Yusra Habib Abdul Gani*
HARUS diakui bahwa, dalam penulisan sejarah Aceh, tidak terlepas dari referensi yang ditulis oleh penulis asing atas dasar pengalaman pribadi, seperti: Marie C. Van Zegelen dan Snouck Hurgronje; ... Davis, utusan resmi negara asing (Konsul Prancis yang pernah bertugas di Aceh); ... Paul Van’t Veer dan H.C Zentgraaff, wartawan Belanda yang turut serta dalam perang Aceh-Belanda; ... Lord Standley Alderley, politisi Inggeris (anggota Parlemen Inggeris yang gigih membela Aceh) dan Granville Lombard (Menlu Inggeris); ... Ulysses S. Grant (President USA); ... Pakar sejarah Denys Lombard dan Anthony Reid dll. Referensi tersebut telah menghiasi halaman sejarah, sekaligus membantu kita untuk menelusuri jejak langkah sejarah Aceh.
Terus terang, referensi tentang Aceh yang ditulis oleh orang Aceh sangat terbatas sekali, termasuk perkara yang dibincangkan ini. Bagaimana pun, kita berhak mengkaji dan menafsirkan fakta yang disajikan. Untuk itu, penulis sejarah harus sepakat dengan beberapa kriteria. Pertama, berdiri tegak di atas pilar kebenaran fakta, bebas dari pengaruh dan tekanan dari kuasa politik manapun yang menyebabkan tidak objektifnya suatu tulisan. Kedua, mensucikan diri dari subjektivitas. Ketiga, penyampaian terarah dan sistematik, diperkuat oleh fakta akurat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ke-empat, analisa dan interpretasi terhadap suatu fakta tidak mengandung kontradiksi yang ekstrim diantara fakta yang tersedia. Jika terjadi juga, maka pemaparan fakta tadi mesti jitu dan akurat.Kelima, penulisan sejarah disulam dalam bingkai sejarah yang didalamnya terdapat suatu rangkaian yang mengikat hubungan lahir-bathin suatu generasi dahulu ke generasi sekarang dan mendatang. Dengan begitu, historiographi yang diketengahkan akan memenuhi standard.
Kriteria inilah yang dipakai oleh para ahli sejarah demi menjaga wibawa dan mutu tulisan, karena suatu masa akan digunakan sebagai rujukan. Selain itu, juga menjadi penentu bagi si penulis sendiri terutama soal ketajaman analisanya.
Adalah berbahaya sekali jika fakta sejarah dipalsukan, hanya lantaran mengikuti kepentingan penguasa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Snouck Hurgronje dan Van Sweten (membuat laporan palsu dan menulis tentang Acheh hanya untuk memuaskan penguasa) dan propaganda Belanda kepada dunia luar. Akhirnya, Van Sweten diketahui membentuk partai politik yang berjuang untuk menyudahi perang melawan Aceh. ”Aceh tak bisa kita taklukan, walau kita tanami bayonet di atas rumput seluruh Aceh” Katanya. Snouck akhirnya juga dikutuk karena telah mencemarkan nilai-nilai code ethic sebagai seorang intelektual. Snouck adalah intelektual bajingan!
Berkaitan dengan Habib Abdurrahman Zahir, di antara fakta yang dihimpun menyebut: ”Lord Granville, Menteri Luar Inggeris pada waktu itu dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman Zahir, Menteri Luar Negeri Acheh, pada 15 Juli 1873, tidak pernah mengatakan bahwa Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris itu tidak sah atau tidak berlaku lagi, atau sudah dibatalkan, tetapi dia hanya mengatakan bahwa Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya. Menteri Luar Negeri Inggeris itu tidak membantah perkara ada dan sahnya Perjanjian itu. Dia hanya tidak mau melakukan kewajibannya menurut Perjanjian itu. Alasan mengkhianati Acheh karena Inggeris sudah menandatangani satu Perjanjian lain dengan Belanda yang isinya bertentangan dengan Perjanjian dengan Acheh.” [Tengku Hasan di Tiro, "Perkara & Alasan", Ceramah Dimuka Scandinacian Association Of Southeast Asian Social Studies, Gôteeborg, Sweden 23. Agustus 1995]
Kalimat: “…dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman…” merupakan bukti bahwa, sebagai Menteri Luar Negeri, Habib pernah mengirim surat resmi –diplomatic correspondence– kepada pemerintah Inggeris. [teks surat ini belum berhasil diketemukan] Karena itulah, majalah Frazer's Magazine, terbitan London, pada edisi Januari 1874, p. 124-134, telah menyifatkan jawaban Lord Granville sebagai “satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah ditulis manusia”. Ini menjadi satu bukti penting tentang kuatnya kedudukan Acheh dalam politik Internasional sebagai satu negara merdeka yang kedaulatannya diakui dunia.
