Yusra Habib Abdul Gani
ACEH begitu rencam dengan pelbagai julukan, mulai dari yang menyenangkan hingga yang ngeri dan menakutkan. Saya adalah kolektor label-label Aceh dan menyimpannya dalam satu album. Pada halaman depan terdapat label “Serambi Mekah” untuk Aceh. Sebab dalam sejarahnya, Aceh bukan saja pembina, pusat peradaban Islam dan budaya Melayu, tetapi hukum positive Aceh-qanun Al-Asyi- ditransfer oleh beberapa negeri di kawasan dunia Melayu ke dalam hukum positive mereka. Jadi label ini, identik dengan aplikasi syariah Islam.
Pada lembaran berikutnya, terdapat label “Tipu Aceh”. Label ini megah dan hampir setara populernya dengan label “Serambi Mekah”. Dalam rentang masa 1858-1873, Belanda memberi label “Lanun Selat Melaka” kepada Aceh. Sampai-sampai Inggris tergiur dan mau mengkhianati Aceh dalam “Traktat London” tahun 1871. Label ini dijadikan isu utama oleh Nieuwhagen (juru runding Belanda) dalam rundingan antara Aceh-Belanda antara tahun 1871-1873, dimana Turki berperan sebagai mediator.
Perang melawan Belanda akhirnya meletus tahun 1873. Selama berlangsung perang, muncul label “Aceh Pungoë”, sebab pejuang Aceh (lelaki dan wanita) berlomba-lomba mati syahid. Ini tidak dijumpai Belanda di tempat lain. Alasannya, perang adalah cara menuju syurga, dimana bidadari sudah menanti para syuhada.
Dalam era tahun 1948-1949, Aceh diberi label “Daerah Modal” oleh Sukarno dan inilah buat pertama sekalinya status Aceh mengalami degradasi. Antara tahun 1953-1961, Sukarno menukar dengan label “pemberontak D.I” kepada Aceh, karena tidak berjiwa republiken. Berselang beberapa tahun kemudian, muncul label “Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT). Label ini dialamatkan kepada aktivis Aceh Merdeka tahun 1976. Selebaran yang memuat 9 foto Kabinet Tengku Hasan di Tiro ditulis: “Tangkap Hidup atau Mati” ditempel di merata tempat, yang kesan organisasi Aceh Merdeka (AM), tak solid dan teratur, walaupun tokoh AM waktu itu terdiri dari kalangan intelektual, ulama dan tokoh masyarakat. Pamplet inilah yang kemudian dipakai sebagai alasan politik oleh aktivis AM untuk meminta suaka politik ke luar negeri.
Ketika trend politik dunia internasional menggulir isu komunisme, maka label “Jaringan Komunisme Internasional” diberi kepada Aceh. Label ini pertama sekali dilontarkan oleh Adam Malik (Menteri Luar negeri). Dengan label ini, Indonesia berharap agar masyarakat internasional tidak mendukung Aceh Merdeka. Padahal orang tahu bahwa sejak tahun 1902 lagi, paham komunisme sudah berkembang di pulau Jawa. Bahkan dalam Pemilu 1955, selain Masyumi; PKI merupakan pengumpul suara terbanyak di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kemudian baru disadari, kalau label ini justeru menjadi bumerang. Soalnya, Adam Malik sendiri berbau paham komunis itu mendirikan partai politik MURBA dan ikut bertanding dalam Pemilu tahun 1971, biarpun kèok!
Seterusnya muncul label “Mafia Ganja Internasional” untuk Aceh. Targetnya untuk merusak citra Aceh di mata dunia internasional dan agar Badan Keuangan Internsional mengucurkan dana untuk menumpas ‘mafia ganja’ ini. Untuk itu, diplomat Indonesia yang hadir dalam Sidang Komisi HAM di Geneva (1992-1993), sengaja membawa rekaman video untuk ditayangkan di depan perserta sidang. Video ini memerlihatkan “aktivis GAM” sedang menanam dan mengedarkan ganja dari Aceh hingga ke luar negeri. Mesir dan Bangladesh keburu percaya, hingga saat diadakan voting tentang pelanggaran HAM di Aceh, kedua negara ini memihak Indonesia. Namun, hasil akhir tetap Aceh mendapat sokongan 6 suara dari 4 suara yang disyaratkan. Akhirnya dibentuk suatu team PBB untuk penyidik pelanggaran HAM di Aceh untuk dilaporkan pada Sidang tahun berikutnya. Hasilnya mengejutkan. “Aktivis GAM” dalam video itu terbukti bukan orang Aceh, tetapi orang-orang dari daerah lain.
