Oleh: Yusra Habib Abdul Gani*
KALAULAH ada penguasa yang nama negaranya diubah dari Burma kepada Myanmar; itulah junta militer Myanmar. Kalaulah ada penguasa yang Ibukota negaranya diubah dari Rangoon [Yangon] kepada Naypyidaw; paling takut kepada demokrasi dan Aung San Suu Kyi; penguasa yang menginjak-injak HAM; melakukan ethnic cleancing secara sitematik terhadap penduduk Arakan; yang lebih mengedepankan karakter binatangmisme ketimbang humanisme, itulah junta militer Myanmar. Junta militer inilah yang membunuh lebih dari 3000 orang dalam kudeta tahun 1988.
Kalaulah ada negeri yang selalu dilanda krisis -konflik antar ethnic dan genocide; itulah Burma (Myanmar). Alasannya? Pertama, saat meletus konflik antara Mogul dan Raja Shah Shujah tahun 1660 A.D. Issue sentralnya karena perbedaan ethnic. Akibatnya, ribuan penduduk dari ethnik Rakhine dan Rohingya eksodus ke Bengal. [Sekarang: Bangladesh]. Kedua, ketika Raja Sanda Wiziya berkuasa tahun 1710 A.D. Dia mengancam untuk membunuh Kaman (seorang tokoh pemimpin muslim di Arakan), menangkap serta memenjarakan semua politisi Arakan. Karena ketakutan, rakyat terpaksa melarikan diri ke Bengal. Ketiga, saat Kalah (tokoh Muslim) melakukan protes dan pemberontakan seluruh pelosok negeri [tahun 1738 A.D.] atas alasan raja bersikap racis.
Apabila Raja menghimpun kekuatan, dilakukan pembunuhan massal terhadap penduduk muslim di Arakan. Ramai yang melarikan diri ke Provinsi Chittagong , di bawah imperium Mogul. Keempat, terjadi konflik antar ethnic tahun 1825 A.D, yakni: saat Bodaw Pya berkuasa, yang membunuh dan mengusir ribuan penduduk muslim Arakan. Akibatnya, bukan saja penduduk muslim Arakan, ethnic Rakhine pun menyelamatkan diri ke Bengal. Mereka baru kembali setelah Arakan diduduki British. Kelima, kerusuhan antara dua kubu kekuatan meletus tahun 1942, saat terjadi kevakuman pemerintahan, dimana British menarik diri dari Arakan, kawasan yang dikuasai Jepang. Waktu itu, berlangsung pembunuhan massal, yang sedikitnya 100,000 muslim Arakan terpaksa menyebarang sungai Naf, yang secara de facto masih dikuasai British. Mereka dilindungi dalam kèm pengungsi Rangpur, sementara ethnic Rakhine, sedikitnya 10,000 jiwa di sekat di Maungdaw. Mereka yang berani menyeberang kawasan Buthidaung-lah yang selamat dan dilindungi Inggeris dalam kèm Dainuspur dan sebagian lari ke India.
Sesudah disepakati dalam MoU antara Bengal-Burma, barulah sebagian dihantar pulang, sebagian lagi memilih tinggal di Bangladesh. Keenam, meletus konflik antar ethnic pasca kemerdekaan tahun 1948, dimana pasukan Mujahid (ethnic Rohingya) dan militer -the BTF (Burma Ternional Force) terjadi baku tembak. Banyak orang sipil disiksa, dianiaya dan dibunuh. Perkampungan dibakar, menyekat makanan dll. Tindakan BTF semata-mata menghancurkan kekuatan oposisi. Mereka terpaksa melarikan diri ke wilayah Timur Pakistan. Ketujuh, meletus konflik ethnic dan seiring dengan itu diberlakukan “Dragon King Operation” tahun 1978. Operasi ini lebih tepat dinamakan “ethnic cleancing”, yang sedikitnya 300.000 penduduk muslim Arakan dan ethnic Rakhine lari ke Bangladesh, hingga kemudian ditandatangani suatu MoU antara Bangladesh-Burma tentang: pemulangan kembali para pengungsi. Kedelapan, antara akhir tahun 1991 -awai 1992, terjadi tragedy berdarah, dimana junta militer mengerahkan 10 hingga 14 batalion serdadu untuk membumi hangus dengan tujuan menukar wilayah Arakan dari wajah muslim menjadi wajah Budhis dan Pagodas. Lebih dari 25.000 penduduk muslim Arakan dan ethnic Rakhine terpaksa menyelamatkan diri ke Bangladesh.
