Yusra Habib Abdul Gani
RIWAYAT penamaan “Wéh Pesangan” (Sungai Pesangan) sebagai muara Danau Laut Tawar, sampai sekarang belum diketahui asbabun nuzulnya. Untuk mengungkapnya, perlu diselidiki lebih dahulu: apakah nama tersebut berlaku mulai dari hulu -kampung/Totor Balé- sampai kuala di Selat Malaka’? Sebab, lazimnya nama sungai, seperti: Nil di Mesir, Musi di Palembang, Mahakam di Kalimantan Timur; mulai dari hari hulu sampai muara laut bebas, hanya satu nama. Namun begitu, tidak demikian halnya dengan sungai Arve yang mengalir dan berjumpa dengan sungai Rhône di Geneva, Swissland. Dari sini, sungai Rhône terus mengalir hingga melewati tapal batas Swissland dengan Jerman.
Lantas, apakah “Wéh Pesangan” menyerupai kisah sungai Arve yang bemuara ke sungai Rhône atau bahkan lebih dari itu? Kisah yang bersumber dari lirik Didong, kekeberen dan mitos di bawah ini kiranya bisa membantu untuk memberi jawaban sementara.
Danau Laut Tawar yang kandungan airnya dipasok dari: Wéh Kul Kenawat, Wéh Kul Towèren (wéh Kala Nempan), Wéh Kul Rawe, Wéh Kul Kalang, Wéh Kul Nosar, Wéh Kul Mengaya, Wéh Kul Bewang, Wéh Kul Kala Bintang, Wéhni Kala Rengkè, Wéhni Genuren, Wéhni Kala segi, Wéhni Gegarang, Wéhni Kelitu, Wéhni Mendalé, Wéh Kul Kebayaken (Kala Lengkio), Wéhni Kala Mampak; bermuara/tumpah ke sungai “Wéh Pesangan”.
Anèhnya, dalam jarak kira-kira 8 km. menuju Belang Bebangka, nama “Wéh Pesangan” hilang dan berubah menjadi “Wéh Totor Lukup Badak”, sebagaimana ditemui dalam lirik Didong: “ninget ke ilen kao, waktu kite niri bersesangulen i Lukup Badak”, (Masihkah kau ingat, saat kita mandi di sungai Jembatan Lukup Badak).
Penduduk di kawasan ini hanya mengenal “Wéh Totor Lukup Badak”, bukan “Wéh Pesangan”. Lebih aneh lagi, dalam radius kira-kira 30 km. dari Totor Balé menuju Kampung Silih Nara, muncul lagi nama lain, yakni: “Wéhni Gele” atau “Wih Silih Nara”, bukan “Wéh Pesangan”. Bahkan, kuala sungai ini diberi nama “Kala Laut”.
Karena di tengah-tengahnya terletak sebuah batu besar, maka disebut dengan “Atu Timang” (Batu menimbang). Sampai di sini, nama “Wéh Pesangan” hilang tidak terdengar lagi. Yang disebut-sebut hanyalah “Atu Timang”, yang kerap dipertanyakan di mana letaknya; termasuk Cèh Syèh Midin dalam lirik lagu “Atu Timang” bertanya: “Selama ini kami pekekune isi die “Atu Timang.” (Selama ini kami bertanya-tanya, di mana kiranya “Atu Timang”). Kini terjawab sudah. Bahkan ditimpali dengan lirik Didong: “I Kala laut, Atu Timang, Abang” (Di Kala laut, Atu Timang, Abang).
Siapa pun orang Gayo, bila menyebut “Atu Timang”, akan terbayang kisah/legenda Malim Dewa, sebab; setibanya di lokasi ini; dalam perjalanan menyusuri air sungai dari Aceh pesisir hingga ke hulu “Wéh Pesangan” dan untuk pertama sekali, Malim Dewa menimbang-nimbang, di mana sesungguhnya letak rambut (sanggul) Putri Bensu yang sudah lama didengar dan diincarnya. Peristiwa “menimbang-nimbang” ini dikaitkan kemudian dengan pasangan pengantin Malim Dewa-Putri Bensu. Jadi, “Atu Timang” merupakan cikal-bakal -prolog- dari cinta mereka dalam mitos “Malim Dewa” yang kisahnya menarik dan rumit, karena untuk mempersunting Putri Bensu, Malim Dewa harus melewati beberapa episode sampai kepada mencuri sanggul Putri Bungsu yang terurai panjang itu dan pernan Inen Kebèn -mediator/telangké- yang profesional.
