Oleh Yusra Habib Abdul Gani*
KARAKTERISTIK suatu masyarakat bisa ditelusuri lewat nilai-nilai budaya: adat-istiadat dan resam yang diamalkannya. Misalnya kata: “Wassalualééé” dalam bahasa Gayo, yang asalnya dari kata: "Wassalamu’alaik” yang berarti: “keselamatan atau kesejahteraan”. Kata ini diucapkan dalam acara “Mujik” (“kaum lelaki mengupas tangkai padi memakai kaki secara massal”) atau saat mengangkat tiang Masjid beramai-ramai, dll.
Seterusnya, ada ungkapan: “Edet pegerni agama” (“Adat pagarnya agama”). Jika diamati, ternyata nilai-nilai islam direcepsi ke dalam adat dan resam Gayo, hanya saja penyebutannya di-Gayo-kan, sementara missinya tidak berubah. Misalnya, anjuran Surat An-Nur, ayat 30 dan 31 tentang: adab dalam pergaulan sehari-hari antara seseorang dengan orang lain yang bukan muhrim, telah di-adat-kan menjadi “Sumang”.
Dalam perkembangan selanjutnya, “Sumang” menjadi delik adat, yang bisa dicegah dengan cara: menegor, menasehati atau akan siap “dihakimi” oleh masyarakat. Pengamalan nilai-nilai Islam ini diupayakan melalui pendekatan adat-istiadat. Ini salah satu metode pen-sosialisasi-an nilai-nilai islam, agar lebih mudah dicerna, dipahami dan kemudian dijadikan sebagai patokan moral. “Sumang”, kini mulai terkikis akibat pergeseran nilai-nilai sosial yang terjadi dalam masyarakat majemuk.
Dalam adat Gayo ada sebutan “Mahtabak”. Ianya terjadi, ketika seorang lelaki yang ingin menikah dengan seorang gadis idamannya lewat “jalan pintas”. Caranya, lelaki tadi membawa perlengkapan sejata: parang, pisau, kain kafan, pacul dan tali gantung ke rumah calon mertua dan menyerahkan diri untuk dikawinkan dengan anak gadisnya. Jika missinya gagal, urusannya mati! Ini tindakan spekulatif yang penuh resiko. Tetapi umumnya, jika lelaki tadi sudah “menduduki” (“occupied”) rumah dan menyatakan hasratnya, maka calon mertua biasanya tidak bisa berbuat banyak, selain pasrah dan memanggil penghulu adat untuk melangsungkan transaksi perkawinan. Ini termasuk delik Adat yang melanggar HAM, sebab menghalangi kebebasan orang lain memilih pasangan suami/isteri dan memaksa diri “meminta dibunuh” jika missinya gagal.
Selain itu, ada istilah “Jeret naru” ("hukuman buang"), yakni: hukuman adat yang dijatuhkan, bila terjadi delik “ancest” (hubungan sex yang dilakukan dalam lingkungan keluarga) atau terjadi dalam masyarakat sekampung. Menurut adat Gayo, “Jeret naru” [menghukum buang pasangan pezina dari kampung halaman untuk seumur hidup] bisa dijatuhkan. Perkara ini relevan dengan yurisprudensi Khalifah Umar bin Khattab, yang pernah menghukum buang pasangan pezina selama seumur hidup meninggalkan kampung halamannnya. Dalam perkembangan selanjutnya, “Jeret naru” harus bertarung melawan perubahan nilai-nilai social yang semakin rapuh mempertahankan kekuatan iman dan adat. “Jeret naru” sangat sukar dipertahankan di masa depan.
