Yusra Habib Abdul Gani
Ultimatum Belanda kepada Aceh (26/03/1873), hari ini (26/03/2010) genap 137 tahun. Setelah Yew York Times (6/5/ 1873, London Times (April,1873) dan Basirat (surat kabar terkemuka Turki) mengulas secara rinci mengenai latar belakang perang Aceh, baru diketahui bahwa ultimatum yang berisi: (1). Turunkan bendera Aceh dan naikkan Bendera Belanda (warna merah, putih dan biru); (2). Aceh menyerah tanpa syarat kepada Belanda; (3). Serahkan seluruh bagian Sumatera yang berada dalam perlindungan Kesultanan Aceh; (4). Hentikan melalun di Selat Melaka; (5). Putuskan hubungan diplomatik dengan Kesultanan Usmaniyah di Turki, hanya diberi masa satu jam kepada Sultan Aceh untuk memberi jawaban. Setelah Mahmudsyah (Sultan Aceh) mengadakan sidang darurat Kabinet, jawabannya tegas: „menolak ultimatum dan Aceh siap perang.“
Ultimatum ini hanyalah klimaks dari upaya diplomasi yang buntu, sesudah sebelumnya diadakan rundingan antara antara Aceh-Belanda, dimana Turki sebagai mediator. Waktu itu, Belanda meminta kepada pihak mediator agar pembicaraan soal tuduhan Belanda yang diada-adakan itu, dilakukan secara langsung, tetapi Aceh menolak dan tetap mempercayakan Turki sebagai pihak penengah.
Rupanya, dua tahun sebelum meletus perang 1873 (artinya: sesudah Belanda-Inggeris menyepakati „Traktat London“ 1871); sebuah kapal perang Belanda merapat di perairan Aceh. Utusan Panglima perang Belanda turun ke darat dan menyampaikan pesan berisi: „Aceh mesti menyerah kepada Belanda dan atau memberi satu kota, tempat Belanda mangkal.“ Sehubungan dengan itu, juru runding Aceh naik ke atas kapal menjumpai Paglima perang Belanda dan menyampaikan amanah Sultan Aceh sbb: „Aceh adalah suatu negara merdeka dan aliansi dari Daulah Osmaniyah Turki. Jadi soal ini akan kami beritahu terlebih dahulu kepada pemerintah Turki.“ Sesudah itu kapal perang Belanda meninggalkan perairan Aceh. Demikian ulasan Basirat yang dikutip oleh Yew York Times, pada (6/5/1873
Nieuwhagen (ketua juru runding Belanda) secara sepihak menyampaikan laporan kepada Turki bahwa: kalau kapal dagang Aceh melintasi Selat Melaka, tak ada masalah. Tapi Aceh sering melanun di Selat Melaka dan hal ini merugikan kepentingan ekonomi Belanda. Bagaimanapun, Turki tidak mau pasang sebelah telinga dan perlu mendengar laporan dari pihak Aceh. Atas perintah Sultan, juru runding Aceh yang ulang-alik Aceh-Istambul, menyampaikan laporan bahwa: Belandalah yang kurang ajar dan sering memperlihatkan sikap arogan di Selat Melaka dan Sumatera. Misalnya: „Perjanjian Siak“ tahun 1958, dimana Sultan Siak dipaksa menyerah kepada Belanda, sementara Siak –dalam hubungannya dengan alliansi pertahanan keamanan Sumatera– berada diatas pundak Kesultanan Aceh. Aceh bagaimanapun, tetap melakukan patroli laut dengan kapal laut berbendera perang Aceh melintasi pantai-pantai Utara dan Selatan Sumatera dengan maksud mengurangi arogansi Belanda. Kerap terjadi bentrokan antara Angkatan Laut Belanda dengan Angakatan Laut Aceh. Patroli Angkatan Laut Belanda beberapa kali merampas bendera dan menahan kapal perang Angkatan Laut Aceh. Sebaliknya, Angkatan Laut Acehpun membalasnya dengan merampas kapal-kapal dagang Belanda, melucuti serdadu Belanda, membakar kapal-kapal dan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Belanda di Sumatera. Demikian juga Perjanjian Belanda-Sultan Deli, tahun 1858. Salah satu pointnya: „Sultan Deli mesti memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Kesultanan Aceh.