Kembali ditanda tangani suatu MoU antara Burma-UNHCR, yang menjamin hak-hak hidup dan melingdungi penduduk mulim Arakan secara manusiawi. Dari 25.000 jiwa, kebanyakan dari mereka diterima sebagai refugee di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, UAE, Thailand, Malaysia (20,000 orang) dan Indonesia. Sementara itu, di Swedia terdapat pelarian politik Rohingya sejumlah 300 orang, Norwegia 60, Inggeris 100, Belanda 40 dan Denmark 100 orang. Inilah kronologis konflik antara ethnic di Myanmar.
Bicara soal Arakan, berarti kita tengah bicara soal ethnic Rohingya, suatu ethnic minoritas yang duduk di Arakan. Dalam sejarahnya, sejak abad ke- 8, sudah masuk Islam ke sana, dibawa oleh para pedagang dari India. Secara bertahap orang muslim di sini merambah masuk ke dalam kancah politik dan budaya, yang dimulai sejak pemerintahan Min Tsaw Mwun, dibantu oleh Sultan Jalaluddin Mohammed Shah (Nazir Shah) yang berkuasa di Arakan. Ethnic Rohingya yang menetap di Arakan, memiliki deretan pemimpin, seperti: Alia Beg dari Baguna, Buthidaung, Mohammed Hanif dan Amir Hamzah, yang berturut-turut pernah menjadi penguasa di sini.
Walau pun satu ketika, dinasty Mrauk-U (non muslim) pernah mengambil alih kuasa, tetapi tradisi Islam dalam administrasi pemerintahan tetap dipelihara dan dipertahankan, yang sudah menjadi precedent sejak pemerintahan Sultan Gaur. Arakan juga pernah dipimpin oleh Mohammed Shah, tetapi dalam perang melawan Doui Minikka dari Tippera, dia terbunuh. Wilayah kuasa Raja Tippera meliputi wilayah Chittagong yang sudah mengakar dengan budaya Islam sewaktu berada di bawah naungan Arakan. Dr Kunango, pakar sejarah Chittagong menerangkan: “Suatu ketika, Arakan pernah disatukan administrasinya dengan sebelah Timur Bengal, tetapi saat Hussein Shahi‘s berkuasa, wilayah Chittagong berhasil diduduki dan administrasinya disatukan di bawah wilayah hukum Codavascao (Khuda Baksh Khan)”.
Akar sejarah Arakan (Rohingya) yang berwarna Islam ini, mau dicabut oleh junta militer. Satu-satunya cara melakukan ethnic cleancing atau genocide secara sitematis. Tindakan ini, selain bertentangan dengan sejarah, juga berlawanan dengan teologi pembebasan. Junta milter Myanmar telah gagal mengamalkan moral Budhisme yang mengajarkan kerendahan hati, kesederhanaan dan kebebasan dalam kehidupan keseharian dan politik praktis -setidak-tidaknya- telah menyalah tafsir dan menyalah gunakan teologi ini, yang cenderung menghubungkan dengan doktrin Marxisme, dimana setiap tindakan kekerasan untuk menumbangkan atau mempertahankan kekuasaan mendapatkan legitimasi dari agama.
Padahal teologi pembebasan bertujuan membela nasib kaum dhu‘afa dan kaum tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil dan menyebabkan kaum lemah selalu menjadi korban eksploitasi politik. (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation. Maryknoll: Orbis, 1998.) Hal ini terbukti dari prilaku kebinatangannya, saat junta militer betindak biadab terhadap rakyat dan ribuan Biksu yang ikut demonstrasi pertengahan tahun 2007, demi menyuarakan pentingnya kedamaian dan kebebasan mengeluarkan pendapat di alam demokrasi. Sebelumnya, hasil Pemilu yang dimenangkan Aung San Suu Kyi dengan angka 92 persen lebih, telah dibatalkan oleh Junta militer Myanmar secara sepihak. Ini berarti, junta militer Myanmar, selain anti kerukunan antar ethnic dan kerukunan umat beragama dan genocide, juga rezim yang anti demokrasi.
