Oleh Yusra Habib Abdul Gani*
DAHULU dan juga sekarang, oleh pakar kolonialis tentang falsafah dan seni sastra dipakai sebagai barometer untuk mengukur kadar kekentalan nasionalisme, kekuatan politik dan militer suatu bangsa. Dari gerak dan lirik seni sastra yang diluahkan oleh seseorang maupun berkelompok dalam bentuk pepatah, pantun dan puisi tentang: cinta, kritik, pujian, sindiran, membuka ´aib, patriotsme dan heroisme, terpantul mentalitas mereka.
Hasil penelitian Francis Xavier (seorang pakar peneliti sastera Melayu yang diutus oleh Portugis sebelum memerangi Melaka tahun 1511) sangat menarik untuk disimak. Dia menyimpulkan, bahwa bangsa Melayu adalah orang mataduitan, sifat irihati dan dengki. Xavier mula-mula terfokus kepada bait pantun: "Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang. Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah." Ini refreksi patriotisme dan heroisme orang Melayu. Xavier tak mau berhenti sampai di situ. Dia menelusuri lebih jauh jejak-jejak dan menyibak rahasia di sebalik sastera Melayu, hingga menemukan bait pantun: "Puas saya bertanam keladi, Nenas juga ditanam orang; Puas saya bertanam budi emas juga dipandang orang." Ini yang sangat menarik dalam sorortan Xavier. Portugis ingin membuktikan kadar kekuatan politik dan militier kesultanan Melaka.
Untuk itu, dalam kunjungan resmi ke Melaka tahun 1509, diplomat Portugis sengaja memberi kalung emas kepada Bendahara kesultanan Melaka dan tidak memberi apapun kepada Mahmud Syah (Sultan Melaka.) Rupanya, Nina Chattu dan Uthimutha (pegawai Istana Melaka keturunan India), sudah lebih awal diloby (diperalat) oleh Alfonso D´ Albuquerque (dinas intel Portugis) yang menjanjikan sesuatu kepada mereka. Atas dasar janji inilah, keduanya menghembuskan berita ini di kalangan Istana, hingga muncul keretakan dalam pemerintahan Mahmud Syah. Dalam situasi kacau-balau itulah, Portugis menyerang Melaka tahun 1511. Diakui bahwa, kejatuhan Melaka tidak terlepas dari konspirasi politik tadi. Armando Cortesao. The Suma Oriental of Tome Pires , London, 1994, hln 287.
Di sini terbukti bahwa pantun: "Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah" dipadamkan oleh bait: "Puas saya bertanam budi: emas juga dipandang orang." Orang Melayu ternyata mata duitan, iri dan dengki. Terbukti di sini dan bersamaan dengan itu, jatuhlah Melaka ke tangan Portugis!
Giliran Aceh. Untuk meneliti semangat patriotisme dan hiroisme orang Acheh, dikirim Snouck Hurgronje meneliti Hikayat Prang Sabi . Snouck menyimpulkan bahwa hikayat ini berbahaya, sebab di mata orang Aceh, Belanda adalah orang kafir dan perang melawan kafir disifatkan sebagai perang suci, yang kalau tewas berarti mati syahid. Selanjutnya, pakar kolonialis Belanda meneliti seni Seudati yang dicurigai mengandung nilai-nilai karakteristik. Mereka menyimpulkan bahwa Aceh adalah sosok manusia yang rasa ke-aku-annya berlebihan, arogan dan mataduitan.
Refreksi mentalitas ini diteliti dari gerak Seudati yang berulangkali mendabik dada (simbul arogansi), menepuk perut (simbul materialisme) dan menyusup secara licik dalam barisan lewat variari gerak yang seragam (simbul menghalalkan segala cara). Upaya menangkalnya, menurut Snouck: "De Atjèhers gevoelig te slaan en zo hun superioriteitswaan te ontmen. (Bangsa Aceh itu wajib kita pukul, aniaya dan menghinanya sampai sesakit-sakitnya, supaya mudah kita hancurkan perasaan kemuliaannya.")
Setelah fatwa Snouck dinilai kurang mengena, pakar kolonialis Belanda mengubah dari pendekatan brutalisme kepada pèngisme. Para Ulèëbalang disogok dengan uang, memberi gelar, pangkat, menjanjikan sesuatu yang menarik dan memberi kuasa semu yang dikontrol. Dijanjikan memberi emas batangan kepada sipembubuh Tgk. Tjhik di Tiro Muhd Saman. Sesudah mati, janji Belanda tidak ditunaikan, bahkan sipembunuh (isteri Pang Abu) ditembak mati. Militer Belanda menembak ke arah semak-belukar dan hutan bambu menggunakan peluru coin (uang rècèh Belanda).
Cara ini dipakai supaya mudah menembus jejak-jejak pejuang Aceh. Nyatanya berhasil! Peristiwa ini menjadi tontonan sehari-hari, dimana rakyat yang tak tahu diuntung, berbondong-bondong membersihkan semak-belukar dan menebang perdu bambu sambil memungut uang. Kemudian terbukti, uang tersebut palsu. Trik ini telah mengecoh orang Aceh dengan tipu muslihat perang yang memalukan, menjijikkan dan menjengkelkan.
