Yusra Habib Abdul Gani
Tindakan tidak ber-prikebola-an sebenarnya sudah berlaku di Cina, sejak zaman Dinasti Tsin dan Han (206 SM) lagi dalam permainan ”Tsu chu”. Saat itu bola berpikir, kalau Cina saja yang berbuat demikian. Ternyata orang Yunani purba melakukan dalam permainan ”episcuro”, Jepang melakukan hal yang sama sejak abad ke-8. Sementara Mesir kuno, juga mengenal permainan ini. {Baca: Bill Muray dalam “The World Game: A History of Soccer.”}
Nampaknya, orang hanya memahami permainan ini sebagai permainan rakyat dan luput dari kajian bahwa ianya berkaitan langsung dengan aspek kejiwaan, pola pikir, politik dan cara pandang terhadap manusia. Mesir, Cina, Yunani dan Jepang adalah pelopor permainan ini banyak menimba ilmu tentang taktik menendang, memenangkan permainan. Akhirnya timbul inspirasi membolakan manusia. Rezim Fir’aun dengan motto: “Ana Rabbukumul A’la” (“Aku Tuhan kalian yang agung”), rakyat diperhamba membangun Piramid dalam suatu lokasi yang dijaga aparat, hingga Allah SWT turun tangan lewat tangan Musa untuk membebaskan orang Mesir dari tindakan rezim Fir’aun. Motto Fir’aun, kemudian diadopsi oleh FIFA, dimana wasit adalah Tuhan di lapangan yang putusannya tidak bisa dianuler.
Di Cina, orang diperlakukan bagaikan binatang untuk membangun tembok Cina. Sekarang penguasa Cina melakukan genocide di Provinsi Ningxia dan Xinjiang (mayoritas muslim) terhadap ethnis Hui dan Uighur, juga di Tibét. Orang Yunani kuno bertindak biadab, ketika pasukan kuda Trojan menyerang. Jepang, berlaku biadab (tahun 1942-1945) di Asia Timur Raya. Jadi, bangsa yang punya peradaban permainan sepak bola adalah sah sebagai pelopor pelanggaran HAM.
Tidak diduga kalau kemudian, Inggris mempopulerkan permainan ini pada abad ke-19 dan mendirikan klub sepak bola pertama di dunia, yakni: Sheffield Football Club tahun 1857, membentuk Football Association (FA), untuk merumuskan “rule of the game”sepak bola tahun 1863. Permainan sepak bolapun mendunia dengan dibentuknya ”International Football Association Board” (”IFAB”) tahun 1886, yang mula-mula beranggota: Irish Football Association, Scottish Football Association dan Football Association of Wales yang saat itu bermarkas di Manchester.
Kebangkitan persepakbolaan modern yang dipelopori Inggris, disusul oleh Sepanyol, Portugal, Itali, Perancis, Jerman (Eropah), tidak terlepas dari pengadopsian konsep sepak bola zaman purba dan memodifikasi dari “membolakan bola” kepada “membolakan manusia” melalui konsep: “colonialism”, “salvation”, “capitalism” dan “imprialism”. Contoh: ketika Inggris menjajah Australia, orang Aborigin di kota Sidney dan sekitarnya sebanyak 1500 jiwa tahun 1788, kemudian menciut 200 orang tahun 1830. Ini pengakuan Arthur Philips (komandan perang Inggris). Tindakan biadab –genocide– ini berlaku, hanya karena orang Aborigin –penduduk asli– menolak Hukum Perkawinan British diterapkan. John Glover berfatwa: “The only alternative now is, if they do not ready become friendly, to annihilate them at once...” (sekarang tinggal hanya satu alternatif, jika mereka tidak mau bersahabat dengan kita, sebaiknya dihabiskan saja sekaligus”) Mereka kemudian dikapalkan ke pulau Bass Strait dan jumlah mereka: dari 200 orang, menjadi kurang dari 50 orang saja yang tinggal pada tahun 1876. Inggris membolakan orang Aborigin. Dalam konteks inilah Darwin mengaku bahwa: “Dimana saja orang Eropah telah menyakiti hati sepanjang masa dan membunuh. Memburu orang Aborigin menjadi kebanggaan sebelum mati. Kita bisa menyaksikan dengan jelas merata di setiap tempat di Amerika, Polynisia, Cape dan Australia, ternyata sama hasilnya.”
Sepanyol melalui tangan Ratu Isabela, memperhamba orang muslim dan Yahudi dan memaksa menukar agama masing-masing kepada agama Nasrani. Jika menolak, suruh pilih: mati dibunuh atau diusir ke Afrika. Columbus dengan motto: “The white men burden” bukan saja melakukan genocide di kepulauan Hawaii, tetapi juga menukar nama dari Hawaii kepada “Hispaniola”, yang akhirnya dibelah menjadi: Haiti dan Republik Dominika. Sepanyol pernah mengapalkan 3 juta orang Afrika ke Amerika Laten: Brazil, Peru Nikaragua dan Costarica, memperbudaknya dalam perusahaan perkebunan dan pertambangan. Mencetak mental anak jajahan menjadi “manusia beradab” dalam acuan “civilized” dan “cultured”, sebab di mata orang Eropah, hanya mereka saja memiliki peradaban, selebihnya tidak. Hasilnya, dari 3 juta itu hampir separoh mati bunuh diri dan meninggal akibat menderita sakit tidak diobati. Hampir semua negara Amerika Latén sudah kehilangan bahasa asli. Mereka bertutur dalam bahasa Sepanyol (bahasa penjajah). Rezim Musolini (Italia), menangkap para pejuang kemerdekaan Libya, menaikan ke pesawat dan menjatuhkan dari udara sampai remuk. Perancis berbuat zalim di Vietnam, Timur Tengah, Algeria dan Afrika. Portugis berbuat jahil di Asia Tenggara. Belanda melalui program “Cultuurstelsel” di Netherland East Indies (Indonesia). Inilah prilaku jargon-jargon sepak bola Eropah yang diidolakan itu.