Aceh berhak bertanya, sebab Aceh-Inggeris masih terikat dengan Perjanjian tahun 1603 dan Perjanjian Pertahanan Keamanan bersama di Selat Melaka, tahun 1819; termasuk “Traktat London” 1824, yang memuat pernyataan sikap Inggeris-Belanda terhadap Aceh. Jadi, “Traktat London” 1871, dimana Inggeris menyokong Belanda melakukan aksi militer menakluki Aceh, memang bentuk pengkhianatan Inggeris terhadap Aceh secara terang-terangan.
Di saat perang antara Aceh-Belanda berkecamuk, kalangan saudagar Acheh –yang ulang-alik antara Acheh-Pulau Pinang– berhasil memperoleh ”belligerent of power” (”kuasa dagang dalam situasi perang”), setelah melobby Inggeris. Kelompok ini, secara rahasia mengajukan proposal Perjanjian Damai: ”Acheh a protectorate of Netherlands” dan diminta hadir intermediaries (penengah) yang ditunjuk oleh kalangan mereka sendiri. Intermediarie inilah yang mula-mula mengadakan negosiasi dengan Konsul Belanda di Pinang, Malaysia. Yang diajukan adalah: “A draft peace treaty which would have made Acheh a protectorate of Netherlands.” Materi MoU ini dipertanyakan Belanda, terutama mengenai sejauhmana nantinya kuasa Belanda di samping kuasa Sultan dan apa bendera yang dikibarkan, seandainya Acheh sebagai negara protektorat Belanda. Tentang hal ini dikatakan:”… It is not clear how much power the Dutch “consul” would have had over the sultan nor what flag would have flown in Acheh, had the treaty been accepted. In any event the Dutch refused to negotiate because the considered themselves in a position of strength…” [The Greatest Names Flags. ”Flags In the News”. Whitney Smith, PhD. The Flag Bulletin.] Draft MoU yang diusulkan Saudagar Aceh ini ditolak, sebab dianggap tidak perlu.
Sesudah mentok, kelompok itu berhasil melobby Habib Abdurrahman Zahir yang saat itu berada dalam medan perang. Habib Abdurrahman berhasil dibujuk dan dipertemukan dengan dinas intelijen Belanda di Pulau Pinang. Harapan mereka agar proposal “Acheh a protectorate of Netherlands” lolos untuk disepakati. Alkisah, perundingan itu berubah arah. Juru runding Belanda menawarkan fasilitas: rumah, jaminan keamanan dan gaji selama hidup di Arab Saudi kepada Habib Abdurrahman. Tawaran Belanda ini di-amin-kannya. Soal berapa besar gaji, sudah dikutip oleh Said Muniruddin berdasarkan keterangan dari bererapa sumber.
Dari Arab Saudi, Abdurrarhman atasnama “Mangkubumi Aceh”, pada 3 Muharram 1302 (Oktober 1884), mengirim surat kepada Penguasa Hindia Belanda yang mengusulkan 7 point. [lihat: “Atjèh” oleh H.C Zentgraaff]. Pada point 1 disebut: “Karena kesetiaan saya yang ikhlas terhadap pemerintah Belanda, maka izinkanlah saya memperdengarkan pikiran saya secara ringkas ke telinga yang adil dan tidak resmi, akan tetapi dengan perasaan ikhlas dan bersahabat. Sekiranya Pemerintah sejenak mengarahkan pandangan mulianya didalam mencari seorang Islam yang berwatak mulia, berketurunan tinggi dan mengangkatnya dalam negeri Aceh untuk mengurus hal-hal dalam negeri itu, sehingga ia, dengan memiliki gelar Raja atau lain-lain yang serupa dengan itu, dapat bertindak terhadap semua rakyat Aceh atas nama Pemerintah Hindia Belanda.” Dalam point 2 tertera: “Orang tersebut haruslah seorang yang benar-benar setia terhadap Pemerintah dan selalu memperhatikan maksudnya supaya ia dapat melaksanakannya setiap waktu sesuai dengan pandangan Pemerintah.
