Oleh Yusra Habib Abdul Gani*
SUKA atau tidak suka kepada oknum yang meng-generalisasi-kan orang yang hidup di ”dunia ketiga” sebagai bukan manusia, itu urusan lain. Yang pasti, Jean Paul Sartre (filosuf aliran existensialisme) dalam: ”From Two Billion Pupolation of the Earth” menyimpulkan bahwa: ”Kaum penjajah mempercayai bahwa lima ratus juta umat manusia saja yang dinilai “manusia”, selebihnya satu setengah milyar adalah “pribumi” yang tidak memiliki keistimewaan dan mereka ini terdiri dari “dunia ketiga”.
Penilaian Sartre didasari oleh realitas kehidupan (mentalitas) manusia yang hidup di ”dunia ketiga” yang tetap taqlid kepada pemikiran Barat dan sangat sulit menghindar dari ketergantungan ini. Ini kosekuensi logis daripada penjajahan Eropah ke atas bangsa-bangsa di Dunia ketiga. Tetapi, sehina itukah eksistensi manusia di ”dunia ketiga” di mata Sartre [Barat]? Padahal Dunia Timur punya pemikir cemerlang berskala internasional. Lantas, apa respons kita untuk membela maruah dan sentimen ke-Timuran?
Ternyata Frantz Fanon [warga Perancis, asal Afrika], pemikir nasib umat tertindas di “dunia ketiga”, dalam: ”Wretched of the Earth” [buku yang tidak boleh diperjual-belikan di Asia Tenggara] menyahutnya dengan jiwa besar dan mencoba merajut nasionalisme Algeria yang ditindas oleh Perancis dengan ucapan: ”Pada dasarnya perjuangan bersama memerlukan tanggungjawab dari awal hingga akhir. Tidak ada orang yang bersih tangannya. Tidak seorangpun yang tidak bersalah dan tidak pula menjadi penonton. Kita mungkin telah mengotori negeri kita sendiri dan dalam kehampaan pikiran kita yang mengerikan.”
Fanon mengajak semua orang untuk bersikap jujur mengakui bobroknya mentalitas dan kebekuan pikiran orang di Dunia ketiga. Untuk itu, satu-satunya jalan menurut Fanon ialah: menghidupkan rasa kebanggaan atas kekayaan budaya Algeria, misalnya: berpakaian tradisional, bertutur dengan bahasa sediri, para sopir taxi yang melayani turist, mesti memperlihatkan karakteristik budaya Algeria dst... . Selain itu, memberi kesadaran politik kepada rakyat bahwa, perlawanan atas kebijakan atau pola pikir penjajah mesti segera dimulai, sebab penjajah adalah penghancur semua tatanan hukum, politik dan sosial budaya Algeria. Menyalakan api jihad yang sudah padam.
Begitu pula Dr. Ali Syariaty [pemikir Islam] dalam buku: ”Haji”, tidak tersinggung dan tidak merasa dilècèhkan oleh tudingan Sartre, sebab dalam realitasnya, Ali Syariaty mengakui wujudnya dua kelas manusia: penindas sebagai pihak penggilas dan tertindas sebagai pihak yang tergilas.
Tudingan Sartre dijadikan Fanon dan Ali Syariaty sebagai cambuk untuk menyibak ”aurat” mentalitas kita yang sebelum ini dianggap suatu hal yang tabu; menyuntik agar jaringan saraf yang beku terangsang dan berfungsi kembali; membangunkan dari tidur massal-nya untuk bersikap kritis. Dengan begitu, orang-orang tertindas bisa merajut kembali existensi-nya sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan, berpikir bebas dan bisa menentukan pilihan dan arah masa depannya. Hanya saja, jika ucapan tersebut ditangkap melalui anténa pendek, akan sukar dicerna dan dipahami, karena rongga otak orang di “dunia ketiga” sudah dijejal dengan doktrin; tidak bebas berpikir dan mengeluarkan pendapat; miskin idé, menjadi mangsa dari pola pikir Barat.
Walau pun ada segelintir berpikir cemerlang, tetapi mereka juga jebolan pendidikan Barat, yang sudah mengalami proses cuci otak [brain washing], sudah terbiasa mengunyah slogan-slogan Barat, ”The white men’s burden”, ”civilized and cultured” dan ”domocratic way of life”, hingga kehadiran mereka hanyalah sebagai corong (walking lies) Barat di tengah masyarakat kita. Sekarang, slogan-slogan tersebut ditukar kepada: ”jaga persatuan”, ”waspadai gerakan seperatis”dan ”nikmati perdamaian” yang dilontarkan oleh politisi dan golongan bourgeois lewat media massa: TV, Radio, Majalah dan Suratkabar, untuk didengar dan ditelan bulat-bulat oleh rakyat jelata.