“ Ini sudah tentu memicu konflik di Selat Melaka dan Sumatera. Padahal dalam ”Traktat London”, tahun 1824, salah satu pointnya menyebut: ”Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara Aceh. Inggeris-Belanda tetap menghormati dan menjaga neutralitas dengan Aceh. Mereka tahu kedudukan dan pengaruh Aceh sangat menentukan di Selat Melaka. Apalagi, pada 30/03/1857, antara Aceh–Belanda sudah disepakati suatu perjanjian perdagangan bilateral demi menghormati kemerdekaan Aceh dan menumbuhkan rasa persahabatan dan perdagangan. (Baca: Whitney Smith PhD. The Flag Bulletin September-October 2001. No. 201, volume XL.no 5, p. 190.) Argumentasi juru runding Aceh yang sangat logis, jitu dan akurat itu disampaikan berdasarkan amanah Sultan Aceh. [Hal ini berbeda dengan kualitas juru runding Aceh: Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah, Nurdin Abdurrahman dan Nur Juli dalam perundingan Helsinki, yang tidak memegang amanah pemimpin. Mereka mengaku bahwa: setiap perkembangan yang terjadi di meja runding, dilaporkan kepada Wali Negara. Ternyata W.N (Tgk. Hasan M. Di Tiro) baru mengetahui setelah diberitahu oleh Fadlôn Tripa dan baru membaca, setelah teks MoU Helsinki dikirim oleh Abdullah Ilyas via faxcimile kepada Tgk. Hasan M. Di Tiro pada 7/08/2005, jam 19:30 waktu Eropah dari Rotterdam, Belanda]
Yang sesungguhnya, laporan Nieuwhagen mau dijadikan sebagai salah satu alasan pembenar untuk menyerang dan tidak puas sebelum Aceh ditakluki serta disatukan ke dalam administrasi pemerintahan „Netherland East Indies.“ Padahal sudah diingatkan: ”menyatakan perang kepada Sultan Aceh dengan alasan pura-pura yang dicari-cari dan diada-adakan, paling banyak atas dasar yang tidak benar, yang dikarang-karang, sebagai “provokasi” semata-mata. Aceh akan melawan, jika kita serang” (Surat Multatuli kepada Raja Belanda.) ”Aceh bukan Jawa dan Siak”, kata Paul Van’t Veer, Perang Aceh. ”Saya khawatir jika kita serang Aceh, akan meruntuhkan wibawa, menelan kepahitan dan dimulainya kebangkrutan ekonomi yang sudah kita bangun beratus-ratus tahun lamanya.” (James Loudon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda). Perang akhirnya, tidak bisa dielakkan dan dunia sudah tahu hasilnya. Ribuan serdadu Belanda mati konyol, termasuk panglima perang Belanda –Kôhler– mati!
Walaupun Belanda berkoalisi dengan Inggeris lewat ”traktat London”, 1871, yang salah satu pointnya menyebut: ”Inggeris memberi peluang kepada Belanda untuk menyerang Aceh dengan kekuatan militer dan wilayah koloni Belanda –Gold Coast (sekarang Ghana)– di Afrika diserahkan kepada Inggeris dengan syarat membayar kompensasi“ dan J. W. W. Birch, Gubernur/Panglima Inggeris di Singapura mengeluarkan maklumat:: “larangan bagi seluruh koloni Inggeris mengeksport perlengkapan perang ke Acheh” untuk menggebuk Aceh, tokh Aceh tidak gusar menghadapinya.