Apa yang dipaparkan ini diharapkan berguna sebagai referensi tambahan, khususnya kepada sdr Adli dan Said Muniruddin. Dokumen (buku-buku) yang ditulis dan beredar sekarang, dengan rendah hati kita terima buat sementara, sampai kemudian ada fakta (bukti) lain lebih shahéh yang membuktikan sebaliknya. Sosok Habib Abdurrahman Zahir dituding sebagai ‘quisling’ (pengkhianat negara) berdasarkan tafsiran historis dari dokumen-dokumen yang ada, tambahan pula waktu itu dia masih menjabat Menlu Aceh. Maka adalah hal yang logis, kalau tafsiran historis dipakai Adli dalam uraiannya. Sebaliknya, hal yang logis dan realistis pula tafsiran analogi yang dikedepankan oleh Said Muniruddin dalam memaknai pengkhianat.
Yang pasti, Aceh adalah bumi yang kaya pahlawan dan pengkhianat. Yang tidak kurang tragisnya dalam kesejarahan kita ialah: orang yang terjaring dalam definisi pengkhianat juga masuk dalam jaring definisi pahlawan. Lihatlah ketokohan Habib Abdurrahman Zahir; di satu sisi, dia dituding sebagai ‘quisling’ Aceh, di sisi lain dia adalah seorang pejuang yang mengaku sebagai “Mangkubumi Aceh”. Di satu sudut dia menerima tawaran Belanda dan berkata: “Karena kesetiaan saya yang ikhlas terhadap pemerintah Belanda…”, di sudut lain, yang menurut Said Muniruddin, Habib Abdurrahman Zahir pernah diangkat sebagai wakil resmi kerajaan Turki untuk Arab. Jadi, siapa sebenarnya tokoh ini di depan cermin sejarah Aceh? Sejarah Aceh mengadili dan menjawabnya: Tunggu giliran terdakwa-terdakwa (penjahat sejarah Aceh) lain akan diadili.[Dimuat dalam SerambiIndonesia pada 28. September 2009]
*Director Institute for Ethnics Civilization Research.
HARUS diakui bahwa, dalam penulisan sejarah Aceh, tidak terlepas dari referensi yang ditulis oleh penulis asing atas dasar pengalaman pribadi, seperti: Marie C. Van Zegelen dan Snouck Hurgronje; ... Davis, utusan resmi negara asing (Konsul Prancis yang pernah bertugas di Aceh); ... Paul Van’t Veer dan H.C Zentgraaff, wartawan Belanda yang turut serta dalam perang Aceh-Belanda; ... Lord Standley Alderley, politisi Inggeris (anggota Parlemen Inggeris yang gigih membela Aceh) dan Granville Lombard (Menlu Inggeris); ... Ulysses S. Grant (President USA); ... Pakar sejarah Denys Lombard dan Anthony Reid dll. Referensi tersebut telah menghiasi halaman sejarah, sekaligus membantu kita untuk menelusuri jejak langkah sejarah Aceh.
Terus terang, referensi tentang Aceh yang ditulis oleh orang Aceh sangat terbatas sekali, termasuk perkara yang dibincangkan ini. Bagaimana pun, kita berhak mengkaji dan menafsirkan fakta yang disajikan. Untuk itu, penulis sejarah harus sepakat dengan beberapa kriteria. Pertama, berdiri tegak di atas pilar kebenaran fakta, bebas dari pengaruh dan tekanan dari kuasa politik manapun yang menyebabkan tidak objektifnya suatu tulisan. Kedua, mensucikan diri dari subjektivitas. Ketiga, penyampaian terarah dan sistematik, diperkuat oleh fakta akurat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ke-empat, analisa dan interpretasi terhadap suatu fakta tidak mengandung kontradiksi yang ekstrim diantara fakta yang tersedia. Jika terjadi juga, maka pemaparan fakta tadi mesti jitu dan akurat.Kelima, penulisan sejarah disulam dalam bingkai sejarah yang didalamnya terdapat suatu rangkaian yang mengikat hubungan lahir-bathin suatu generasi dahulu ke generasi sekarang dan mendatang. Dengan begitu, historiographi yang diketengahkan akan memenuhi standard.