Metode ini kemudian ditransfer oleh Sukarno untuk mengkebiri Gerakan Darul Islam Aceh (priode 1953-1961). Sukarno dengan janji-janji palsunya -Daerah Istimewa Aceh- dalam bidang: agama, pendidikan dan kebudayaan. Ternyata berisi cek kosong untuk Aceh! Habibi menipu Aceh dengan janji: "membangun kereta api untuk Aceh." Hasilnya nol! Abdurrahman Wahid menipu Aceh dengan janji: "Kalau di Timtim bisa referendum, mengapa di Aceh tidak." Hasilanya kosong! Megawati menipu Aceh dengan janji: "Kalau saya menang, tidak setetes darahpun tumpah di Aceh." Hasilnya Aceh bersimbah darah!
Dalam perang modern sekali pun, kajian tentang seni sastra Aceh tetap diperlukan untuk melacak mentalitas orang Aceh. Saat rundingan antara Aceh-Indonesia yang difasilitasi oleh HDC, tahun 2000-2003, Indonesia meneliti pepatah Aceh: "Meunjoë bak pèng gadoh djanggôt" (dengan uang, janggut bisa hilang). Oleh sebab itu, Indonesia coba menawarkan $ US. 50.000 melalui Sofyan Tiba, tapi keburu bocor dan transaksi gagal. Di samping itu, memperalat orang Aceh: Bakhtiar Ali, Ramli Ridwan, Ridwan Karim, Naimah Hasan, Amran Zamzami, Usman Hasan, Nasaruddin Haz dan Daud Yusuf untuk menjinakkan GAM di Geneva (priode 2000-2003). Setidak-tidaknya berlaga di meja runding sesama orang Aceh.
Walaupun rundingan antara GAM-RI akhirnya gagal di Tokyo. Tetapi pihak Indonesia percaya bahwa, satu saat nanti GAM terjerat bertekuk lutut. Diakui, tidak mudah menjebloskan GAM ke dalam jurang. Perlu masa yang panjang, sebagaimana dikatakan oleh Prof. David Phillip, "... bukan perkara yang mudah bagi GAM untuk mengubur mimpi merdeka. Untuk menyingkir rasa aib atas penolakan tuntutan merdeka, tampung pandangan-pandangannya dalam perjanjian yang bersifat sementara..." (Prospects for Peace in Aceh. David Phillips. The Wall Street Journal, 2002)
Prediksi David Phillip akhirnya terbukti di Helsinki. Mula-mula ditempuh penjajakan: (1) Mengikut sertakan Hasbi Abdullah (adik kandung Zaini Abdullah) dan Mahyuddin Adan dalam team Tujuh yang dibentuk oleh Sekretaris Negara untuk meloby pimpinan GAM. (2) Dr. Farid (juru runding RI) meloby Tengku Abdullah (Ayah kandung Zaini Abdullah) dan Amir Mahmud (abang kandung Malik Mahmud di Singapura) agar jalan menuju Helsinki mulus. (3) Sofyan Djalil (juru runding RI asal Aceh) menangis di depan juru runding GAM di Helsinki. (4) Menjanjikan kompensasi dan menyalurkan dana integrasi lewat jalur resmi dan tidak resmi kepada pimpinan GAM.
Indonesia sudah tahu persis mentalitas orang Aceh lewat pepatah: Meunjoë bak pèng gadoh djanggôt." Walaupun Malik Mahmud sebelum MoU Helsinki lantang berkata: "Éndatu kita sudah perangi Belanda, sekarang giliran kita perangi Indonesia; ... jika tidak punya bedil, kita pakai pisau; ... jika tidak punya pisau, kita gunakan tangan; ... jika tangan diikat, kita ludahi; ... jika tidak punya ludah, kita pelototi, sebagai isarat bahwa Indonesia seteru warisan nenek moyang kita." Zaini Abdullah garang berucap: "Kami tetap perjuangkan Aceh merdeka sampai mati. Kami hanya punya ada dua pilihan: merdeka atau mati syahid." Tapi Indonesia tak kecut dan gentar; pasalnya Indonesia sudah mengantongi anak kunci untuk menerobos benteng GAM, yakni: "Meunjoë ka seupakat, lampoh djeurat ta peugala" ("Kalau sudah sepakat, tanah kuburan kita gadai. ") Berbekal anak kunci inilah juru runding RI memberkas dan mencekik GAM hingga menerima konsep self-goverment (baca: otonomi khusus) di Aceh dalam bingkai NKRI dan tunduk kepada konstitusi Indonesia.
Bagi orang Aceh segalanya tidak mustahil; tanah kuburan –lokasi, dimana tulang-belulang orangtua, nenek/kakek, datu dan para syuhada berada– yang dipandang bertuah dan keramat berani mereka gadai. Jadi tidak heran, kalau Zaini Abdullah pasca MoU Helsinki berkata: "Bermimpi orang yang masih berjuang menuntut Aceh merdeka" dan Malik Mahmud mau menanda tangani MoU Helsinki (menggadai Aceh) atas nama demokrasi di Helsinki. Karena memang, Pepatah Meunjoë ka seupakat, lampoh djeurat ta peugala (Kalau sudah sepakat, tanah kuburan kita gadai), adalah salah satu acuan yang telah turut membentuk mentalitas orang Aceh. Harap maklum, inilah Aceh! []
Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 7/4/2008]
Monday, April 7, 2008
Mentalitas Dalam Sastra Aceh
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 1:42 PM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)