Monday, July 13, 2009

Aceh dan Dagang Politik

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

Orang Aceh pantas merasa bangga karena memiliki karakter ”Superiority Complex”, yang memandang dirinya lebih mulia daripada Belanda dan orang lain. Orang Aceh menyebut dirinya: ”Ulôntuan” yang berarti: ”Saya adalah tuan” atau cukup ”Saya” saja. Aplikasi dalam pertuturan sehari-hari mengalami proses pemèndèkan sebutan. Siapa saja yang memanggil, maka orang yang dipanggil itu selalu menyahut dengan kata: ”Wan” yang berasal dari ”Ulôntuan.” Bermakna, orang Aceh memandang dirinya tetap sebagai ”Tuan” kepada siapa pun juga, tanpa kecuali. Karakteristik ini secara tidak langsung terbawa ke dalam strata kehidupan sosial dan politik. Di mata Snouck Hurgronje, ”Superiority complex” yang dimiliki orang Aceh ini disifatkan sebagai ’penyakit jiwa’, bukan sifat keutamaan. Oleh sebab itu, orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya. Doktrin Snouck bajingan ini gagal di Aceh.

Sebenarnya, ada cara lain untuk menyakiti dan menghina orang Aceh, yakni: jangan memperlakukan secara kasar terhadap fisiknya. Cara ini selamanya gagal; tetapi merubah jiwanya secara perlahan-lahan dari mentalitas ”tuan” menjadi mentalitas ”babu atau budak”. Rasa ”superiority complex” digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat dan dianggap sebagai ”barang” dagang politik untuk kepentingan politik.

Sebagaimana terbukti, bahwa bukan saja ”orang Aceh”, tetapi juga ”Aceh” dipakai sebagai brand, yang memiliki daya pikat dan nilai jual dalam perniagaan politik lokal, nasional maupun Internasional. Ianya berpotensi selain mengubah opini dan mempengaruhi daya beli konsumen politik, juga berkhasiat melariskan barang dagang politik, seperti: propaganda, janji-janji dan program pembangunan. Menggunakan brand Aceh adalah salah satu cara yang jitu untuk meraih kemenangan dalam gelanggang politik.

Dalam skala politik internasional misalnya: nama ”Aceh” pernah dipakai sebagai brand oleh Belanda. Hasilnya bisa memenangkan politik penjajahan Belanda di Asia Tenggara. Statement Van Sweten tahun 1874: ”Aceh sudah kita taklukkan”, dipakai Belanda untuk mempengaruhi politik dunia internasional pada masa itu. Ratu dan rakyat di seluruh pelosok Belanda, keluar rumah berjingkrak-jingkrak di jalan-jalan untuk merayakan kemenangan, setelah menerima pengumuman Van Sweten. Demikian pula di pulau Jawa, dalam benteng-benteng Belanda dibunyikan meriam 21 kali sebagai simbul kemenangan. Kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Atas keberhasilan Belanda menggunakan issue Aceh sebagai brand dagang politik, sehingga Inggeris terpengaruh untuk memberi hak ”belligerent power” (kuasa berdagang dalam suasana perang) kepada Aceh dan pihak asing untuk berdagang di Selat Melaka. Maksudnya, selain menditeksi peta kekuataan Angkatan Laut Aceh, juga menguntungkan perdagangan dan politik negara asing, seperti: Belanda, Inggeris, Perancis dan USA di kawasan Asia Tenggara.

Giliran selanjutnya, nama: ”orang Aceh” (Uleëbalang dari 116 Mukim) di Kutaraja dan daerah sekitarnya yang menandatangani ”Korte Perklaring” (”pernyataan menyerah”), dipakai sebagai brand untuk merubah pandangan dan sikap orang Aceh lain terhadap Belanda di Aceh. Upaya ini ’berhasil’, walau tidak menyeluruh.
Dalam skala nasional, ”orang Aceh” pernah dimanfaatkan Sukarno sebagai brand dagang politik untuk menyelamatkan Indonesia, di mana Tgk. Hasan Krueng Kalé, Tgk. Daud Beureuéh, Tgk. Djafar Sidiq Lamdjabat dan Tgk. Ahmad Hasbalah Indrapuri, berhasil dibujuk untuk mengeluarkan Maklumat [baca: ”Korte Perklaring”] tgl. 5. Oktober 1945, yang menyebut: ”... Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan dari yang maha Pemimpin kita Ir. Sukarno. Perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut ”Parang Sabil”

Kalimat ”maha Pemimpin” dan ”Parang Sabil” adalah brand yang berhasil mempengaruhi cara pandang orang Aceh melihat figur Sukarno, hingga terseret dalam perang Surabaya, Bandung Lautan Api dan perang lain di tanah Jawa. Pada hal, nasib masa depan Aceh ketika itu belum menentu. Brand ini dipakai Sukarno, hingga mampu menciptakan dirinya lebih populer ketimbang tokoh masyarakat, cendikiawan dan Ulama Aceh. Ini terbukti dari kunjungan Sukarno ke Acheh tahun 1948; sekembalinya ke Jawa membawa oleh-oleh 10 koper yang penuh dengan tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis emas, padahal sewaktu berangkat dari Yogyakarta ia hanya membawa sebuah satu koper saja, bahkan baju Jasnya dijahitkan oleh Bantasyam, seorang penjahit di Bireuën.

