Oleh Yusra Habib Abdul Gani*
KETIKA King Pop Michael Jackson dilepas dari Traple Centre (06/07/09) lalu, secara filosufis Queen Latifah (berkulit hitam) berkata: “Yang sudah tiada akan kita saksikan sebagai sesuatu yang akan tiada lagi, tapi Michael Jackson selamanya dikenang sebagai penyanyi ulung di dunia.” Seorang anggota Kongress USA, wanita berkulit hitam, juga mengatakan: “Michael Jackson telah meruntuhkan tembok racisme antara black and white di Amerika Serikat yang sangat menjengkelkan itu. Dunia telah menjadi saksi.” Di akhir pidatonya, dia persembahkan kepada ahli waris sebuah plakat yang ditandatangani 600 orang terkemuka. Isinya penobatan Michael Jackson sebagai penyanyi legenda yang bernilai universal. Memang, sentuhan lagu “black or white” bermaksud mengubur racisme dan membangun cinta dan kedamaian.
Namun segala terbatas, seperti bunyi kalimat yang terpampang pada monitor: “ada orang bilang, langit itu terbatas; aku setuju dengan ucapan ini”. Keratan kalimat “langit itu terbatas” membayangkan bahwa manusia juga pemilik sah dari ketidaksempurnaan. Itu sebabnya, untuk menilai seseorang jangan melihat dari satu arah pandang, terlepas sanjungan ke atas Michael Jackson mengalir deras. Ada sudut lain -realitas moral yang bisa menjadi pelajaran, misalnya: kedua anaknya tidak mengenal Ibu kandungnya (Debbie Rowe) yang selama ini kenyang (tamak) dengan agihan uang Rp 400 juta setiap tahun dari Michael Jackson, untuk tidak mengasuh anak kandungnya. Kemudian, menyisakan masalah hak mengasuh ketiga anaknya. Kini sedang menjadi perdebatan hangat antara Gloria Allred (kuasa hukum Debbie Rowe, bekas Isteri Michael Jackson) dan Wendi Murphy (kuasa hukum dari famili Jacko) yang sangat mengecam prilaku Debbie Rowe.
Realitas lain ialah: Michael Jackson yang bernama Michael Joseph lahir pada 29. Agustus 1958 di Gary, Indiana dari pasangan Joseph dan Karen Jackson, sah berkulit hitam. Michael Jackson telah mengingkari kodrat Tuhan dalam ucapannya: “Aku orang kulit putih dan isteriku berkulit hitam. Aku tidak senang berkulit hitam dan lihat anak-anakku, mereka semua berkulit putih.” yang dibeberkan secara gamblang dalam Oprah Winfrey Show tahun 1990-an tentang: mengapa dia mengubah kulitnya dari warna hitam manis menjadi warna putih dan tindakan Joseph (Ayah Michael Jackson), yang disiplin, sering menggebuki dan bertindak otoriter. Sekiranya tidak diperlakukan demikian, mungkin tak jadi begini Michael Jackson. Tapi semua itu hanyalah andaian saja. Sebab di mata Michael Jackson, tindakan Ayahnya disifatkan sebagai bentuk ‘neo kolonialism’ atau “neo-liberalism” yang membenarkan dan membebaskan segala tindakan kekerasan dalam lingkungan keluarga yang mengatasnamakan kuasa orangtua. Model “Joseph- Joseph” seperti ini bertabur dalam masyarakat kita, yang pada umumnya memandang anak bukan sebagai mitra bicara, melainkan objek dari kuasa orangtua.
Biarlah jutaan orang -terutama fans-nya- larut dalam kenangan yang tak menyangka ‘king of the pop music’ itu tersungkur. Meluahkan fanatisme dengan berkata: ‘Michael Jackson hanya sekali mati, akan menghidupkan dan menghadirkannya dalam relung hati kami lewat sentuhan lagu-lagunya.’ Jutaan orang memang telah mengantar dan menitipkan Michael Jackson kepada kandungan bumi agar setia mengasuhnya. Orang hanya bisa memakamkan jasadnya, tetapi siapa pun tidak akan mampu menguburkan warisan penyakit jiwa Michael Jackson -‘inferiority complex’- yang dideritanya sejak dia tenar. Penyakit ini akan terus menular sepanjang masa dalam masyarakat mana saja, yang bahayanya mampu mengalahkan wabah flu burung dan flu babi. Inferiority complex adalah sutu jenis penyakit jiwa, di mana seseorang kehilangan kekuatan jiwa; kehilangan percaya diri; selamanya tergantung kepada kehendak orang lain; merasa dirinya lebih rendah derjatnya daripada orang lain. Hal ini bisa saja terjadi karena bentuk fisik yang tidak secantik orang lain; kulitnya tidak semulus orang lain; warna kulitnnya tak seputih bersih orang lain; hidungnya tidak semancung orang lain; fosturnya tubuhnya yang panjangnya semeter kotor tidak sesemampai dan seganteng orang lain.