Keberagaman ethnic dan agama di Myanmar, tidak dinilai sebagai khazanah kekayaan bangsa yang mesti dibina dan diarahkan kepada persatuan, berdasarkan ideologi negara: yang memberi hak berusaha, tempat tinggal, hidup aman yang bebas dari intimidasi dan teror, menyayangi rakyat dan memberi kebebasan menyatakan pendapat.
Biarlah ethnic Burma yang sudah berjasa memahatkan nama ethnic-nya menjadi nama sebuah Negara -Burma- dan biarlah ethnis Shan (Syiam) dan Mon, yang tinggal di jalur perbatasan Thailand-Burma (Myanmar) dan ethnis Karen, yang berdiam sebelah Utara, kawasan golden triangle (segitiga emas), hidup tenang dan sentosa. Biarlah ethnic Rakhine (non muslim) dan ethnic Rohingya mendiami Arakan dengan hati damai dan bebas menjalankan ajaran agama dan budaya masing-masing. Bahkan beri kebebasan menentukan nasib diri sendiri, jika cukup alasan untuk itu.
Sangat sulit mendapat jawaban tentang nasib masa depan gerakan kemerdekaan Arakan. Terlepas dari itu, nasib orang Rohingya yang terdampar di Aceh mesti diselesaikan dengan melibatkan langsung UNHCR. Penderitaan mereka sejak tahun 1660 A.D sampai sekarang belum berakhir. Di darat mereka dikejar bagaikan hewan buruan, di laut diburu bagaikan musuh. Biduk yang mereka kayuh adalah sampan rapuh; hanya tekad dan ketegaran hati yang mengantarkan mereka sampai terdampar di Aceh, tanah yang yang bertuah, ramah dan megah karena memuliakan tamu, dengan harapan ada sinar kasih yang putih. Orang Rohingya karam hati, karena enggan menjauh dari kenyamanan hawa pegunungan Minglagyi. Ya, mereka karam dihempas oleh gelombang di Selat Melaka. Tetapi sebenarnya, orang Rohingya karam cita-cita dan harapan merdeka dalam dada.
*)Director Institute for ethnics Civilization Research, Denmark.
{Serambi Indonesia,10/02/2009}
KALAULAH ada penguasa yang nama negaranya diubah dari Burma kepada Myanmar; itulah junta militer Myanmar. Kalaulah ada penguasa yang Ibukota negaranya diubah dari Rangoon [Yangon] kepada Naypyidaw; paling takut kepada demokrasi dan Aung San Suu Kyi; penguasa yang menginjak-injak HAM; melakukan ethnic cleancing secara sitematik terhadap penduduk Arakan; yang lebih mengedepankan karakter binatangmisme ketimbang humanisme, itulah junta militer Myanmar. Junta militer inilah yang membunuh lebih dari 3000 orang dalam kudeta tahun 1988.
Kalaulah ada negeri yang selalu dilanda krisis -konflik antar ethnic dan genocide; itulah Burma (Myanmar). Alasannya? Pertama, saat meletus konflik antara Mogul dan Raja Shah Shujah tahun 1660 A.D. Issue sentralnya karena perbedaan ethnic. Akibatnya, ribuan penduduk dari ethnik Rakhine dan Rohingya eksodus ke Bengal. [Sekarang: Bangladesh]. Kedua, ketika Raja Sanda Wiziya berkuasa tahun 1710 A.D. Dia mengancam untuk membunuh Kaman (seorang tokoh pemimpin muslim di Arakan), menangkap serta memenjarakan semua politisi Arakan. Karena ketakutan, rakyat terpaksa melarikan diri ke Bengal. Ketiga, saat Kalah (tokoh Muslim) melakukan protes dan pemberontakan seluruh pelosok negeri [tahun 1738 A.D.] atas alasan raja bersikap racis.
