Yusra Habib Abdul Gani
{Arsip tahun 2000)
SEBUAH Lokakarya "Melacak jejak Demokrasi di Aceh, Dulu, sekarang dan akan datang" digelar di Aceh pada 11/Oktober 2000. Pertemuan yang bernuansa politik ini berupaya menanam opini dan menggiring Aceh supaya menerima realitas sosial-politik bahwa: Aceh adalah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia. Dengan analisis yang dangkal, Magnis menyimpulkan: "... banyak sekali bentuk persatuan antara wilayah-wilayah, seperti Provinsi Aceh, yakni di antaranya pemberian otonomi khusus yang secara formal tidak berpisah dengan negara kesatuan Republik Indonesia".
Bungkusan analisis Magnis menyamai missi Hardi era pemerintahan Ali Sastroamijoyo yang memberi nama ”Daerah Istimewa Aceh”, yang ternyata berisi cèk kosong. Magnis mengklasifikasikan Aceh sebagai keledai, karena jatuh beberapa kali kedalam lubang yang sama. Untuk itu, perlu melibatkan semua perangkat: mulai dari ABRI, jongos, wanita jalang, Ulama/Kiyai, politisi, ilmuan dan budayawan sebagai kekuatan sosial untuk melakukan trik politik yang secara serentak dikerahkan oleh penguasa dengan tujuan akhir: "... agar Aceh dapat terus bersatu dengan seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tanpa Aceh, tidak utuh..." Kata Magnis.
Baru objektif menganalisis politik di Aceh, kalau terlebih dahulu menempatkan diri anda sebagai sosok budayawan neutral yang jarak jangkauan analisisnya bukan saja mampu menembus realitas sosial-politik yang terjadi, melainkan juga menawarkan format menyelesaikan konfilk vertikal antara Aceh-Jakarta. Saya merasa pesimis, anda bisa melakukannya. Sebab, suara anda adalah nada minor yang tidak menunjukkan seorang budayawan neutral, melainkan sebagai kaki tangan penguasa yang didanani oleh mafia politik di Aceh dan Jakarta.
Melacak demokrasi di Aceh dalam konteks politik nasional Indonesia, sama artinya dengan petualangan demokrasi semu, ianya tidak akan ketemu dan bersentuhan, karena memang tidak adanya bukti yang kuat yang menghubungkan antara sejarah Aceh dengan perjalanan demokrasi di Indonesia.
Lihat saja, di saat orang mengatakan: ”rezim Orde Lama dinilai 'berhasil' dengan pemberian label "Daerah Istimewa Aceh"; tokh dalam realitasnya gagal menyelesaikan masalah Aceh secara menyeluruh dan komprehensif. Begitu juga, jika dikatakan: ”rezim Orde Baru dinilai 'berhasil' dengan mengandalkan kekuatan militer”, tokh nyatanya tidak mampu meredam keinginan Aceh memperjungkan cita-citanya (merdeka). Demikian juga dengan rezim Habibie dan Gusdur ”yang dinilai 'berhasil' dengan taktik menabur janji-janji”, ternyata tidak mampu melunturkan semangat Aceh menuntut kemerdekaan. Perkara inilah yang tidak dikupas dan dikoreksi Magnis. Pada hal semua fakta sosial-politik diatas merupakan gambaran dari akhlaq politik politisi Indonesia.
Terus terang bahwa: sejarah, gerak dan perubahan politik Indonesia, termasuk nasib masa depan Indonesia dibahas dalam sylabus pendidikan ideologi Aceh Merdeka dan merumusakan dalam kalimat yang tidak pajang bahwa: ”semua dalil, siapapun dan dari kalangan manapun bersuara, ianya adalah suara penguasa.” Apalagi anda berkata: "... pemerintah tidak akan menerimanya bila opsi yang diminta bergabung atau berpisah dengan NKRI." Analisa 12/okt, 2000. Politisi GAM tahu persis, berapa harga politik Indonesia, sebagaimana diketahui berapa nilai Rupiah sehari-hari di Bursa Effek Jakarta (BEJ). Nilai Rupiah tidak ditentukan di Jakarta, akan tetapi ditentukan di Wall Street, New York. Harga politik Indonesia tidak ditentukan di Senayan dan Bina Graha Jakarta, tetapi sangat tergantung kepada politik dunia internasional (PBB.)