Pembukaan ”aurat” mentalitas ”kita” oleh kedua tokoh pemikir Timur ini, telah membuahkan reformasi di ”dunia ketiga.” Iran mencuat dengan peningkatan kesejahteraan, Iran tidak mempunyai hutang negeri, pembangunan ekonomi terpadu, paradigma ke-ilmuan dan pengembangan tehnologi modern. Sementara Algeria, bangga dengan agama dan karakteristik budayanya. Jadi, biarpun tudingan Sartre terasa menyakitkan, belum dijumpai scientolog yang menuding Sartre berpikir general dan memprediksi jadi gila.
Dalam masyarakat ”dunia ketiga” [khususnya di Aceh], muncul dilema ketidak mampuan menyerap pandangan baru, menolak pencerahan dan mengurung diri dalam kejumudan. Hal ini terjadi, karena membiasakan diri mengunyah menu ilmu pengetahuan monoton, takut mengemukakan interpretasi bebas terhadap teks: sastera, agama, politik dan hukum. Misalnya, artikel: ”Mentalitas Dalam Sastera Aceh” dimuat [Serambi, 7/4/08], yang ditanggapi Teuku Dadek (bekas Camat Johan Pahlawan) dalam judul: ”Berpikir general bisa bikin gila” [Serambi, 8/4/08], sebagai suatu hal yang: ”Sungguh luar biasa, tulisan Yusra Habib Abdul Gani yang menyorot mentalitas dalam sastera Acheh”. Keratan kalimat ”...luar biasa...” di sini dipahami, bukan karena ananlisa yang dipaparkan akurat, melainkan dipahami sebagai luahan perasaan dari seseorang yang kecewa dan mengabaikan ’... sisi positif dari sastera Aceh, bukan pakai kacamata kuda.’
Paradigma ilmu, analisa sastera yang tajam dan intensive, bagi Teuku Dadek sama sekali merupakan hal yang baru dan responsnya lebih merupakan apologia-centries ketimbang memahami secara ilmiah. Prilaku demikian, merupakan gambaran dari karakter manusia di ”dunia ketiga”, yang merasa malu dan tabu, andaikata ”aurat” mentalitas kaumnya dibuka. Kita belum terbiasa menerima dan mengakui kelemahan diri. Masih terbius dengan aroma keharuman sejarah dan sastera; sementara orang lain memakai sastera Aceh sebagai senjata untuk membunuh karakter ke-Aceh-an dan menghanguskan nilai-nilai sejarah. Agaknya, respons Fanon dan Ali Syariaty dalam konteks memahami tudingan Sartre bisa menjadi pelajaran. Selebihnya, respons Roger Garaudy (Filosuf dan sudah memeluk Islam) dalam buku: ”Mencari Agama Abad XX”, terhadap pemikiran-pemikiran Barat sangat menarik dan ilmiah. Semua ini bisa memperkaya khazanah pemikiran. Untuk apa fatwa scientolog, kalau kita goblok!
Sebetulnya, saat meretas belantara sastera Aceh; yang kita jumpai bukan saja keharuman dan kekaguman, tetapi juga onak dan duri, rencam dengan hal-hal yang menjengkelkan dan menyakitkan. Kebetulan dalam kajian sastera Aceh ini, saya temukan ’onak dan duri’ dalam keputusan politik yang ternyata, Aceh selalu terjungkal dalam perjalanan sejarah atas sebab-musabab yang sama. Lazimnya, hanya Keledai yang jatuh dalam lubang yang sama. Sebab itu, analisa yang tajam dan interpretasi intensive sangat perlu dan penting dalam kajian ilmiah, tidak terkeuali dalam sastera.
Sambutlah kelahiran dunia baru, yang memeriahkan orang berpikir bebas, belajar mencerna pendapat orang lain. Tudingan Sartre harus diakhiri dan ditebus dengan mengerahkan segala kemampuan kita sebagai penduduk di Dunia ketiga. Dalam konteks inilah, Said Hawwa, dalam buku: ”Mensucikan Jiwa” menasehatkan: ”Takarlah setiap orang dengan takaran akalnya dan timbanglah dia dengan timbangan pemahamannya, agar engkau selamat darinya dan dia bisa mengambil manfaat darimu. Jika tidak, maka akan terjadi penolakan karena perbedaan ukuran. Memberi ilmu kepada orang bodoh adalah kesia-siaan. Tidak memberi ilmu kepada yang berhak adalah kedhaliman.” Wallahu’aklam bissawab![]
*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
[Serambi Indonesia, 10/11/08]
Monday, November 10, 2008
Kita di Mata Sartre
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 10:19 AM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)