Kriteria inilah yang dipakai oleh para ahli sejarah demi menjaga wibawa dan mutu tulisan, karena suatu masa akan digunakan sebagai rujukan. Selain itu, juga menjadi penentu bagi si penulis sendiri terutama soal ketajaman analisanya.
Adalah berbahaya sekali jika fakta sejarah dipalsukan, hanya lantaran mengikuti kepentingan penguasa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Snouck Hurgronje dan Van Sweten (membuat laporan palsu dan menulis tentang Acheh hanya untuk memuaskan penguasa) dan propaganda Belanda kepada dunia luar. Akhirnya, Van Sweten diketahui membentuk partai politik yang berjuang untuk menyudahi perang melawan Aceh. ”Aceh tak bisa kita taklukan, walau kita tanami bayonet di atas rumput seluruh Aceh” Katanya. Snouck akhirnya juga dikutuk karena telah mencemarkan nilai-nilai code ethic sebagai seorang intelektual. Snouck adalah intelektual bajingan!
Berkaitan dengan Habib Abdurrahman Zahir, di antara fakta yang dihimpun menyebut: ”Lord Granville, Menteri Luar Inggeris pada waktu itu dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman Zahir, Menteri Luar Negeri Acheh, pada 15 Juli 1873, tidak pernah mengatakan bahwa Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris itu tidak sah atau tidak berlaku lagi, atau sudah dibatalkan, tetapi dia hanya mengatakan bahwa Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya. Menteri Luar Negeri Inggeris itu tidak membantah perkara ada dan sahnya Perjanjian itu. Dia hanya tidak mau melakukan kewajibannya menurut Perjanjian itu. Alasan mengkhianati Acheh karena Inggeris sudah menandatangani satu Perjanjian lain dengan Belanda yang isinya bertentangan dengan Perjanjian dengan Acheh.” [Tengku Hasan di Tiro, "Perkara & Alasan", Ceramah Dimuka Scandinacian Association Of Southeast Asian Social Studies, Gôteeborg, Sweden 23. Agustus 1995]
Kalimat: “…dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman…” merupakan bukti bahwa, sebagai Menteri Luar Negeri, Habib pernah mengirim surat resmi –diplomatic correspondence– kepada pemerintah Inggeris. [teks surat ini belum berhasil diketemukan] Karena itulah, majalah Frazer's Magazine, terbitan London, pada edisi Januari 1874, p. 124-134, telah menyifatkan jawaban Lord Granville sebagai “satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah ditulis manusia”. Ini menjadi satu bukti penting tentang kuatnya kedudukan Acheh dalam politik Internasional sebagai satu negara merdeka yang kedaulatannya diakui dunia.
Aceh berhak bertanya, sebab Aceh-Inggeris masih terikat dengan Perjanjian tahun 1603 dan Perjanjian Pertahanan Keamanan bersama di Selat Melaka, tahun 1819; termasuk “Traktat London” 1824, yang memuat pernyataan sikap Inggeris-Belanda terhadap Aceh. Jadi, “Traktat London” 1871, dimana Inggeris menyokong Belanda melakukan aksi militer menakluki Aceh, memang bentuk pengkhianatan Inggeris terhadap Aceh secara terang-terangan.
Di saat perang antara Aceh-Belanda berkecamuk, kalangan saudagar Acheh –yang ulang-alik antara Acheh-Pulau Pinang– berhasil memperoleh ”belligerent of power” (”kuasa dagang dalam situasi perang”), setelah melobby Inggeris. Kelompok ini, secara rahasia mengajukan proposal Perjanjian Damai: ”Acheh a protectorate of Netherlands” dan diminta hadir intermediaries (penengah) yang ditunjuk oleh kalangan mereka sendiri. Intermediarie inilah yang mula-mula mengadakan negosiasi dengan Konsul Belanda di Pinang, Malaysia. Yang diajukan adalah: “A draft peace treaty which would have made Acheh a protectorate of Netherlands.” Materi MoU ini dipertanyakan Belanda, terutama mengenai sejauhmana nantinya kuasa Belanda di samping kuasa Sultan dan apa bendera yang dikibarkan, seandainya Acheh sebagai negara protektorat Belanda. Tentang hal ini dikatakan:”… It is not clear how much power the Dutch “consul” would have had over the sultan nor what flag would have flown in Acheh, had the treaty been accepted. In any event the Dutch refused to negotiate because the considered themselves in a position of strength…” [The Greatest Names Flags. ”Flags In the News”. Whitney Smith, PhD. The Flag Bulletin.] Draft MoU yang diusulkan Saudagar Aceh ini ditolak, sebab dianggap tidak perlu.