Bacaan politik nasional dan internasional tentang Aceh semakin mendekati klimaks. Indikasinya ialah: kantor-kantor Bupati, Camat dan Kepada Desa yang menjalankan roda pemerintahan Indonesia, khususnya di Wilayah Pidië, Wilayah Pasè (Aceh Utara), Wilayah Batèë Iliëk, Wilayah Peureulak (Aceh Timur), Wilayah Meulaboh, Wilayah Tapak Tuan dan Wilayah Linge (Aceh Tengah) sudah bubar di Aceh. Hal ini diakui oleh Syarifuddin Tipe bahwa: ”80% roda pemerintahan di Aceh telah dipegang oleh GAM.” Tinggal lagi Muhammad Yus bersama konco-konconya di DPRD/tkt I dan Ramli Ridwan bersama konco-konconya di Pemda tkt I (Gubernur), yang nafasnya masih berdenyut. Kedua lembaga inipun mungkin tak lama lagi akan dimakaman ('requem'). Atas dasar realitas inilah, hingga ada peserta lokakarya berkata: "waktu untuk memaksakan sesuatu apapun pada rakyat Aceh sudah lewat." Andaikan anda turun ke lapangan kesimpulan ini akan lebih akurat.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dan diabaikan adalah: sebelum ini wujud suatu keadaan, dimana bentuk-bentuk keresahan, teror, intimidasi dan pembunuhan tidak terbatas kepada pejuang Aceh saja, akan tetapi juga 'Inem-inem' di lokasi-lokasi transmigrasi, ayam, itik, kerbau, sapi dan tanaman, bersuara seperti ucapan anda: "… menolak solusi militer untuk mengatasi konflik di Aceh, sebab ianya tidak adil, tidak manusiawi dan oleh karena itu dalam situasi apapun tidak dapat dibenarkan lagi." Soal kemudian sdr berkata: "Indonesia sudah lewat melakukan sesuatu untuk Aceh..." dan berharap: "agar Aceh dapat terus bersatu dengan seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tanpa Aceh, tidak utuh. Terlalu panjang dan penting ikatan sejarah dan budaya yang mempersatukan Aceh dengan Indonesia". Itu hak anda. Yang penting, sepakatkah kita bahwa, menyelamatkan satu jiwa manusia berarti menyelamatkan kebenaran, yang sama artinya dengan membina mahligai di dunia yang bisa didiami oleh berjuta-juta manusia yang cintakan keamanan dan perdamaian. Inilah Kemerdekaan! Wallahu'aklam bissawab.
{Arsip tahun 2000)
SEBUAH Lokakarya "Melacak jejak Demokrasi di Aceh, Dulu, sekarang dan akan datang" digelar di Aceh pada 11/Oktober 2000. Pertemuan yang bernuansa politik ini berupaya menanam opini dan menggiring Aceh supaya menerima realitas sosial-politik bahwa: Aceh adalah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia. Dengan analisis yang dangkal, Magnis menyimpulkan: "... banyak sekali bentuk persatuan antara wilayah-wilayah, seperti Provinsi Aceh, yakni di antaranya pemberian otonomi khusus yang secara formal tidak berpisah dengan negara kesatuan Republik Indonesia".
Bungkusan analisis Magnis menyamai missi Hardi era pemerintahan Ali Sastroamijoyo yang memberi nama ”Daerah Istimewa Aceh”, yang ternyata berisi cèk kosong. Magnis mengklasifikasikan Aceh sebagai keledai, karena jatuh beberapa kali kedalam lubang yang sama. Untuk itu, perlu melibatkan semua perangkat: mulai dari ABRI, jongos, wanita jalang, Ulama/Kiyai, politisi, ilmuan dan budayawan sebagai kekuatan sosial untuk melakukan trik politik yang secara serentak dikerahkan oleh penguasa dengan tujuan akhir: "... agar Aceh dapat terus bersatu dengan seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tanpa Aceh, tidak utuh..." Kata Magnis.
Baru objektif menganalisis politik di Aceh, kalau terlebih dahulu menempatkan diri anda sebagai sosok budayawan neutral yang jarak jangkauan analisisnya bukan saja mampu menembus realitas sosial-politik yang terjadi, melainkan juga menawarkan format menyelesaikan konfilk vertikal antara Aceh-Jakarta. Saya merasa pesimis, anda bisa melakukannya. Sebab, suara anda adalah nada minor yang tidak menunjukkan seorang budayawan neutral, melainkan sebagai kaki tangan penguasa yang didanani oleh mafia politik di Aceh dan Jakarta.
Melacak demokrasi di Aceh dalam konteks politik nasional Indonesia, sama artinya dengan petualangan demokrasi semu, ianya tidak akan ketemu dan bersentuhan, karena memang tidak adanya bukti yang kuat yang menghubungkan antara sejarah Aceh dengan perjalanan demokrasi di Indonesia.