Ada juga sebutan: “Kona tube” (yakni: korban yang dicederakan dengan membubuh racun/tuba secara mistik oleh orang tertentu. Pelakunya dinamakan “jema mutube”. Menurut adat Gayo, pelaku delik (“jema mutube”) ini mesti dieksekusi dengan cara mencekik leher pelaku menggunakan kayu bercabang dua ke dalam air sampai mati. Hukuman Adat ini pada gilirannya –sekarang– berbenturan dengan hukum positif (KUHPidana), karena kasus kejahatan ini sukar dibuktikan, bahkan bisa menjadi boomerang kepada korban.
"Nik” (“Kawin lari”) lain lagi ceritanya. Jika anak gadis kawin lari, maka untuk rujuk kepada orang tua, disyaratkan memotong kambing atau sekurang-kurangnya memotong ayam jantan merah. Ayam ini dipanggang, isi perutnya dikosongkan, diletakkan di atas piring besar dan diserahkan langsung kepada orang tua diiringi dengan “Semah sungkem” (“minta ma’af”) dan bersamaan dengannya bergemalah “sebuku” (“meratap”) dengan gubahan lirik-lirik spontanitas yang mampu menguras air mata kedua belah pihak. Bahkan bisa berakhir dengan pingsan.
Yang tidak kurang menariknya ialah perkawinan indogami. Dimana perkawinan sepasang suami/isteri yang berasal dari satu kuru atau belah [Belah adalah: unit terkecil dalam struktur pemerintahan masyarakat adat]. Perkawinan indogami dianggap sebagai pelanggaran adat. Pelanggaran terhadap adat ini merupakan suatu kesalahan yang bisa dijatuhi hukuman, yakni: keluarga mempelai lelaki/isteri diharuskan “mugeleh Koro”, (“menyembelih kerbau”) sebagai bentuk diat untuk memulihkan nama baik yang dinilai tercemar. Yang dipersalahkan harus minta maaf di hadapan khalayak dan menjamu (makan bersama). Dengan cara ini, semua kesalahan tadi dengan sendirinya hapus.
Jika hukuman diat ini tidak ditunaikan, urusannya bisa runyam, berbuntut retak dan bahkan hancurnya sistem kekerabatan/kerukunan masyarakat adat. Hubungan silaturrahmi bisa putus, tidak bertegur sapa, hanya lantaran pembayaran diat (“mugeleh koro”) belum dilunasi. Tragisnya, masyarakat adat lebih menghargai dan menghormati adat ketimbang nilai-nilai Islam. Pada hal, dalam masyarakat Gayo dikenal adegium adat: “Edet enti pipet, atur enti bele” [“Adat tidak boleh kaku (rigit), hukum mesti adil"].
Artinya, keberlakuan hukum adat mestinya toleran, tidak kaku (elastic), bijaksana dan penuh dengan pertimbangan, sebab “Edet pegerni agama” (“Adat pagarnya agama”). Jangan sampai adat lebih tinggi kedudukan dan nilainya ketimbang nilai-nilai agama Islam. Adat mesti berfungsi sebagai pagar, bukan sebaliknya: merusak sendi-sendi kehidupan beragama. Ini salah kafrah! Hal ini terjadi, oleh karena masyarakat adat hanya mewarisi nilai-nilai adat secara turun-temurun, tidak realistic dan tidak mengkaji ulang relevansinya.
Hukum adat perlu dirumuskan secara rinci, mulai dari: sejarah, petitum, dictum, bentuk hukuman, eksekusi, kadaluarsa, unsur maaf dan pengecualian-pengecualian terhadap delik. “Jika engkau berjanji, tuliskan”. “Penuhi jajimu.” Demikian diamanahkan dalam Al-Qur’an. Ini penting bagi kepastian dan keadilan sekaligus menjadi yurisprudensi hukum Adat. Jika tidak, maka di saat muncul suatu delik: petuha dan pengikut adat yang fanatik, tunduk secara taklid buta tanpa memiliki pengetahuan tentang adat dan relevansinya. Semua ini penting dirumuskan, agar tidak lagi terjadi kesalahan interpretasi dan perangkat hukum adat sudah siap menjerat.[]
*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[28/08/08]
KARAKTERISTIK suatu masyarakat bisa ditelusuri lewat nilai-nilai budaya: adat-istiadat dan resam yang diamalkannya. Misalnya kata: “Wassalualééé” dalam bahasa Gayo, yang asalnya dari kata: "Wassalamu’alaik” yang berarti: “keselamatan atau kesejahteraan”. Kata ini diucapkan dalam acara “Mujik” (“kaum lelaki mengupas tangkai padi memakai kaki secara massal”) atau saat mengangkat tiang Masjid beramai-ramai, dll.
