Oleh Yusra Habib Abdul Gani
[Ini teks original dan edisi yang sudah diedit, dimuat dalam Tabloid KONTRAS, 02/04/2009] Malik Mahmud (Menteri Negara), dimana? Pemulangan secara paksa pelarian Aceh, mutlak kebijakan politik Suharto-Mahathir Muhammad. Sebelumnya, dilakukan “Operasi bujuk” dengan melibatkan intel TNI, segelintir ulama Aceh dan ”Aceh Sepakat Malaysia” yang waktu itu, Nur Juli sebagai Sekjen-nya dengan tujuan agar tapol Aceh mau pulang ke Indonesia,. Hal ini terungkap dalam Dokumen rahasia setebal 20 hlm. milik Atase militer Kedutaan RI, Kuala Lumpur, yang ditanda tangani oleh Kolonel Art, Erman Hidayat, Nrp. 23662, April 1997. Pada hlm. 6 tertera: ”Operasi Bujuk” yaitu dengan mengirim beberapa tokoh masyarakat dan ulama Aceh ke Malaysia dengan maksud membujuk mereka agar mau kembali ke Indonesia”.
GENAP 11 tahun sudah tragedi berdarah Semenyeh, yang tidak menyisakan marah dan dendam kesumat. Alhamdulillah! Cukuplah tahu sama tahu dan membiarkan peristiwa itu sebagai lelucon politik murahan bagi orang Aceh, yang sudah terbiasa bercanda dengan darah dan nyawa. Soré itu, 25/03 1998, antara jam: 17.00-19.00, seusai makan malam, para tahanan politik (tapol) asal aceh di kém Semenyeh merasa pusing, muntah-muntah dan rebah bergelimpangan. Makanan dibubuh racun berjangka untuk melemahkan saraf dan stamina. Suasana pun segera bertukar menjadi gundah, apa gerangan akan terjadi?
Di luar kèm, ribuan aparat keamanan siaga dengan sejata. Rupanya, 223 tapol Aceh dalam kèm ini hendak dihantar pulang secara paksa tgl. 26/03 1998. Berita ini segera menyebar ke: kèm di Lenggeng, negeri Sembilan (130 pelarian Aceh); kèm Macap Umbo Melaka (84 orang); kèm Juru, Kedah (24 orang) dan kèm Port Klang (11 orang).
Di kém Lenggeng, soré itu mendadak tapol Aceh diarahkan berkumpul dalam satu blok dengan dalih mau didata ulang. Karena tindakan ini men curigakan. Maka, sebelum makan malam berembuk dan diadakan voting: ”makan malam atau tidak”. Suara mayoritas memilih: tidak makan, karena khawatir menjadi korban racun. Para pembangkang memilih: makan. Akibatnya: mereka merasa pusing, muntah-muntah dan jatuh tergeletak. Perkara ini, tidak terjadi di kèm Macap Umbo dan kèm Juru. Tetapi, sejak jam: 16:00, kèm sudah dikepung oleh pasukan gabungan: Polisi Hutan, Polisi biasa dan militer lengkap dengan senjata.
Kebetulan, saya bersama Razali Abdullah Paya, Razali Abd. Hamid, Mahfudh Usman Lampohawé dan Muzakkir Abd. Hamid sedang berbincang dengan Timothy Farrit, pegawai Amnesty International dari London di Hotel Swiss Garden, untuk membicarakan kondisi aktivis GAM dalam kèm tahanan Malaysia. Dalam perjalanan menuju Hotel, seorang anggota Polis Malaysia menghubugi saya via HP: ”Yusra, semua rekan awak nak dihantar balik besok pagi”. ”Terima kasih atas informasinya”, jawab saya. Berselang beberapa menit kemudian, Yusuf Tjubo dari kèm Juru menelepon saya: ”Kamoë ka djikeupông lé aparat keamanan Malaysia deungon sendjata leungkap.