Lihat saja, di saat orang mengatakan: ”rezim Orde Lama dinilai 'berhasil' dengan pemberian label "Daerah Istimewa Aceh"; tokh dalam realitasnya gagal menyelesaikan masalah Aceh secara menyeluruh dan komprehensif. Begitu juga, jika dikatakan: ”rezim Orde Baru dinilai 'berhasil' dengan mengandalkan kekuatan militer”, tokh nyatanya tidak mampu meredam keinginan Aceh memperjungkan cita-citanya (merdeka). Demikian juga dengan rezim Habibie dan Gusdur ”yang dinilai 'berhasil' dengan taktik menabur janji-janji”, ternyata tidak mampu melunturkan semangat Aceh menuntut kemerdekaan. Perkara inilah yang tidak dikupas dan dikoreksi Magnis. Pada hal semua fakta sosial-politik diatas merupakan gambaran dari akhlaq politik politisi Indonesia.
Terus terang bahwa: sejarah, gerak dan perubahan politik Indonesia, termasuk nasib masa depan Indonesia dibahas dalam sylabus pendidikan ideologi Aceh Merdeka dan merumusakan dalam kalimat yang tidak pajang bahwa: ”semua dalil, siapapun dan dari kalangan manapun bersuara, ianya adalah suara penguasa.” Apalagi anda berkata: "... pemerintah tidak akan menerimanya bila opsi yang diminta bergabung atau berpisah dengan NKRI." Analisa 12/okt, 2000. Politisi GAM tahu persis, berapa harga politik Indonesia, sebagaimana diketahui berapa nilai Rupiah sehari-hari di Bursa Effek Jakarta (BEJ). Nilai Rupiah tidak ditentukan di Jakarta, akan tetapi ditentukan di Wall Street, New York. Harga politik Indonesia tidak ditentukan di Senayan dan Bina Graha Jakarta, tetapi sangat tergantung kepada politik dunia internasional (PBB.)
Bacaan politik nasional dan internasional tentang Aceh semakin mendekati klimaks. Indikasinya ialah: kantor-kantor Bupati, Camat dan Kepada Desa yang menjalankan roda pemerintahan Indonesia, khususnya di Wilayah Pidië, Wilayah Pasè (Aceh Utara), Wilayah Batèë Iliëk, Wilayah Peureulak (Aceh Timur), Wilayah Meulaboh, Wilayah Tapak Tuan dan Wilayah Linge (Aceh Tengah) sudah bubar di Aceh. Hal ini diakui oleh Syarifuddin Tipe bahwa: ”80% roda pemerintahan di Aceh telah dipegang oleh GAM.” Tinggal lagi Muhammad Yus bersama konco-konconya di DPRD/tkt I dan Ramli Ridwan bersama konco-konconya di Pemda tkt I (Gubernur), yang nafasnya masih berdenyut. Kedua lembaga inipun mungkin tak lama lagi akan dimakaman ('requem'). Atas dasar realitas inilah, hingga ada peserta lokakarya berkata: "waktu untuk memaksakan sesuatu apapun pada rakyat Aceh sudah lewat." Andaikan anda turun ke lapangan kesimpulan ini akan lebih akurat.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dan diabaikan adalah: sebelum ini wujud suatu keadaan, dimana bentuk-bentuk keresahan, teror, intimidasi dan pembunuhan tidak terbatas kepada pejuang Aceh saja, akan tetapi juga 'Inem-inem' di lokasi-lokasi transmigrasi, ayam, itik, kerbau, sapi dan tanaman, bersuara seperti ucapan anda: "… menolak solusi militer untuk mengatasi konflik di Aceh, sebab ianya tidak adil, tidak manusiawi dan oleh karena itu dalam situasi apapun tidak dapat dibenarkan lagi." Soal kemudian sdr berkata: "Indonesia sudah lewat melakukan sesuatu untuk Aceh..." dan berharap: "agar Aceh dapat terus bersatu dengan seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tanpa Aceh, tidak utuh. Terlalu panjang dan penting ikatan sejarah dan budaya yang mempersatukan Aceh dengan Indonesia". Itu hak anda. Yang penting, sepakatkah kita bahwa, menyelamatkan satu jiwa manusia berarti menyelamatkan kebenaran, yang sama artinya dengan membina mahligai di dunia yang bisa didiami oleh berjuta-juta manusia yang cintakan keamanan dan perdamaian. Inilah Kemerdekaan! Wallahu'aklam bissawab.