saja seperti yang ada sekarang, mengeser edisi lain yang secara diam-diam masih beredar di Maroko dan di beberapa negara lain. Akhirnya, pelajaran dan hikmah yang bisa kita petik di sini adalah: semangat dan idé dari para penulis mush’haf pada generasi awal Islam sepatutnya ditiru oleh generasi sekarang. Mau kita apakan alqur’an yang kita baca sekarang? Menghormati dan menjaga kesucian Alqur’an, berarti kita mesti kaya dengan idé dan berani melahirkan kreativitas, semangat pembebasan untuk mengkaji teks Alqur’an, membumikan Al-qur’an dalam bahasa hukum yang mudah dipahami dan tidak menakutkan manusia.
Alqur’an adalah referensi utama manusia, yang memuat paradigma ilmu. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (Q: Al-Qamar, ayat 17). Untuk memudahkannya, terdapat 99 kata kunci (Asma’ul husna) yang bisa diadopsi oleh manusia. Wallahu’alam bissawab!
Penulis adalah Director Institute for Ethnics Civilization Reserach,Denmark.
[Serambi edisi 7 September 2009.]
Wednesday, September 16, 2009
Selintas Kisah Alquran (Suatu Renungan)
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 7:24 AM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 Comments so far
artikel yang keren, izin ngopy om :)