” Saya bilang: ”Prèh siat dalam sidjeuëm, akan ulôn hubôngi droëneuh, seubab kamoë keuneuk meurumpok deungon awak Amnesty International.” (”Tunggu dalam satu jam, akan saya hubungi saudara. Kami mau jumpa dengan pegawai Amnesty International.”) Usai bertemu, saya kontak Yusuf Tjubo. Sayang, HP-nya tutup.
Saat berbincang dengan Timothy, HP saya matikan. Di saat inilah situasi di masing-masing kèm sedang kritis. Saya beritahu kepada Timothy: ”Rakan kami akan dihantar pulang esok hari”, berdasarkan informasi yang saya terima sebelumnya.
Tapol Aceh dalam kém Lenggeng, segera menyusun taktik perang grilya. Berbekal pengalaman perang grilya, akhirnya (antara jam: 20:00-21:00) berhasil merobek kawat berduri dan merambah masuk belantara kebun Karet dan Kelapa Sawit. Hutan Lenggeng menjadi medan perang, kejar-kejaran berlangsung dalam gelap gulita.
Masing-masing unit pasukan bebas menentukan arah, mengadakan kontak ke luar dan memberi tahu posisi, agar team penyelamat dari Payajeras, Shah Alam, Gombak dan Kajang tepat pada titik tujuan. Kebanyakan selamat. Yang tidak selamat, tak ada lagi kabar berita. Di kèm semenyeh: rasa was-was, marah, pasrah, emosi, pilihan untuk mati atau hidup, bergolak dalam benak masing-masing. Tidak ada komandan yang memberi aba-aba. “Kiamat” sudah tiba. Ribuan pasukan bersenjata Malaysia nampak di depan mata, tinggal menghitung detak-detak jarum jam: hidup atau mati! Suara tangis, tahmid, tahlil dan takbir yang bergema, tidak mempan lagi mengurung tercetusnya “perang”. Sulaiman Ismail [kontak person] di Blok C memberi tahu saya bahwa, persis pada jam: 05.09, Blok: A, B dan D terbakar. Hal ini tidak diperkirakan sebelumnya oleh aparat keamanan. Pada (jam: 05:17), saya melaporkan situasi terakhir kepada Tengku Hasan di Tiro. Pesan beliau: “Jika mampu dielakkan dari hal yang negative, lakukan! Jika tidak, pertahankan maruah”. Pesan ini saya sampaikan kepada Sulaiman Ismail, pada (jam: 05:20).
Saat jarum jam menuju angka: 05:22, giliran Blok C terbakar. Pada detik terakhir ini, Sulaiman Ismail berpesan: ”... Bang, sebelum saya campakkan HP ini ke kobaran api, ma’afkan kami, salam kepada Paduka W.N dan kawan-kawan. Jika kami mati, jangan lupa do’akan.” Tidak lama kemudian berlangsung tragedi bedarah yang dipimpin langsung oleh Ketua Polis Negara, Rahim Noor. Mereka dipaksa naik lorry militer, terjadi perebutan senjata, bacok-membacok, pukul-memukul, mengikat, menggari. Inilah pertarungan yang tidak ada pihak yang memberi ampun dan yang diberi ampun. Akibatnya 14 pelarian Aceh ditembak mati, ratusan luka parah, belasan Polisi Malaysia mengalami luka ringan dan berat. Suasana yang sesungguhnya tidak bisa digambarkan di sini.
Kami menjalin kontak langsung dengan pimpinan GAM di Stockholm dan Sulaiman Ismail di kèm Semenyeh, dari sebuah markas di Bt-3 Gombak. Malangnya, gagal menghubungi Menteri Malik Mahmud di Singapore. Ketika suasana ini bergolak, Malik Mahmud sedang mengurung diri dalam kamar di rumahnya Jln. Ismail, Singapore. ”Dia dalam kamar di lantai dua, Yusra”, kata Nyak (Ibu kepada Malik Mahmud), ketika saya tanya: ”Dimana Menutroë. Ada berita penting yang perlu saya sampaikan, tolong panggil, Nyak”. ”Saya sakit, tak bisa panggil dia”, dalih Nyak. Amir Mahmud (Abang Malik Mahmud) juga mengurung diri di lantai satu. Sewaktu saya hubungi, waktu Singapore menunjukkan jam 19:00-22:00. Mustahil keduanya tidur, sebab mereka sudah biasa tidur, rata-rata di atas jam: 23.00 malam.