Apabila Raja menghimpun kekuatan, dilakukan pembunuhan massal terhadap penduduk muslim di Arakan. Ramai yang melarikan diri ke Provinsi Chittagong , di bawah imperium Mogul. Keempat, terjadi konflik antar ethnic tahun 1825 A.D, yakni: saat Bodaw Pya berkuasa, yang membunuh dan mengusir ribuan penduduk muslim Arakan. Akibatnya, bukan saja penduduk muslim Arakan, ethnic Rakhine pun menyelamatkan diri ke Bengal. Mereka baru kembali setelah Arakan diduduki British. Kelima, kerusuhan antara dua kubu kekuatan meletus tahun 1942, saat terjadi kevakuman pemerintahan, dimana British menarik diri dari Arakan, kawasan yang dikuasai Jepang. Waktu itu, berlangsung pembunuhan massal, yang sedikitnya 100,000 muslim Arakan terpaksa menyebarang sungai Naf, yang secara de facto masih dikuasai British. Mereka dilindungi dalam kèm pengungsi Rangpur, sementara ethnic Rakhine, sedikitnya 10,000 jiwa di sekat di Maungdaw. Mereka yang berani menyeberang kawasan Buthidaung-lah yang selamat dan dilindungi Inggeris dalam kèm Dainuspur dan sebagian lari ke India.
Sesudah disepakati dalam MoU antara Bengal-Burma, barulah sebagian dihantar pulang, sebagian lagi memilih tinggal di Bangladesh. Keenam, meletus konflik antar ethnic pasca kemerdekaan tahun 1948, dimana pasukan Mujahid (ethnic Rohingya) dan militer -the BTF (Burma Ternional Force) terjadi baku tembak. Banyak orang sipil disiksa, dianiaya dan dibunuh. Perkampungan dibakar, menyekat makanan dll. Tindakan BTF semata-mata menghancurkan kekuatan oposisi. Mereka terpaksa melarikan diri ke wilayah Timur Pakistan. Ketujuh, meletus konflik ethnic dan seiring dengan itu diberlakukan “Dragon King Operation” tahun 1978. Operasi ini lebih tepat dinamakan “ethnic cleancing”, yang sedikitnya 300.000 penduduk muslim Arakan dan ethnic Rakhine lari ke Bangladesh, hingga kemudian ditandatangani suatu MoU antara Bangladesh-Burma tentang: pemulangan kembali para pengungsi. Kedelapan, antara akhir tahun 1991 -awai 1992, terjadi tragedy berdarah, dimana junta militer mengerahkan 10 hingga 14 batalion serdadu untuk membumi hangus dengan tujuan menukar wilayah Arakan dari wajah muslim menjadi wajah Budhis dan Pagodas. Lebih dari 25.000 penduduk muslim Arakan dan ethnic Rakhine terpaksa menyelamatkan diri ke Bangladesh.
Kembali ditanda tangani suatu MoU antara Burma-UNHCR, yang menjamin hak-hak hidup dan melingdungi penduduk mulim Arakan secara manusiawi. Dari 25.000 jiwa, kebanyakan dari mereka diterima sebagai refugee di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, UAE, Thailand, Malaysia (20,000 orang) dan Indonesia. Sementara itu, di Swedia terdapat pelarian politik Rohingya sejumlah 300 orang, Norwegia 60, Inggeris 100, Belanda 40 dan Denmark 100 orang. Inilah kronologis konflik antara ethnic di Myanmar.
Bicara soal Arakan, berarti kita tengah bicara soal ethnic Rohingya, suatu ethnic minoritas yang duduk di Arakan. Dalam sejarahnya, sejak abad ke- 8, sudah masuk Islam ke sana, dibawa oleh para pedagang dari India. Secara bertahap orang muslim di sini merambah masuk ke dalam kancah politik dan budaya, yang dimulai sejak pemerintahan Min Tsaw Mwun, dibantu oleh Sultan Jalaluddin Mohammed Shah (Nazir Shah) yang berkuasa di Arakan. Ethnic Rohingya yang menetap di Arakan, memiliki deretan pemimpin, seperti: Alia Beg dari Baguna, Buthidaung, Mohammed Hanif dan Amir Hamzah, yang berturut-turut pernah menjadi penguasa di sini.
Walau pun satu ketika, dinasty Mrauk-U (non muslim) pernah mengambil alih kuasa, tetapi tradisi Islam dalam administrasi pemerintahan tetap dipelihara dan dipertahankan, yang sudah menjadi precedent sejak pemerintahan Sultan Gaur. Arakan juga pernah dipimpin oleh Mohammed Shah, tetapi dalam perang melawan Doui Minikka dari Tippera, dia terbunuh. Wilayah kuasa Raja Tippera meliputi wilayah Chittagong yang sudah mengakar dengan budaya Islam sewaktu berada di bawah naungan Arakan. Dr Kunango, pakar sejarah Chittagong menerangkan: “Suatu ketika, Arakan pernah disatukan administrasinya dengan sebelah Timur Bengal, tetapi saat Hussein Shahi‘s berkuasa, wilayah Chittagong berhasil diduduki dan administrasinya disatukan di bawah wilayah hukum Codavascao (Khuda Baksh Khan)”.
