Saturday, April 4, 2009

Anggota Komite Kemana dan Bagaimana Epilognya?

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

[Ini teks original dan edisi yang sudah diedit, dimuat dalam KONTRAS, 02/04/2009]



PADA 25/03/1998, jam: 23:00, dari markas Bt-3 Gombak, saya coba mengontak Timothy Farrit via tlp., tetapi gagal. Selain itu, saya mengontak Ustaz Muhammad Sabu, [Ketua Pemuda Partai Islam Se-Malaysia (PAS)] untuk menyampaikan informasi tentang kronologi tragedi di Semenyeh. ”Yusra, mohon ma’af, saya tak ada masa untuk membantu, sebab esok hari mahu pergi menjalankan umrah ke tanah suci.” ujarnya.

Setelah menyaksikan tragedi Semenyeh lewat TV, kami: saya, Razali Abdullah Paya, Razali Hamid, Mahfudh Usman Lampohawé dan Muzakkir Hamid mulai berhitung: “Kemana?. Kami yakin bahwa: saya, Ishak Daud dan Razali Abdullah (Anggota Komite Pelarian Politik Acheh di Malaysia) akan menjadi target utama setelah peristiwa Semenyeh, karena senjata: parang, pisau, besi, rencong dan benzin yang dipakai dalam kèm Semenyeh diprediksi anggota Komite yang pasok. Satu-satunya jalan ialah menghindar. Kami hendak menuju Selayang. Sesudah Mahfudh membuka pintu belakang, ternyata patah balik: “Bang Yusra, awak njan saboh tumpôk prèh geutanjoë di likôt”. Maka bergegaslah kami keluar dari pintu depan yang alhamdulillah tidak dijaga. Kami naik Taxi ke arah Selayang.

Ternyata, sopir Taxi yang kami tumpangi seorang pensiunan Angkatan Laut: “Awak ni orang Aceh ya? Tanya dia. : “Ya” Jawab saya yang duduk di sampingnya. Kami mulai ”sèh-soh”, tidak konsentrasi lagi dan akhirnya berhenti di Masjid At-Taqwa, Batu Cave, Selayang. Kami minta tolong supaya Iqbal Idris segera datang menjemput. Setibanya di rumah Iqbal Idris di Klang, nampak ramai orang membahas issue Semenyeh. Secara umum, orang Aceh menghadapi keadaan darurat dan berjaga-jaga, menjalankan aktvitas sehari-hari, tidak melakukan hal-hal yang negatif. Situasi semakin genting karena pada jam: 9:00 pagi (26/03/1998), Ishak Daud diculik oleh pasukan gabungan (Intel Malaysia- Kopasus) saat menaiki mobilnya di kawasan Shah Alam, sementara Burhan Syama’un dan Syahrul Syama’un diculik oleh pasukan yang sama pada jam: 11.00 pagi di Jln. Raya Rawang. Ketiga-tiganya dibawa kabur ke Johor.

Dari sana diberangkatkan dengan kapal khusus menuju Dumai, Sumatera. Tokè Burhan setelah disiksa, dilemparkan ke laut Selat Melaka. Sementara Ishak Daud diikat, dibebani dengan batu dan ditarik mulai laut Johor-Dumai, Sumatera. Saat itulah Ishak berdo’a: ”Ya, Allah segera matikan saya, jika tidak perlu lagi untuk perjuangan kemerdekaan Aceh dan selamatkan jiwa saya jika perjuangkan masih memerlukannya.” Dengan kuasa Allah SWT selamat. Ini berarti, Ishak Daud adalah satu-satunya perenang di dunia, yang berhasil menempuh jarak antara Johor-Sumatera. Do’a ini terungkap saat Ishak Daud wawancara dengan dengan journalis Indonesia. Do’a Ishak Daud hanya berlaku sampai tgl. 08/09/2004, jam: 12:20,8, yang mati syahid dalam medan perang Aluë Ôn, Aluë Niréh bersama isterinya Tjut Rostina.
Sekarang tinggal dua orang lagi yang diburu: Yusra Habib Abdul Gani dan Razali Abdullah Paya. Dalam situasi yang kritikal ini, saya bersama Siti Hajar (Isteri Tengku Razak di Tiro) masih nekad menyamar dan baerhasil masuk ke Hospital Kajang, guna memastikan 4 mayat korban tragedi semenyeh yang disimpan dalam Kolkas Mayat.