Seterusnya, ada ungkapan: “Edet pegerni agama” (“Adat pagarnya agama”). Jika diamati, ternyata nilai-nilai islam direcepsi ke dalam adat dan resam Gayo, hanya saja penyebutannya di-Gayo-kan, sementara missinya tidak berubah. Misalnya, anjuran Surat An-Nur, ayat 30 dan 31 tentang: adab dalam pergaulan sehari-hari antara seseorang dengan orang lain yang bukan muhrim, telah di-adat-kan menjadi “Sumang”.
Dalam perkembangan selanjutnya, “Sumang” menjadi delik adat, yang bisa dicegah dengan cara: menegor, menasehati atau akan siap “dihakimi” oleh masyarakat. Pengamalan nilai-nilai Islam ini diupayakan melalui pendekatan adat-istiadat. Ini salah satu metode pen-sosialisasi-an nilai-nilai islam, agar lebih mudah dicerna, dipahami dan kemudian dijadikan sebagai patokan moral. “Sumang”, kini mulai terkikis akibat pergeseran nilai-nilai sosial yang terjadi dalam masyarakat majemuk.
Dalam adat Gayo ada sebutan “Mahtabak”. Ianya terjadi, ketika seorang lelaki yang ingin menikah dengan seorang gadis idamannya lewat “jalan pintas”. Caranya, lelaki tadi membawa perlengkapan sejata: parang, pisau, kain kafan, pacul dan tali gantung ke rumah calon mertua dan menyerahkan diri untuk dikawinkan dengan anak gadisnya. Jika missinya gagal, urusannya mati! Ini tindakan spekulatif yang penuh resiko. Tetapi umumnya, jika lelaki tadi sudah “menduduki” (“occupied”) rumah dan menyatakan hasratnya, maka calon mertua biasanya tidak bisa berbuat banyak, selain pasrah dan memanggil penghulu adat untuk melangsungkan transaksi perkawinan. Ini termasuk delik Adat yang melanggar HAM, sebab menghalangi kebebasan orang lain memilih pasangan suami/isteri dan memaksa diri “meminta dibunuh” jika missinya gagal.
Selain itu, ada istilah “Jeret naru” ("hukuman buang"), yakni: hukuman adat yang dijatuhkan, bila terjadi delik “ancest” (hubungan sex yang dilakukan dalam lingkungan keluarga) atau terjadi dalam masyarakat sekampung. Menurut adat Gayo, “Jeret naru” [menghukum buang pasangan pezina dari kampung halaman untuk seumur hidup] bisa dijatuhkan. Perkara ini relevan dengan yurisprudensi Khalifah Umar bin Khattab, yang pernah menghukum buang pasangan pezina selama seumur hidup meninggalkan kampung halamannnya. Dalam perkembangan selanjutnya, “Jeret naru” harus bertarung melawan perubahan nilai-nilai social yang semakin rapuh mempertahankan kekuatan iman dan adat. “Jeret naru” sangat sukar dipertahankan di masa depan.
Ada juga sebutan: “Kona tube” (yakni: korban yang dicederakan dengan membubuh racun/tuba secara mistik oleh orang tertentu. Pelakunya dinamakan “jema mutube”. Menurut adat Gayo, pelaku delik (“jema mutube”) ini mesti dieksekusi dengan cara mencekik leher pelaku menggunakan kayu bercabang dua ke dalam air sampai mati. Hukuman Adat ini pada gilirannya –sekarang– berbenturan dengan hukum positif (KUHPidana), karena kasus kejahatan ini sukar dibuktikan, bahkan bisa menjadi boomerang kepada korban.