Akar sejarah Arakan (Rohingya) yang berwarna Islam ini, mau dicabut oleh junta militer. Satu-satunya cara melakukan ethnic cleancing atau genocide secara sitematis. Tindakan ini, selain bertentangan dengan sejarah, juga berlawanan dengan teologi pembebasan. Junta milter Myanmar telah gagal mengamalkan moral Budhisme yang mengajarkan kerendahan hati, kesederhanaan dan kebebasan dalam kehidupan keseharian dan politik praktis -setidak-tidaknya- telah menyalah tafsir dan menyalah gunakan teologi ini, yang cenderung menghubungkan dengan doktrin Marxisme, dimana setiap tindakan kekerasan untuk menumbangkan atau mempertahankan kekuasaan mendapatkan legitimasi dari agama.
Padahal teologi pembebasan bertujuan membela nasib kaum dhu‘afa dan kaum tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil dan menyebabkan kaum lemah selalu menjadi korban eksploitasi politik. (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation. Maryknoll: Orbis, 1998.) Hal ini terbukti dari prilaku kebinatangannya, saat junta militer betindak biadab terhadap rakyat dan ribuan Biksu yang ikut demonstrasi pertengahan tahun 2007, demi menyuarakan pentingnya kedamaian dan kebebasan mengeluarkan pendapat di alam demokrasi. Sebelumnya, hasil Pemilu yang dimenangkan Aung San Suu Kyi dengan angka 92 persen lebih, telah dibatalkan oleh Junta militer Myanmar secara sepihak. Ini berarti, junta militer Myanmar, selain anti kerukunan antar ethnic dan kerukunan umat beragama dan genocide, juga rezim yang anti demokrasi.
Keberagaman ethnic dan agama di Myanmar, tidak dinilai sebagai khazanah kekayaan bangsa yang mesti dibina dan diarahkan kepada persatuan, berdasarkan ideologi negara: yang memberi hak berusaha, tempat tinggal, hidup aman yang bebas dari intimidasi dan teror, menyayangi rakyat dan memberi kebebasan menyatakan pendapat.
Biarlah ethnic Burma yang sudah berjasa memahatkan nama ethnic-nya menjadi nama sebuah Negara -Burma- dan biarlah ethnis Shan (Syiam) dan Mon, yang tinggal di jalur perbatasan Thailand-Burma (Myanmar) dan ethnis Karen, yang berdiam sebelah Utara, kawasan golden triangle (segitiga emas), hidup tenang dan sentosa. Biarlah ethnic Rakhine (non muslim) dan ethnic Rohingya mendiami Arakan dengan hati damai dan bebas menjalankan ajaran agama dan budaya masing-masing. Bahkan beri kebebasan menentukan nasib diri sendiri, jika cukup alasan untuk itu.
Sangat sulit mendapat jawaban tentang nasib masa depan gerakan kemerdekaan Arakan. Terlepas dari itu, nasib orang Rohingya yang terdampar di Aceh mesti diselesaikan dengan melibatkan langsung UNHCR. Penderitaan mereka sejak tahun 1660 A.D sampai sekarang belum berakhir. Di darat mereka dikejar bagaikan hewan buruan, di laut diburu bagaikan musuh. Biduk yang mereka kayuh adalah sampan rapuh; hanya tekad dan ketegaran hati yang mengantarkan mereka sampai terdampar di Aceh, tanah yang yang bertuah, ramah dan megah karena memuliakan tamu, dengan harapan ada sinar kasih yang putih. Orang Rohingya karam hati, karena enggan menjauh dari kenyamanan hawa pegunungan Minglagyi. Ya, mereka karam dihempas oleh gelombang di Selat Melaka. Tetapi sebenarnya, orang Rohingya karam cita-cita dan harapan merdeka dalam dada.
*)Director Institute for ethnics Civilization Research, Denmark.
{Serambi Indonesia,10/02/2009}