Seorang gadis cantik USA, salah seorang patient Dr. Phill [Psycholog kondang di USA], mengaku telah mengeluarkan puluhan ribu dollar USA, melakukan operasi plastik untuk merombak wajahya secantik wajah Jennefer Winston -bintang film “Friend”- itu. Operasi plastik ini tidak sepenuhnya berhasil atau persis seperti wajah yang diinginkannya. Maklum saja plastik tak tahan lama kena sinar Matahari. Wajah gadis yang sebelum ini juga cantik, berubah menjadi Jenneffer falsu yang tidak cantik lagi. Gadis itu menangis sejadi-jadinya di depan Dr. Phill. Sang dokter memberitahu walaupun nasihatnya sudah terlambat; “meniru adalah proses alamiah dan hal yang wajar, tetapi tidak mesti dalam bentuk meniru fisik, melainkan meniru moral dan prestasi seseorang, disesuaikan dengan potensi diri”. Gadis ini terserang penyakit jiwa ‘inferiority complex’.
Ciri-ciri lain dari penyakit jiwa ‘inferiority complex’ ialah: orang merasa malu bertutur dalam bahasa Ibunya -bahasa asli- sebaliknya merasa bangga bertutur dalam bahasa asing; membungkuk dan tabik kepada orang lain, sebab merasa derajat dirinya dan suku (ethnic)-nya lebih rendah daripada orang dan suku lain; merasa malu memakai pakaian adatnya, sebaliknya merasa dirinya mulia dan terhormat ketika memakai pakaian adat suku asing; orang malu membubuh nama berciri sukunya sendiri, sebaliknya merasa bangga memakai nama dari suku lain. Misalnya, ketika di kampung bernama Teuku Djunéd, setelah bermukim di Jakarta bertukar menjadi Turino Junaidi; menukar nama kota dan kampung halaman berciri adat dan sejarah kepada nama yang milik etnis lain. Tegasnya kehilangan karakteristik.
Kisah nyata itu mengingatkan kita kepada kehidupan pribadinya Michael Jackson yang menderita penyakit jiwa ‘inferiority complex’ telah menukar kulitnya dari warna hitam kepada warna putih, mengubah hidungnya menjadi lebih mancung dan rambut yang keriting ikal menjadi hitam lurus dengan membelanjakan jutan dollar USA.
Akhirnya, wajahnya yang manis menarik itu rusak binasa, kulitnya tidak bisa lama terkena sinar matahari. Sehingga kemana saja pergi, selalu dipayungi, karena takut pènyok! Michael Jackson telah kehilangan percaya diri dan kebanggaan sebagai orang berkulit hitam; merasa dirinya lebih populer berwarna kulit putih ketimbang berkulit hitam; kehilangan percaya diri yang mengira lebih mulia berkulit putih daripada berkulit hitam. Dia menyiksa diri dengan rasa nyeri dan ngilu di sekujur tubuhnya. Untuk mengusir rasa sakit ini, telah membelanjakan lebih dari Rp 450 juta setiap bulan dan selalu dihantui oleh perasaan ‘hypochondria’ (kekhawatiran yang berlebihan terhadap kondisi kesehatan).
Dalam dunia psychology juga dikenal istilah lain ‘skizofrenia’ adalah penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan respons emosional dan menarik diri dari hubungan antar pribadi normal. Kerap diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Semua ini berhubungan dengan neurosis atau disebut juga dengan ‘psikoneurosis’, yang merujuk pada ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stress.
Sahabat Jacko, Tarak Ben Ammar, menuduh para dokter pribadinya telah memanfaatkan ‘hypochondria’ yang diderita Jacko untuk merusak wajahnya dan menawarkan obat penenang, sebagai alasan untuk meraup uang. Michael Jackson juga mengkhawatirkan kalau dia mati mendadak, seperti dituturkannya kepada Lisa Marie Presley, yang dinikahinya pada 18 Me 1994 dan bercerai 18 Januari 1996, akhirnya menjadi kenyataan (25 Juni 2009) Los Angeles Coroner Office membenarkan Jackson mati karena serangan jantung. Brian Oxman, pengacara keluarga Jackson mengatakan “Jackson ambruk di rumahnya di Los Angeles, California”.
Dalam falsafah warna, warna hitam adalah simbul dari keagungan dan kemegahan, sementara putih adalah warna murahan (kelas kaki-lima). Jacko lupa akan hal ini! Lihat! semua mobil mewah berwarna hitam pekat yang mengantarkan Jacko berkulit putih palsu dalam keranda. Jacko tidak pernah menyadari kalau dia populer seluruh dunia bukan karena kulit putihnya yang palsu dan murahan itu, akan tetapi karena dia berkulit hitam. Banyak orang coba melupakan atau menyembunyikan kebenaran ini. Benar Michael Jackson sudah pergi dan tak akan kembali lagi. Adalah benar dia telah mati, tetapi bukankah terdapat jutaan orang di sekitar kita, yang secara moral mewarisi, menghidupkan dan menularkan penyakit jiwa ‘inferiority complex’ yang diderita Michael Jackson?
* Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia,14 July 2009]