Ya, kami melihatnya, pada 28/03/1998. Sekembalinya ke Klang, posisi saya dan Razali Abdullah sudah tercium oleh intel Malaysia. Rekan-rekan memberi aba-aba bahwa kawasan Klang –khususnya di sekitar Rumah Iqbal Idris– sudah dipagar betis oleh pasukan intel. Jam dinding sudah menunjuk angka pk: 14:30. Dengan kuasa Allah SWT, dalam cuaca panas menyengat, tiba-tiba turun hujang deras yang luar biasa. Di saat inilah, kami berdua diselamatkan oleh rakan-rakan menuju rumah Tokè Bustami di Bukit Beruntung yang bersedia menampung. Tugas Malaikat Israfil hanya berlangsung 15 menit, sebab ketika kami berada di jalan tol di luar kawasan Klang, hujan sudah reda. Dalam perjalanan, HP saya berdering. Yang bicara ialah Wali Negara, Tengku Hasan di Tiro. Dengan suara terputus-putus, W.N bertanya: ”Pakriban nasib droëneuh dkk. Yusra? Beutabah dan mandum njoë geurak nibak Po-teuh Allah. Ureuëng geutanjoë bèk sok-mok dan èmosi ” Saya jawab: “Teurimong geunaséh Tengku. Ét geutanjoë peugah haba njoë, alhamdulillah ulôn dkk mantong seulamat, teuma Ishak Daud, Tokè Burhan dan Syahrul ka djitjok bunoë beungoh. Bahthatpih lagèë njan, peuëkeuh neuprèh kamoë bandum keu mayèt dilèë, barô trôih beunantu nibak droëneuh? “Neuprèh Yusra, akan ulôn kontak soë-soë jang patut” Dialog berlangsung singkat dan jelas.

Tokè Bustami sudah pun meloby penyewa rumah di kawasan Bukit Beruntung yang belum ramai ditempati. Rumah ini disewa oleh sepasang suami/isteri muda, asal Aceh Besar. Kami berdua dititip di sini. Selama kami berada di sini, penyewa tidak banyak bicara dan tidak pula bertanya: ’apa gerangan dan mengapa datang ke sini?’ Mereka sangat sopan, hormat dan sama sekali tidak nampak raut mukanya ketakutan dan merasa terpaksa. Sesekali, dia menawarkan makanan, minuman dan menghadiahkan kaus oblong bertulis: ”Lengkawi” kepada kami berdua. Teurimong geunaséh adoë!

Rumah ini sejak tgl. 28-31 Maret 1998, berfungsi sebagai markas Komite. Tugas belum selesai, karena tahanan pelarian asal kèm Lenggeng yang berada di rumah Wan Botak di Bt-7 Gombak, keadaannya mencekam. Mereka mesti diselamatkan. Maka disusun strategi agar masuk ke dalam kantor UNHCR, Kuala Lumpur. Teknis di lapangan, tidak diketahui oleh siapa pun, kecuali: beberapa orang saja. Menjelang subuh tgl. 30. Maret 1998, Abu Rayek dan Iqbal Idris yang bertugas menjemput mereka di rumah Wan Botak di Bt-7 Gombak [lihat: pengakuan Yusuf Abdul Jalil] untuk dijebloskan ke dalam Kantor UNHCR, KL dengan menggunakan truck tanah. Missi rahasia ini berhasil, setelah mendabrak pintu gerbang Kantor UNHCR, KL.

Secara rahasia, saya sudah memberi tahu lebih awal kepada pegawai UNHCR via HP. bahwa: ”Akan ada tamu UNHCR yang tak diundang akan datang hari ini, mohon dilayani.” Mereka sudah maklum apa maksudnya. Beberapa menit kemudian, Truck tanah yang berisi orang Aceh, yang dikemudikan oleh Abu Rayek segera menabrak pintu gerbang besi kantor UNHCR, di Jln. Petaling. Mereka selamat masuk!
Peristiwa ini semakin merangsang Intel Malaysia: ”Di mana Yusra dan Razali berada?” Dalam situasi darurat ini, terus terang: saya pribadi, tidak mampu menggambarkan bentuk kesetiaan dari: sdr. Bustami, Muzakkir Manaf, Ibrahim Syamsuddin (KBS), Syarifuddin (Din Lapoh), Razali Hamid, Hasan Sabon, Iqbal Idris, Muzakkir Hamid, Mahfudh dan penyewa rumah yang melindungi kami: saya, Razali Abdullah selama berada di rumah yang dirahasikan itu.

Setiap malam mereka datang berkunjung untuk membicarakan langkah-langkah seterusnya. Kesetiaan mereka tidak bisa disipat dengan alat ukur meter, kecuali dengan perhitungan durasi masa: bila Izrail datang memanggil. Artinya: nyawa mereka siap dikorbankan, jika terjadi apa-apa terhadap kami berdua. Hasan Sabon berkata: ”Bang Yusra dan Bang Li mesti menjauh sementara dari Kuala Lumpur”. Satu-satunya pilihan ke rumah Bang Hasan Johor di negeri Johor Baru. Maka, Tokè Bustami ditugaskan mengantar kami dengan mobilnya sendiri ke Johor pada jam: 00:01 tengah malam, 31/03/1998. Kami berdua disembunyikan di atas toko yang disewa. Jaraknya kira-kira 15km. dari central kota Johor.