Diketahui bahwa, sebutan kepada Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, telah dicabut melalui Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966. Melucuti semua sebutan, seperti: “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M.), “Yang Mulia” (Y.M.), “Paduka Tuan” (P.T.) diganti dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” melalui Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966, bahkan mencabut semua atribut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Tetapi sebaliknya, sebutan ”maha pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Aceh belum ada peraturan perundang-undangan (TAP-MPR atau peraturan hukum) lainnya yang mencabut. Dengan tidak menyebut sebutan ”maha Pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Aceh, maka yuridis formal, sebutan tersebut masih sah. Mengapa? Siapa pun bisa membayangkan, bahwa betapa perlu dan mahalnya brand Aceh dalam perdagangan politik Indonesia, kemaren, hari ini dan esok.

Bukan hanya itu; yang mencetuskan idé supaya Sukarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup datang dari Aceh. Waktu itu, Ali Hasymi sebagai gubernur Aceh (periode 1957-1964). Idé tersebut menarik perhatian dan mendapat sambutan dari kalangan politisi di Betawi. Jika tidak karena itu, tak akan lahir Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963, tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Idé ini dianggap “barang” dagang politik, sehingga MPRS, Ketua : Chairul Saleh; Wakil: Ali Sastroamidjojo, Idham Chalid, D.N. Aidit dan Kol. Wilujo Puspojudo meloloskan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 yang gila ini.

Kehebatan merek Aceh dalam dagang politik, bukan saja menggoncang, tetapi juga menggoyang dan merebahkan dasar Konstitusi negara Indonesia tahun 1945 tentang kedudukan Presiden. Dalam memori penjelasan TAP-MPRS ini disebut: “... mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup ialah: untuk menghidupkan dan memperkaya precedent dalam ketata-negaraan Indonesia...” Sukarno tidak menolaknya, kendati pun tahu bahwa perkara ini berlawanan dengan UUD-1945. Soal kemudian, TAP-MPRS No. III/MPRS/1963 dimansukhkan, itu soal lain. Orang Aceh yang punya rasa “superiority complex” (sakit jiwa), bukan saja dijadikan “barang” dagang politik, bahkan lebih jauh dari itu, digunakan untuk melakukan perbuatan makar hukum.

Selanjutnya, masih segar dalam ingatan kita di tahun 1987, saat Bustanul Arifin (mantan Ketua Bulog) membisikkan: “Apakah Tengku merestui Golkar menang di Aceh?” kepada Tengku Daud Beureuéh. Wartawan bertanya: “apa renpons Tengku?.” “Tengku merestui”, jawab Bustanil. Pada hal kondisi beliau dalam keadaan sekarat, nyawa sudah di ubun-ubun. Tokh “suara asing” tadi dipakai sebagai brand dagang politik untuk memenangkan Golkar di Aceh.

Belakangan ini, figur Aceh yang layak jual agak sukar ditemukan. Lantas, “permintaan maaf” sepihak dari Wiranto kepada orang Aceh pada 06/08/1998 di Lhôk Seumawé dan berhasilnya MoU Helsinki ditanda tangani, kononnya atas inisiatif seseorang, telah dipakai oleh pasangan JK-Wiranto sebagai brand. Demikian juga SBY yang oleh segelintir orang Aceh dianggap berjasa dalam penanda tanganan MoU Helsinki. Pada hal semua ini tidak terlepas dari kepentingan politik RI, CMI dan dunia Internasional.
Kalau mau jujur, tangan siapa (semua calon Pres-Wapres) yang tidak kotor di Aceh? Namun demikian, orang Aceh tetap anthusias menyambut pilPres-Wapres. Adalah wajar, karena dalam ukuran moral; orang Aceh seumpama pucuk Tebu; dipenggal, dihujamkan ke dalam tanah, diinjak-injak hingga remuk menjadi baja, demi melahirkan tunas-tunas menjadi batang agar orang menikmati airnya.

Dari sudut politik, orang Aceh adalah “barang” politik untuk mencapai kekuasaan, bukan “tuan” atau “pemilik” kekuasaan. Sebab, yang disebut tuan politik ialah: orang yang mampu menempatkan diri sebagai subjek dari kekuasaan, bukan “barang”, alat atau objek dari kekuasaan. Bencana yang paling hina dalam peradaban manusia terjadi, ketika predikat “superiority complex” berubah fungsi dari orang menjadi “orang-orangan” (scarecrow) yang hanya berguna dipakai untuk menakut-nakuti burung di kebun dan di sawah. Adakah semua ini suatu proses kimiawi politik yang alamiah? Wallahu’aklam bissawab![]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.

Artikel Terkait