Sebenarnya Inggeris-Aceh, masih terikat dengan: „Perjanjian Perdagangan dan Bea Cukai di Selat Melaka tahun 1603 dan Perjanjian Perdamaian dan Pertahanan Keamanan di Selat Melaka tahun 1819.“ Aceh mengingatkan Pemerintah Inggeris supaya menunaikan tugasnya membantu Aceh berdasarkan Perjanjian yang disepakati. Namun, Lord Granville, Menteri Luar Inggeris pada waktu itu dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman Zahir, Menteri Luar Negeri Aceh, pada 15 Juli 1873, bahwa: „Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya.“ Alasan mengkhianati Aceh karena Inggeris “sudah menanda tangani satu Perjanjian lain dengan Belanda yang isinya bertentangan dengan Perjanjian dengan Aceh.” Sebuhungan dengan ini, Majalah FRAZER’S MAGAZINE, menyifatkan „Traktat London 1871“ sebagai “satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah ditulis manusia”. Perjanjian Inggeris-Belanda, dimana barter antara Belanda-Inggeris disifatkan sebagai “satu tawar-menawar haram”. Bahkan Lord Standley Alderley (pembela Aceh), dalam Pidatonya, tgl. 28/07/1873, berkata: “Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Aceh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Aceh dan sudah dikalahkan dan digagalkan. Kejatuhan Aceh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tengara; kekecewaan besar akan dirasakan oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris–Belanda bukan saja merusakkan kemuliaan negara Inggeris, tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem penjajahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan dengan kebebasan perdagangan, hampir tidak berbeda dengan perbudakan –Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji”– sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Aceh, sebab negara Aceh berhak mengharap kita untuk tidak melupakan kemerdekaannya dari zaman purbakala dan sejarahnya yang gilang-gemilang, sebab Aceh sudah berdiri sebagai suatu negara merdeka ketika Belanda masih menjadi satu provinsi Sepanyol.”
Dalam sejarahnya, Belanda tidak pernah meng-ultimatum musuhnya terlebih dahulu, termasuk ketika mengalahkan Inggeris dalam medan perang Goodwin; menakluki wilayah Netherland East Indies, kecuali: kepada Aceh. Inilah fakta sejarah yang membuktikan bahwa Aceh adalah negara berdaulat suatu masa dahulu. Kisah ini bisa menyipat Aceh dalam takaran sejarah yang benar. Sebab, bangsa yang tidak tahu sejarahnya, tidak memiliki masa depan.[]
Ultimatum Belanda kepada Aceh (26/03/1873), hari ini (26/03/2010) genap 137 tahun. Setelah Yew York Times (6/5/ 1873, London Times (April,1873) dan Basirat (surat kabar terkemuka Turki) mengulas secara rinci mengenai latar belakang perang Aceh, baru diketahui bahwa ultimatum yang berisi: (1). Turunkan bendera Aceh dan naikkan Bendera Belanda (warna merah, putih dan biru); (2). Aceh menyerah tanpa syarat kepada Belanda; (3). Serahkan seluruh bagian Sumatera yang berada dalam perlindungan Kesultanan Aceh; (4). Hentikan melalun di Selat Melaka; (5). Putuskan hubungan diplomatik dengan Kesultanan Usmaniyah di Turki, hanya diberi masa satu jam kepada Sultan Aceh untuk memberi jawaban. Setelah Mahmudsyah (Sultan Aceh) mengadakan sidang darurat Kabinet, jawabannya tegas: „menolak ultimatum dan Aceh siap perang.“
Ultimatum ini hanyalah klimaks dari upaya diplomasi yang buntu, sesudah sebelumnya diadakan rundingan antara antara Aceh-Belanda, dimana Turki sebagai mediator. Waktu itu, Belanda meminta kepada pihak mediator agar pembicaraan soal tuduhan Belanda yang diada-adakan itu, dilakukan secara langsung, tetapi Aceh menolak dan tetap mempercayakan Turki sebagai pihak penengah.