Sekali lagi, tugas Komite masih belum selesai, sebab ratusan lagi pelarian dari kèm Lenggeng bersembunyi di Kuala Lumpur dan daerah sekitarnya. Dari markas Komite di Johor, kami berdua mengatur strategi agar rakan-rakan dijebloskan lagi ke Kedutaan-keduatan negara asing. Untuk melancarkan hubungan antara Komite dengan Swedia, Singapura dan wartawan asing: saya minta sdr. Razali Hamid dari KL supaya mengantarkan mesin fax ke Johor. Saya dan Razali Abdullah keluar yang dihantar oleh Bang Hasan Johor menjumpainya di suatu lokasi rahasia. Akhirnya, team pendobrak berhasil menjebloskan pelarian asal Lenggeng ke beberapa Keduataan asing. Yang gagal hanya kedutaan Swissland, sebab sebelumnya (akhir tahun 1996) sudah ada kesepakatan antara Aceh-Swissland bahwa di masa depan, tidak menerima lagi pelarian yang memasuki Kedutaan Swissland. MoU tersebut ditanda tangani oleh Yusra Habib Abdul Gani, wakil Aceh {berdasarkan Mandat Kepala Negara Aceh, Tengku Hasan M. Di Tiro} dan Max Dahinden, wakil Swissland. Seperti diketahui pada tgl. 25/12/1996, M. Yasir, M. Yusuf, Zainal Abubakar, Juned dan Saiful Abdullah telah menduduki Kedutaan Swissland.

Dari sini, Komite membuat hubungan langsung dengan Tengku Hasan di Tiro dan Malik Mahmud yang sudah bangun dari tidurnya. Kami membuat kontaks dengan wartawan dan NGO asing untuk memberi informasi tentang tragedi yang menimpa orang Aceh di Malaysia. Saya melakukan interview langsung dengan Radio Australia dalam siaran bahasa Indonesia; mengontak Amnesty Internasional, wartawan NBC, NSC Australia, BBC, termasuk pegawai UNHCR, KL. Pada 12/04/1998, jam: 23:00, kami kaget dengan kedatangan Abdurrahman Ismail (Gurè Raman) dan M. Razi. Kami berdua yakin, mereka ditugaskan pimpinan GAM untuk mendampingi kami jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Pada 24/04/1998, Razali Abdullah bertandang ke Kuala Lumpur, meski seorang; untuk berjumpa dengan seorang pegawai NGO Amerika di sebuah Hotel di kawasan Bukit Bintang, KL. Malang datang tak berbau. Intel Malaysia sudah sudah berada dalam bus yang ditumpanginya sejak dari Johor lagi. Saat bus sampai di pintu gerbang Tol Sungai Besi, dia didekati oleh dua orang yang mengaku intel dan memberkasnya. Prediksi bahwa Razali Abdullah sudah diberkas, setelah saya beberapa kali mengontak via HP, tapi tidak ada respons. Setelah 60 hari diintrogasi, dia dijebloskan ke Tahanan ISA di Kemunting, Perak. [Sekarang: menetap di Norwegia]

Berarti tinggal saya yang belum diberkas! Setelah dipastikan Razali tertangkap, terus dikembangkan oleh intel. Malam itu juga Bang Hasan Johor mengevakuasi saya, Abdurrahman Ismail (Gurè Raman) dan M. Razi ke rumah Bang Ahmad (asal Pasé), yang tinggal dalam kawasan perkampungan di luar kota Johor. Rebah manok untôk peumulia djamèë. Teurimong geunaséh Bang Ahmad yang telah sudi menerima kami. Situasi semakin genting dan hampir menuju klimaks. Kami berpisah. Gurèë Raman dan M. Razi satu group, sementara saya disembunyikan oleh Bang Hasan Johor di sebuah flat, Lt-4 Taman Samudera Johor, rumah milik sdr. M. Saleh yang isterinya orang Melayu. Menjelang subuh, 27/04/1998, Bang Hasan Johor diberkas oleh intel di rumahnya. Tujuan penangkapan hanya satu: “Di mana kau sembunyikan Yusra?” Waktu itu, Bang Hasan Johor berjanji mau menunjukkan di mana posisi saya dengan syarat tidak dibunuh.