"Nik” (“Kawin lari”) lain lagi ceritanya. Jika anak gadis kawin lari, maka untuk rujuk kepada orang tua, disyaratkan memotong kambing atau sekurang-kurangnya memotong ayam jantan merah. Ayam ini dipanggang, isi perutnya dikosongkan, diletakkan di atas piring besar dan diserahkan langsung kepada orang tua diiringi dengan “Semah sungkem” (“minta ma’af”) dan bersamaan dengannya bergemalah “sebuku” (“meratap”) dengan gubahan lirik-lirik spontanitas yang mampu menguras air mata kedua belah pihak. Bahkan bisa berakhir dengan pingsan.
Yang tidak kurang menariknya ialah perkawinan indogami. Dimana perkawinan sepasang suami/isteri yang berasal dari satu kuru atau belah [Belah adalah: unit terkecil dalam struktur pemerintahan masyarakat adat]. Perkawinan indogami dianggap sebagai pelanggaran adat. Pelanggaran terhadap adat ini merupakan suatu kesalahan yang bisa dijatuhi hukuman, yakni: keluarga mempelai lelaki/isteri diharuskan “mugeleh Koro”, (“menyembelih kerbau”) sebagai bentuk diat untuk memulihkan nama baik yang dinilai tercemar. Yang dipersalahkan harus minta maaf di hadapan khalayak dan menjamu (makan bersama). Dengan cara ini, semua kesalahan tadi dengan sendirinya hapus.
Jika hukuman diat ini tidak ditunaikan, urusannya bisa runyam, berbuntut retak dan bahkan hancurnya sistem kekerabatan/kerukunan masyarakat adat. Hubungan silaturrahmi bisa putus, tidak bertegur sapa, hanya lantaran pembayaran diat (“mugeleh koro”) belum dilunasi. Tragisnya, masyarakat adat lebih menghargai dan menghormati adat ketimbang nilai-nilai Islam. Pada hal, dalam masyarakat Gayo dikenal adegium adat: “Edet enti pipet, atur enti bele” [“Adat tidak boleh kaku (rigit), hukum mesti adil"].
Artinya, keberlakuan hukum adat mestinya toleran, tidak kaku (elastic), bijaksana dan penuh dengan pertimbangan, sebab “Edet pegerni agama” (“Adat pagarnya agama”). Jangan sampai adat lebih tinggi kedudukan dan nilainya ketimbang nilai-nilai agama Islam. Adat mesti berfungsi sebagai pagar, bukan sebaliknya: merusak sendi-sendi kehidupan beragama. Ini salah kafrah! Hal ini terjadi, oleh karena masyarakat adat hanya mewarisi nilai-nilai adat secara turun-temurun, tidak realistic dan tidak mengkaji ulang relevansinya.
Hukum adat perlu dirumuskan secara rinci, mulai dari: sejarah, petitum, dictum, bentuk hukuman, eksekusi, kadaluarsa, unsur maaf dan pengecualian-pengecualian terhadap delik. “Jika engkau berjanji, tuliskan”. “Penuhi jajimu.” Demikian diamanahkan dalam Al-Qur’an. Ini penting bagi kepastian dan keadilan sekaligus menjadi yurisprudensi hukum Adat. Jika tidak, maka di saat muncul suatu delik: petuha dan pengikut adat yang fanatik, tunduk secara taklid buta tanpa memiliki pengetahuan tentang adat dan relevansinya. Semua ini penting dirumuskan, agar tidak lagi terjadi kesalahan interpretasi dan perangkat hukum adat sudah siap menjerat.[]
*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[28/08/08]