Bukan saja kami, pimpinan GAM dari Swedia pun gagal menghubungi Malik Mahmud. Barulah pada jam 08:30 pagi esoknya [26/03/1998], setelah saya dari KL dan Bakhtiar Abdullah dari Swedia meminta H. Abdullah Musa, Toa Payoh Singapore, supaya segera menggedor pagar pintu besi membangunkan Malik Mahmud. Saya pun melaporkan: ”Tadi pagi rekan kita dari seluruh kèm tahanan sudah dihantar secara paksa ke Indonesia melalui pelabuhan Lumut Perak dengan Kapal Perang Angkatan Laut RI. Sebanyak ratusan luka ringaan dan berat, 24 pelarian Aceh mati selama operasi penghantaran dari seluruh kèm menuju pelabuhan Lumut Perak.” Beliau kagét, seakan-akan tidak tahu, pada hal dalam surat elektronik, pada tgl. 24/12/2000, jam: 14:48:25, yang dikirim kepada saya, Nur Juli (adik ipar Malik Mahmud) mengaku ada kontak langsung dengan Malik Mahmud.
Tulis Nur Juli: ”Apakah sdr. ketahui saya menelepon, mengirim fax non stop berjam-jam dari French Embassy ke Singapura memberi laporan kejadian di KL, ketika sdr. sendiri sedang tersepit dalam peristiwa Semenyeh?” Malik Mahmud tidak ada kontak dengan Pemimpin GAM di Swedia dan Komite Pelarian Aceh di Malaysia, sebaliknya ada hubungan dengan Nur Juli. Dalam garis perjuangan, peristiwa semacam ini dinilai sungsang.
Pada 28. Maret, saya bersama Puan Siti Hajar (isteri Tengku Razak di Tiro) memberanikan diri pergi ke Hospital Kajang untuk melihat dan memastikan 4 sosok mayat asal tragedy Semenyeh yang disimpan dalam kulkas mayat sebelum dikubur.
Selain itu pada hlm. 17 disebut: ”Bilamana keberadaan organisasi ini (maksudnya: ”Aceh Sepakat Malaysia”. Penulis) telah mantap kembali, diharap dapat menahan pengaruh sisa-sisa GPK Aceh dan bahkan mampu membantu mempengaruhi sisa-sisa GPK tersebut untuk kembali kepangkuan RI.” Diantara hasilnya ialah: 11 aktivis GAM jebolan Libya berhasil dibujuk pulang ke Indonesia yang dihantar lewat pintu Konsulat RI, pulau Pinang. Sementara itu, yang dihantar pulang secara paksa diintrogasi dalam kèm tahanan TNI di Aceh didampingi ulama Tgk. Usman Kuta Kreung. Sebagiannya gila, stress dan cacat seumur hidup; sebagian lagi kembali segar, tetapi rapuh rasa kesetia-kawanan dan ditindih oleh bayang-bayang masa depan Aceh yang tidak menentu. Sekarang mulai berhitung: berharga atau ditimbang sekedar “boh Timon tjeukok peupeunoh raga”. Betapa pun pahitnya, tragedi Semenyeh adalah fakta yang tidak boleh disembunyikan, sebab ianya bagian dari sejarah Aceh. Sejarah adalah mahkamah yang paling adil mengadili prilaku manusia. Mau lari kemana?[]
*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
1 Comments so far
Setelah sekian lama menelan rasa penasaran, akhirnya sebuah "catatan yang Tercècèr dari Semenyèh" menelan habis semua rasa kekeliruan dan mengajari saya tentang begitu pentingnya menghargai sejarah yang dipenuhi dengan darah.
Terima kasih Teungku Yusra.