Katanya: “Jika tujuan Tuan-tuan menangkap Yusra untuk dibunuh, maka tidak akan saya beritahu dan saya rela dibunuh sebagai gantinya.” Setelah diberitahu bahwa saya ditangkap untuk tidk dibunuh, barulah Bang Hasan memberi tahu. Rencananya hari itu saya menyeberang menuju Sumatera. Sdr. Adli Batèë Ilieëk, ketua team penyelamat saya, sudah siap siaga. Tiba-tiba, saat saya sedang menunaikan shalat dhuhur, (baru mengucapkan takbir) dalam kamar, terdengar ketukan pintu. Michail Ong (Ketua Inteligen Johor) terus masuk kamar dan menyergap saya yang tengah shalat. “Benar kau Yusra?” “Ya”, jawab saya. Sementara 6 orang anak buahnya diperintahkan menggeledah semua sudut rumah tidak terkecuali toilet. Michail Ong merasa heran, sebab saya tidak memberi reaksi apa pun, tenang dan pasrah.

Kemudian dia melepaskan dan mempersilakan saya duduk untuk interview anak buahnya. Tuan rumah (Isteri M. Saleh), anaknya yang masih bayi dan keponakannya terkesima, terkejut dan terharu. ‘Siapa gerangan orang yang numpang dan yang saya beri makan-minum ini. Penjahat ulung-kah?’ Saya dituduh melanggar akta Intern Security Act (ISA) yang menggangu dan mengancam keselamatan dalam negeri dan memburukkan citra Malaysia di mata dunia asing. Barulah saya digari dan kami turun bersama. Di lapangan parkir, saya saksikan 20 mobil Polisi yang penumpangnya lengkap dengan senjata laras panjang.

Ramai benar Tuan” tanya saya: ”Mana tahu...Yusra...”. Jawab intel yang mengapit saya. Hari itu, saya merasakan sebagai tokoh ”besar” yang mendapat pengawalan 20 mobil Polisi, dikomandani langsung oleh Mikail Ong, Kepala Intel negeri Johor. Mobil yang saya tumpangi diapit dari depan-belakang. Setibanya di Kantor Pusat Negeri Johor, saya berbincang dengan Wakil Intel. Waktu itulah, muncul Bang Hasan Johor di kamar saya, dalam keadaan pucat, digari dan diapit oeh dua orang Polisi berbadan kekar. ”Benar dia Yusra?” Tanya intel. ”Benar” Jawab Bang Hasan. ”Ka meuphôm ulôn Bang, sabar dan tabah” Kemudian kami berpisah. Beliau kemudian mati syahid dalam perang di Temiyang, Aceh. ”Selamat jalan Bang!”

Pada jam: 18:30 saya dihantar ke Kuala Lumpur. Mobil yang saya tumpangi, diapit oleh 2 mobil dari depan-belakang. Sesampainya di kawasan Pasir Gudang, HP intel yang mengapit saya berdering: ”Selamat malam Tuan. Sudah sampai di mana dan bagaimana?.” ”Sekuntum bunga Mawar merah yang harum itu berada dalam genggaman dan siap kami serahkan kepada Tuan.” Jawabnya. Hati kecil saya berkata: ’Aku bukan Mawar merah, melainkan bunga Renggali.’ Setelah meringkuk dalam tahanan ISA selama 60 hari, pada 29. Juni diberangkatkan ke negara ketiga, Denmark.

Kisah nyata ini menggambarkan bahwa, dalam ukuran moral: kesetiaan orang Aceh merupakan refleksi dari falsafah pucuk Tebu yang dipancung dan direbahkan ke dalam tanah, mewariskan tunas-tunas, perdu dan rasa manis untuk dinikmati orang. Artinya, pelaku sejarah hanya mewarisi nilai moral yang pasti-pasti, mengharumkan tindakan kesejarahan dan maruah kepada generasi mendatang. Tidak ada orang yang paling bodoh dan zalim di atas dunia ini, kecuali: pemimpin yang mewarisi keputusan politik kontroversial, sehingga: terjadi konflik intern, konflik horizontal, rasa permusuhan dan dendam, saling membunuh, memutuskan ikatan persaudaraan diantara sesama ahli waris. Karena itu, hargai sejarah dan jaga maruah, jika tidak mau dicaci-maki, dicerca dan dihina oleh anak-cucu kita.

Fakta yang dipaparkan di sini sepenuhnya bersumber dari dokumen yang telah tercècèr selama 11 tahun di Malaysia yang berkat usaha dari isteri saya, Nurtini (Noni), yang begitu gigih telah berhasil menghimpunnya kembali. Selengkapnya akan saya tuangkan dalam buku: ”Jejak Langkah GAM di Malaysia”. Tetapi, sebelum disajikan, inilah sebagian cuplikannya.

Artikel Terkait