Rupanya, dua tahun sebelum meletus perang 1873 (artinya: sesudah Belanda-Inggeris menyepakati „Traktat London“ 1871); sebuah kapal perang Belanda merapat di perairan Aceh. Utusan Panglima perang Belanda turun ke darat dan menyampaikan pesan berisi: „Aceh mesti menyerah kepada Belanda dan atau memberi satu kota, tempat Belanda mangkal.“ Sehubungan dengan itu, juru runding Aceh naik ke atas kapal menjumpai Paglima perang Belanda dan menyampaikan amanah Sultan Aceh sbb: „Aceh adalah suatu negara merdeka dan aliansi dari Daulah Osmaniyah Turki. Jadi soal ini akan kami beritahu terlebih dahulu kepada pemerintah Turki.“ Sesudah itu kapal perang Belanda meninggalkan perairan Aceh. Demikian ulasan Basirat yang dikutip oleh Yew York Times, pada (6/5/1873
Nieuwhagen (ketua juru runding Belanda) secara sepihak menyampaikan laporan kepada Turki bahwa: kalau kapal dagang Aceh melintasi Selat Melaka, tak ada masalah. Tapi Aceh sering melanun di Selat Melaka dan hal ini merugikan kepentingan ekonomi Belanda. Bagaimanapun, Turki tidak mau pasang sebelah telinga dan perlu mendengar laporan dari pihak Aceh. Atas perintah Sultan, juru runding Aceh yang ulang-alik Aceh-Istambul, menyampaikan laporan bahwa: Belandalah yang kurang ajar dan sering memperlihatkan sikap arogan di Selat Melaka dan Sumatera. Misalnya: „Perjanjian Siak“ tahun 1958, dimana Sultan Siak dipaksa menyerah kepada Belanda, sementara Siak –dalam hubungannya dengan alliansi pertahanan keamanan Sumatera– berada diatas pundak Kesultanan Aceh. Aceh bagaimanapun, tetap melakukan patroli laut dengan kapal laut berbendera perang Aceh melintasi pantai-pantai Utara dan Selatan Sumatera dengan maksud mengurangi arogansi Belanda. Kerap terjadi bentrokan antara Angkatan Laut Belanda dengan Angakatan Laut Aceh. Patroli Angkatan Laut Belanda beberapa kali merampas bendera dan menahan kapal perang Angkatan Laut Aceh. Sebaliknya, Angkatan Laut Acehpun membalasnya dengan merampas kapal-kapal dagang Belanda, melucuti serdadu Belanda, membakar kapal-kapal dan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Belanda di Sumatera. Demikian juga Perjanjian Belanda-Sultan Deli, tahun 1858. Salah satu pointnya: „Sultan Deli mesti memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Kesultanan Aceh.“ Ini sudah tentu memicu konflik di Selat Melaka dan Sumatera. Padahal dalam ”Traktat London”, tahun 1824, salah satu pointnya menyebut: ”Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara Aceh. Inggeris-Belanda tetap menghormati dan menjaga neutralitas dengan Aceh. Mereka tahu kedudukan dan pengaruh Aceh sangat menentukan di Selat Melaka. Apalagi, pada 30/03/1857, antara Aceh–Belanda sudah disepakati suatu perjanjian perdagangan bilateral demi menghormati kemerdekaan Aceh dan menumbuhkan rasa persahabatan dan perdagangan. (Baca: Whitney Smith PhD. The Flag Bulletin September-October 2001. No. 201, volume XL.no 5, p. 190.) Argumentasi juru runding Aceh yang sangat logis, jitu dan akurat itu disampaikan berdasarkan amanah Sultan Aceh. [Hal ini berbeda dengan kualitas juru runding Aceh: Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah, Nurdin Abdurrahman dan Nur Juli dalam perundingan Helsinki, yang tidak memegang amanah pemimpin. Mereka mengaku bahwa: setiap perkembangan yang terjadi di meja runding, dilaporkan kepada Wali Negara. Ternyata W.N (Tgk. Hasan M. Di Tiro) baru mengetahui setelah diberitahu oleh Fadlôn Tripa dan baru membaca, setelah teks MoU Helsinki dikirim oleh Abdullah Ilyas via faxcimile kepada Tgk. Hasan M. Di Tiro pada 7/08/2005, jam 19:30 waktu Eropah dari Rotterdam, Belanda]
Yang sesungguhnya, laporan Nieuwhagen mau dijadikan sebagai salah satu alasan pembenar untuk menyerang dan tidak puas sebelum Aceh ditakluki serta disatukan ke dalam administrasi pemerintahan „Netherland East Indies.“ Padahal sudah diingatkan: ”menyatakan perang kepada Sultan Aceh dengan alasan pura-pura yang dicari-cari dan diada-adakan, paling banyak atas dasar yang tidak benar, yang dikarang-karang, sebagai “provokasi” semata-mata. Aceh akan melawan, jika kita serang” (Surat Multatuli kepada Raja Belanda.) ”Aceh bukan Jawa dan Siak”, kata Paul Van’t Veer, Perang Aceh. ”Saya khawatir jika kita serang Aceh, akan meruntuhkan wibawa, menelan kepahitan dan dimulainya kebangkrutan ekonomi yang sudah kita bangun beratus-ratus tahun lamanya.” (James Loudon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda). Perang akhirnya, tidak bisa dielakkan dan dunia sudah tahu hasilnya. Ribuan serdadu Belanda mati konyol, termasuk panglima perang Belanda –Kôhler– mati!