Seterusnya, Aceh diberi label “Gerakan Islam Fundamentalis”. Harapan yang mau diraih dari label ini, supaya dunia Barat mau memojokkan GAM. Orang tahu, kalau istilah “Islam fundamentalis” adalah rekaan dunia Barat, ditujukan kepada kelompok Islam radikal yang disifatkan sebagai teroris dan membenci orang nasrani secara berlebihan. Dalam realitasnya, tudingan ini tidak wujud di Aceh. Penduduk Aceh yang terdiri dari muslim dan non muslim hidup harmonis di Aceh.
Kemudian muncul label “Gerakan Pengacau Keamanan” (GPK). Label ini tidak untuk dijual ke pasaran dunia internasional. Fokusnya tertuju pada tindakan menumpas, sebab label-label sebelumnya dinilai gagal. Sebagai selingan, diberi label “Kekuatan Sipil Bersenjata” (KSB). Label ini muncul saat Aceh-RI sedang duduk berunding di Geneva untuk melahirkan “Humanitarian Pause” dan “Moratorium on Violence”, yang bertujuan melucuti senjata berselimut pakain sipil yang merampok, membakar, memperkosa, membunuh dan memeras rakyat. Pelakuknya ialah orang tidak dikenal (OTK)”.
Pada gilirannya, label “Gerakan Separatis Aceh” (GSA) untuk Aceh. Label ini disembur karena Aceh dianggap wilayah teritorial Indonesia. Sementara Tgk. Hasan M. di Tiro, proklamator Aceh Merdeka berkata lain. Yang paling baru dan hangat adalah label “teroris Aceh”. Dalam skala internasional, isu teroris masih tetap laku diperjual-belikan. Gerakan pembebasan Mindano Merdeka, sudah diklasifikasikan ke dalam jaringan teroris internasional. Kini giliran Aceh, yang pada awalnya dituding memiliki hubungan dengan kelompok Noordin M.Top, Zulkarnain, Dulmatin, Umar Patek, alumnus kém latihan militer di Mindano.
Dalam skala politik nasional, label “teroris Aceh” adalah “cangkram” bagi kebijakan hankam di masa depan, sekiranya GAM berjuang angkat senjata kembali. Untuk itu, berdasarkan teori konspirasi, gema “teroris Aceh” perlu diserentakkan dengan kasus bobolnya Bank Century yang sudah merakyat. Dengan begitu, label ini nantinya akan melekat di gusi rakyat. Kendati ada teroris populer beroperasi di pulau Jawa dan teroris asal Pandeglang (pulau Jawa) beroperasi di Aceh, mereka tidak akan diberi label “teroris Jawa”, sebab tidak memiliki nilai tawar dan jual. “Teroris Aceh” juga dikaitkan dengan aksi lanun di Selat Melaka. Ini mengingatkan kita kepada peristiwa 137 tahun lalu dengan label “Lanun Selat Melaka” nya Nieuwhagen untuk Aceh.
Jadi, sekiranya cermat menyimak kronologi pemberian label-label ini, orang tidak akan kagét, sebab segalanya mengalir deras dalam arus kepentingan politik lokal, nasional dan internasional. Dalam konteks ini, perlu menjadi suatu catatan bahwa: sikap Van kol, Bogaard, Van Deventer, Van Byland, Thomson, Ijerman dan De Dtuers (semua anggota Parlemen) Belanda yang sengaja datang ke Aceh, guna memastikan kebenaran laporan tentang tindakan militer Belanda dinilai biadab adalah patut dihargai. Sebab, anggota Parlemen ini tahu menggunakan hak, “investigasi”, dan “hearing”, dimana hasil survey yang ditemukan di lapangan; selain dibahas dalam Sidang Istimewa Parlemen dengan menghadirkan petinggi militer yang bertanggungajawan di Aceh, juga menyampaikan rekomendasi yang mengutuk, karena terbukti bahwa pemerintah Belanda telah membenarkan militernya bertindak zalim terhadap orang sipil dalam perang Aceh. Ini terjadi tahun 1907.
Akhirnya, terlepas dari segala-galanya, DPR Aceh sesungguhnya memiliki hak “hearing” untuk memanggil dan mendengar keterangan resmi secara langsung prihal “teroris Aceh” dari pihak kepolisian dan Pemda, sehingga rakyat bebas dari ketakutan. Informasi tersebut disajikan kepada rakyat. Masalahnya: kita tidak tahu; apakah DPR Aceh sekarang tahu menggunakan haknya atau barangkali, kualitasnya tidak lebih dari gerombolan politisi “paneuk antena” yang ngomong bak insinyur, padahal paket C. {Serambi Indonesia - opini 6 April 2010}
*Director Institute for Ethncis Civilization Research
ACEH begitu rencam dengan pelbagai julukan, mulai dari yang menyenangkan hingga yang ngeri dan menakutkan. Saya adalah kolektor label-label Aceh dan menyimpannya dalam satu album. Pada halaman depan terdapat label “Serambi Mekah” untuk Aceh. Sebab dalam sejarahnya, Aceh bukan saja pembina, pusat peradaban Islam dan budaya Melayu, tetapi hukum positive Aceh-qanun Al-Asyi- ditransfer oleh beberapa negeri di kawasan dunia Melayu ke dalam hukum positive mereka. Jadi label ini, identik dengan aplikasi syariah Islam.