Selain daripada itu, di “Atu Timang” merupakan pusat bertemu antara air “Wéh Pesangan” yang mengalir dari Danau Laut Tawar dengan air “Wéhni Pelang” yang mengalir dari gabungan tiga sungai, yaitu: Wéhni Kuyun, Wéhni Celala dan Wéhni Rusip. “Wéhni Pelang” bermuara ke “Wéhni Sikiren”. Di sini nampak jelas bahwa: dari hulu “Wéh Pesangan” (Totor Balé) hingga “Wéhni Sikiren” yang jaraknya sekitar 30 km, sudah terdapat beragam nama.
Dari “Wéhni Sikiren”, air sungai ini mengalir ke “Wéhni Serempah”, terus ke “Wéhni Berawang Gajah” dan selanjutnya ke “Wéhni Jalung”. Sampai di Jalung, aliran sungai ini bergabung dengan “Wéhni Enang-enang” dan yang mengalir ke kampung Pantan Lah (“Wéh Kala lehop”). Dari sini barulah tumpah ke “Kruëng Mané” dan akhirnya bermuara menuju laut lepas, Selat malaka.
Ada dua hal yang menjadi thesa di sini, pertama: munculnya beragam nama sepanjang sungai ini mengalir dari hulu sampai ke kuala. kedua: apakah kata “pasangan”, berasal dari awal kisah cinta antara Malim Dewa-Putri Bensu di “Atu Timang”, yang kemudian berubah sebutan menjadi “Pesangan” (bahasa Gayo); atau berasal dari kata “Peusangan” (bahasa Aceh)? Sebab sebutannya sangat mirip.
Adalah sah-sah saja orang mengatakan bahwa kata “pesangan” berasal “Peusangan”. Akan tetapi, ianya sama sekali tidak relevan dipakai sebagai standar untuk menunjukkan nama sungai; sebab dalam bahasa Aceh, kata “Peusangan” tidak punya arti apa-apa, kecuali: hanya menunjuk kepada nama satu kampung di Kabupaten Jeumpa, Bireuen -lokasinya jauh dari kawasan Krueng Mané- yang dilewati air “Wéh Pesangan”.
Kemiripan ucapan/sebutan antara “Peusangan” dan “Pesangan”, tidak bisa pula dijadikan dalih bahwa ianya berasal dari kata “Peusangan”. Sebab, antara bahasa Gayo dan Aceh tidak selalu punya kesamaan arti. Misalnya saja, kata: “Bireuen” (bahasa Aceh) tidak punya arti apa-apa, selain nama kota; sementara “Biren” dalam bahasa Gayo berarti: “bayar”. Demikian pula kata: “Tiro” (bahasa Aceh) tidak punya arti apa pun, kecuali: nama kampung di Kabupaten Pidie; sementara kata: “Tiro” dalam bahasa Gayo, berarti “minta”. Ada kosa kata bahasa Aceh dan Gayo yang mirip sebutan, yakni: “Luhu” (bahasa Aceh) dan “lehu” (bahasa Gayo) yang keduanya bermakna “Subur”. Tetapi dalam konteks pembahasan ini, tidak ada relevansinya. Tegasnya, kemiripan sebutan tidak selamanya dapat dipakai sebagai standar untuk menyimpulkan sesuatu.
Dari sudut ilmu linguistik, perubahan sebutan dari “pasangan” kepada “pesangan” lebih dekat dan logis, sebab ada kesesuaian dengan kisah perjalanan Malim Dewa-Putri Bensu. Hal ini bisa disimak dan disimpulkan dari lirik Didong: “Malem Dewa gèh ari Acih…Mununung waih ku uken-ukenen…ku ukenen pora sawah ku sara kampung oya gerale kampung Sikiren…ku ukenen mien demu urum kala ni lut ton ni wauk ni puteri i timangen..ku ukunen pora ara kampung Angkup, ara kayu rugup tempat dediang..Ku tunung-tunung gere mera sawah kuperah-perah gere mubayang…”. (“Malim Dewa datang dari Aceh, menelusuri sungai menuju ke hulu. ke hulu tibalah di kampung Sikiren. terus ke hulu dan jumpalah Kala laut, tempat menimbang-nimbang rambut Putri, terus ke hulu hingga tiba di kampung Angkup, di sana ada pohon rindang tempat bermain,…kutelusuri tak jua sampai, kucari-cari tak wujud bayangan.”) dan sekaligus memperkuat argumentasi di atas, atau -setidak-tidaknya- membuka ruang bagi kita untuk meneliti dan mengkaji tentang keabsahan riwayat ini. Wallahu’aklam bissawab.