Walaupun Belanda berkoalisi dengan Inggeris lewat ”traktat London”, 1871, yang salah satu pointnya menyebut: ”Inggeris memberi peluang kepada Belanda untuk menyerang Aceh dengan kekuatan militer dan wilayah koloni Belanda –Gold Coast (sekarang Ghana)– di Afrika diserahkan kepada Inggeris dengan syarat membayar kompensasi“ dan J. W. W. Birch, Gubernur/Panglima Inggeris di Singapura mengeluarkan maklumat:: “larangan bagi seluruh koloni Inggeris mengeksport perlengkapan perang ke Acheh” untuk menggebuk Aceh, tokh Aceh tidak gusar menghadapinya.
Sebenarnya Inggeris-Aceh, masih terikat dengan: „Perjanjian Perdagangan dan Bea Cukai di Selat Melaka tahun 1603 dan Perjanjian Perdamaian dan Pertahanan Keamanan di Selat Melaka tahun 1819.“ Aceh mengingatkan Pemerintah Inggeris supaya menunaikan tugasnya membantu Aceh berdasarkan Perjanjian yang disepakati. Namun, Lord Granville, Menteri Luar Inggeris pada waktu itu dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman Zahir, Menteri Luar Negeri Aceh, pada 15 Juli 1873, bahwa: „Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya.“ Alasan mengkhianati Aceh karena Inggeris “sudah menanda tangani satu Perjanjian lain dengan Belanda yang isinya bertentangan dengan Perjanjian dengan Aceh.” Sebuhungan dengan ini, Majalah FRAZER’S MAGAZINE, menyifatkan „Traktat London 1871“ sebagai “satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah ditulis manusia”. Perjanjian Inggeris-Belanda, dimana barter antara Belanda-Inggeris disifatkan sebagai “satu tawar-menawar haram”. Bahkan Lord Standley Alderley (pembela Aceh), dalam Pidatonya, tgl. 28/07/1873, berkata: “Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Aceh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Aceh dan sudah dikalahkan dan digagalkan. Kejatuhan Aceh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tengara; kekecewaan besar akan dirasakan oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris–Belanda bukan saja merusakkan kemuliaan negara Inggeris, tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem penjajahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan dengan kebebasan perdagangan, hampir tidak berbeda dengan perbudakan –Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji”– sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Aceh, sebab negara Aceh berhak mengharap kita untuk tidak melupakan kemerdekaannya dari zaman purbakala dan sejarahnya yang gilang-gemilang, sebab Aceh sudah berdiri sebagai suatu negara merdeka ketika Belanda masih menjadi satu provinsi Sepanyol.”
Dalam sejarahnya, Belanda tidak pernah meng-ultimatum musuhnya terlebih dahulu, termasuk ketika mengalahkan Inggeris dalam medan perang Goodwin; menakluki wilayah Netherland East Indies, kecuali: kepada Aceh. Inilah fakta sejarah yang membuktikan bahwa Aceh adalah negara berdaulat suatu masa dahulu. Kisah ini bisa menyipat Aceh dalam takaran sejarah yang benar. Sebab, bangsa yang tidak tahu sejarahnya, tidak memiliki masa depan.[]