Pada lembaran berikutnya, terdapat label “Tipu Aceh”. Label ini megah dan hampir setara populernya dengan label “Serambi Mekah”. Dalam rentang masa 1858-1873, Belanda memberi label “Lanun Selat Melaka” kepada Aceh. Sampai-sampai Inggris tergiur dan mau mengkhianati Aceh dalam “Traktat London” tahun 1871. Label ini dijadikan isu utama oleh Nieuwhagen (juru runding Belanda) dalam rundingan antara Aceh-Belanda antara tahun 1871-1873, dimana Turki berperan sebagai mediator.
Perang melawan Belanda akhirnya meletus tahun 1873. Selama berlangsung perang, muncul label “Aceh Pungoë”, sebab pejuang Aceh (lelaki dan wanita) berlomba-lomba mati syahid. Ini tidak dijumpai Belanda di tempat lain. Alasannya, perang adalah cara menuju syurga, dimana bidadari sudah menanti para syuhada.
Dalam era tahun 1948-1949, Aceh diberi label “Daerah Modal” oleh Sukarno dan inilah buat pertama sekalinya status Aceh mengalami degradasi. Antara tahun 1953-1961, Sukarno menukar dengan label “pemberontak D.I” kepada Aceh, karena tidak berjiwa republiken. Berselang beberapa tahun kemudian, muncul label “Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT). Label ini dialamatkan kepada aktivis Aceh Merdeka tahun 1976. Selebaran yang memuat 9 foto Kabinet Tengku Hasan di Tiro ditulis: “Tangkap Hidup atau Mati” ditempel di merata tempat, yang kesan organisasi Aceh Merdeka (AM), tak solid dan teratur, walaupun tokoh AM waktu itu terdiri dari kalangan intelektual, ulama dan tokoh masyarakat. Pamplet inilah yang kemudian dipakai sebagai alasan politik oleh aktivis AM untuk meminta suaka politik ke luar negeri.
Ketika trend politik dunia internasional menggulir isu komunisme, maka label “Jaringan Komunisme Internasional” diberi kepada Aceh. Label ini pertama sekali dilontarkan oleh Adam Malik (Menteri Luar negeri). Dengan label ini, Indonesia berharap agar masyarakat internasional tidak mendukung Aceh Merdeka. Padahal orang tahu bahwa sejak tahun 1902 lagi, paham komunisme sudah berkembang di pulau Jawa. Bahkan dalam Pemilu 1955, selain Masyumi; PKI merupakan pengumpul suara terbanyak di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kemudian baru disadari, kalau label ini justeru menjadi bumerang. Soalnya, Adam Malik sendiri berbau paham komunis itu mendirikan partai politik MURBA dan ikut bertanding dalam Pemilu tahun 1971, biarpun kèok!
Seterusnya muncul label “Mafia Ganja Internasional” untuk Aceh. Targetnya untuk merusak citra Aceh di mata dunia internasional dan agar Badan Keuangan Internsional mengucurkan dana untuk menumpas ‘mafia ganja’ ini. Untuk itu, diplomat Indonesia yang hadir dalam Sidang Komisi HAM di Geneva (1992-1993), sengaja membawa rekaman video untuk ditayangkan di depan perserta sidang. Video ini memerlihatkan “aktivis GAM” sedang menanam dan mengedarkan ganja dari Aceh hingga ke luar negeri. Mesir dan Bangladesh keburu percaya, hingga saat diadakan voting tentang pelanggaran HAM di Aceh, kedua negara ini memihak Indonesia. Namun, hasil akhir tetap Aceh mendapat sokongan 6 suara dari 4 suara yang disyaratkan. Akhirnya dibentuk suatu team PBB untuk penyidik pelanggaran HAM di Aceh untuk dilaporkan pada Sidang tahun berikutnya. Hasilnya mengejutkan. “Aktivis GAM” dalam video itu terbukti bukan orang Aceh, tetapi orang-orang dari daerah lain.