Jadi pantas kita dengar jeritan ini: “Dalam arena segi empat, kami ditendang-tendang, terikat dan tak mampu melepaskan diri dari kebiadaban manusia; tubuh terasa nyeri dan ingin berlari menyelematkan diri, tapi ada saja orang yang membantu melemparkan kami kembali ke padang rumput untuk bertekuk lutut di bawah kaki-kaki dan kuasa kalian. Ada saksi mata, yakni: kedua mata kaki, tetapi merekapun kalian balut dengan kain agar tidak bisa menyaksikan penderitaan ini dan tutup mulut. Ada penjaga berdiri tegak yang berusaha menghadang agar kami tidak dijebloskan ke dalam gawang, tapi pada hakikatnya: yang menendang dan penghalang, tokh semata-mata untuk meraih kemenangan.” Rumputpun menyahut: “Penderitaan anda tak seberapa; kami juga menjerit kesakitan, karena semua ini berlaku di atas padang rumput. Sambil berlari, manusia menginjak-injak tubuh dan harga diri kami; ladam sepatunya merobek, mencabut akar hingga terpental, pada hal kami menghidangkan kesejukan. Perasaan ini luka, tapi kemana harus mengadu?” Giliran tanah bicara: “Keluh-kesah kalian –bola dan rumput– sudah kudengar, akan tetapi jika mau jujur; kamilah yang paling dizalimi dari keseluruhan rentetan permainan bola ini. Bukkankah semua kalian hidup dan melakukan semua ini di atas punggungku?”
Dari sisi humanisme; jeritan ini mengingatkan kita kepada Nelson Mandela yang menjerit, diperlakukan seperti bola, dizalimi dalam penjara khusus oleh rezim yang mengamalkan racisme selama 27 tahun. Kini, bumi Mandela menjadi saksi akan arogansi Perancis, Inggris dan Itali –penjajah yang kenyang berbuat dhalim di di Afrika– terjugkal lebih awal dalam kancah permainan sepak bola dunia, sekaligus dicemoohkan oleh bangsanya sendiri, kiranya menjadi pelajaran bahwa kesombongan dan penjajahan adalah berhala yang wajib dirobohkan.
Masalahnya sekarang, dunia Barat sudah dan sedang berusaha mengalihkan perhatian dan menggiring rasa emosional bangsa-bangsa terjajah ke arah lain, agar segalanya dilupakan. Untuk itu, konsep permainan sepak bola modern dikembangkan lebih jauh dan dikaji lewat pendekatan falsafah, mencari korelasi antara fragmen-fragmen pemikiran yang melahirkan nilai-nilai peradaban lama dan upaya penafsiran baru. Tegasnya interpretasi analogis, yang meng-qiyas-kan ”lapangan sepak bola” sebagai ”arena demokrasi.” Artinya: jika lapangan sepak bola dipakai sebagai ajang pertarungan kepentingan, kecurangan, mencederai lawan, mengalahkan musuh dengan berbagai taktik dan strategi, tokh dalam pentas demokrasi juga terjadi hal yang sama, bahkan tidak mustahil membunuh dan membunuh karakter lawan politik. ”Rule of the game” di lapangan hijau, diartikan sebagai konstitusi atau qanun dalam negara demokrasi; … pemain dan pelatih, bermakna politisi; … wasit dan penjaga garis berarti lembaga yudikatif dan legislatif. Sementara penonton diidentikkan dengan rakyat jelata yang tidak pernah tahu kalau mereka ”diperbola” dan ditipu dalam arena politik. Lantas, bangsa-bangsa terjajahpun kagum dengan demokrasi selain permainan sepak bola. Mereka tidak tahu kalau semua ini hanya untuk membalut parut kebiadaban yang pernah mereka dilakukan beradab-abad lamanya, terutama di Afrika, Asia, Australia, New Zealand, Amerika dan Amerika Latén.
Dalam konteks demokrasipun, bangsa terjajah mempercayai dunia Barat sebagai dukun demokrasi dan mengadopsi ilmunya. Berduyun-duyun orang yang berasal dari luar eropah datang menuntut ilmu tentang demokrasi ke Eropah. Barat dalam realitasnya, unggul dalam tiga hal: menduniakan permainan sepak bola, „membolakan manusia“ dan memperkenalkan demokrasi. Jadi, dalam kasus Aceh misalnya: tidak mengherankan kalau baru-baru ini (May 2010), politisi Norwegia menawarkan suatu program gratis kepada DPRA untuk mengenal pelaksanaan demokrasi fasca konflik, melatih dan memberi beasiswa supaya mampu memanfaatkan potensi kreativitas dalam suasana damai, sesudah sebelumnya Damin Kingbury, Ramasari dan Marthy Ahtisari berhasil membalut parut luka DOM dengan MoU Helsinki, menjebloskan ke dalam lembah kehinaan dan ”membolakan juru runding GAM“ untuk menjual negeri atas nama demokrasi.[]