Seterusnya, Aceh diberi label “Gerakan Islam Fundamentalis”. Harapan yang mau diraih dari label ini, supaya dunia Barat mau memojokkan GAM. Orang tahu, kalau istilah “Islam fundamentalis” adalah rekaan dunia Barat, ditujukan kepada kelompok Islam radikal yang disifatkan sebagai teroris dan membenci orang nasrani secara berlebihan. Dalam realitasnya, tudingan ini tidak wujud di Aceh. Penduduk Aceh yang terdiri dari muslim dan non muslim hidup harmonis di Aceh.
Kemudian muncul label “Gerakan Pengacau Keamanan” (GPK). Label ini tidak untuk dijual ke pasaran dunia internasional. Fokusnya tertuju pada tindakan menumpas, sebab label-label sebelumnya dinilai gagal. Sebagai selingan, diberi label “Kekuatan Sipil Bersenjata” (KSB). Label ini muncul saat Aceh-RI sedang duduk berunding di Geneva untuk melahirkan “Humanitarian Pause” dan “Moratorium on Violence”, yang bertujuan melucuti senjata berselimut pakain sipil yang merampok, membakar, memperkosa, membunuh dan memeras rakyat. Pelakuknya ialah orang tidak dikenal (OTK)”.
Pada gilirannya, label “Gerakan Separatis Aceh” (GSA) untuk Aceh. Label ini disembur karena Aceh dianggap wilayah teritorial Indonesia. Sementara Tgk. Hasan M. di Tiro, proklamator Aceh Merdeka berkata lain. Yang paling baru dan hangat adalah label “teroris Aceh”. Dalam skala internasional, isu teroris masih tetap laku diperjual-belikan. Gerakan pembebasan Mindano Merdeka, sudah diklasifikasikan ke dalam jaringan teroris internasional. Kini giliran Aceh, yang pada awalnya dituding memiliki hubungan dengan kelompok Noordin M.Top, Zulkarnain, Dulmatin, Umar Patek, alumnus kém latihan militer di Mindano.
Dalam skala politik nasional, label “teroris Aceh” adalah “cangkram” bagi kebijakan hankam di masa depan, sekiranya GAM berjuang angkat senjata kembali. Untuk itu, berdasarkan teori konspirasi, gema “teroris Aceh” perlu diserentakkan dengan kasus bobolnya Bank Century yang sudah merakyat. Dengan begitu, label ini nantinya akan melekat di gusi rakyat. Kendati ada teroris populer beroperasi di pulau Jawa dan teroris asal Pandeglang (pulau Jawa) beroperasi di Aceh, mereka tidak akan diberi label “teroris Jawa”, sebab tidak memiliki nilai tawar dan jual. “Teroris Aceh” juga dikaitkan dengan aksi lanun di Selat Melaka. Ini mengingatkan kita kepada peristiwa 137 tahun lalu dengan label “Lanun Selat Melaka” nya Nieuwhagen untuk Aceh.
Jadi, sekiranya cermat menyimak kronologi pemberian label-label ini, orang tidak akan kagét, sebab segalanya mengalir deras dalam arus kepentingan politik lokal, nasional dan internasional. Dalam konteks ini, perlu menjadi suatu catatan bahwa: sikap Van kol, Bogaard, Van Deventer, Van Byland, Thomson, Ijerman dan De Dtuers (semua anggota Parlemen) Belanda yang sengaja datang ke Aceh, guna memastikan kebenaran laporan tentang tindakan militer Belanda dinilai biadab adalah patut dihargai. Sebab, anggota Parlemen ini tahu menggunakan hak, “investigasi”, dan “hearing”, dimana hasil survey yang ditemukan di lapangan; selain dibahas dalam Sidang Istimewa Parlemen dengan menghadirkan petinggi militer yang bertanggungajawan di Aceh, juga menyampaikan rekomendasi yang mengutuk, karena terbukti bahwa pemerintah Belanda telah membenarkan militernya bertindak zalim terhadap orang sipil dalam perang Aceh. Ini terjadi tahun 1907.
Akhirnya, terlepas dari segala-galanya, DPR Aceh sesungguhnya memiliki hak “hearing” untuk memanggil dan mendengar keterangan resmi secara langsung prihal “teroris Aceh” dari pihak kepolisian dan Pemda, sehingga rakyat bebas dari ketakutan. Informasi tersebut disajikan kepada rakyat. Masalahnya: kita tidak tahu; apakah DPR Aceh sekarang tahu menggunakan haknya atau barangkali, kualitasnya tidak lebih dari gerombolan politisi “paneuk antena” yang ngomong bak insinyur, padahal paket C. {Serambi Indonesia - opini 6 April 2010}
*Director Institute for Ethncis Civilization Research