Sesudah mentok, kelompok itu berhasil melobby Habib Abdurrahman Zahir yang saat itu berada dalam medan perang. Habib Abdurrahman berhasil dibujuk dan dipertemukan dengan dinas intelijen Belanda di Pulau Pinang. Harapan mereka agar proposal “Acheh a protectorate of Netherlands” lolos untuk disepakati. Alkisah, perundingan itu berubah arah. Juru runding Belanda menawarkan fasilitas: rumah, jaminan keamanan dan gaji selama hidup di Arab Saudi kepada Habib Abdurrahman. Tawaran Belanda ini di-amin-kannya. Soal berapa besar gaji, sudah dikutip oleh Said Muniruddin berdasarkan keterangan dari bererapa sumber.
Dari Arab Saudi, Abdurrarhman atasnama “Mangkubumi Aceh”, pada 3 Muharram 1302 (Oktober 1884), mengirim surat kepada Penguasa Hindia Belanda yang mengusulkan 7 point. [lihat: “Atjèh” oleh H.C Zentgraaff]. Pada point 1 disebut: “Karena kesetiaan saya yang ikhlas terhadap pemerintah Belanda, maka izinkanlah saya memperdengarkan pikiran saya secara ringkas ke telinga yang adil dan tidak resmi, akan tetapi dengan perasaan ikhlas dan bersahabat. Sekiranya Pemerintah sejenak mengarahkan pandangan mulianya didalam mencari seorang Islam yang berwatak mulia, berketurunan tinggi dan mengangkatnya dalam negeri Aceh untuk mengurus hal-hal dalam negeri itu, sehingga ia, dengan memiliki gelar Raja atau lain-lain yang serupa dengan itu, dapat bertindak terhadap semua rakyat Aceh atas nama Pemerintah Hindia Belanda.” Dalam point 2 tertera: “Orang tersebut haruslah seorang yang benar-benar setia terhadap Pemerintah dan selalu memperhatikan maksudnya supaya ia dapat melaksanakannya setiap waktu sesuai dengan pandangan Pemerintah.
Apa yang dipaparkan ini diharapkan berguna sebagai referensi tambahan, khususnya kepada sdr Adli dan Said Muniruddin. Dokumen (buku-buku) yang ditulis dan beredar sekarang, dengan rendah hati kita terima buat sementara, sampai kemudian ada fakta (bukti) lain lebih shahéh yang membuktikan sebaliknya. Sosok Habib Abdurrahman Zahir dituding sebagai ‘quisling’ (pengkhianat negara) berdasarkan tafsiran historis dari dokumen-dokumen yang ada, tambahan pula waktu itu dia masih menjabat Menlu Aceh. Maka adalah hal yang logis, kalau tafsiran historis dipakai Adli dalam uraiannya. Sebaliknya, hal yang logis dan realistis pula tafsiran analogi yang dikedepankan oleh Said Muniruddin dalam memaknai pengkhianat.
Yang pasti, Aceh adalah bumi yang kaya pahlawan dan pengkhianat. Yang tidak kurang tragisnya dalam kesejarahan kita ialah: orang yang terjaring dalam definisi pengkhianat juga masuk dalam jaring definisi pahlawan. Lihatlah ketokohan Habib Abdurrahman Zahir; di satu sisi, dia dituding sebagai ‘quisling’ Aceh, di sisi lain dia adalah seorang pejuang yang mengaku sebagai “Mangkubumi Aceh”. Di satu sudut dia menerima tawaran Belanda dan berkata: “Karena kesetiaan saya yang ikhlas terhadap pemerintah Belanda…”, di sudut lain, yang menurut Said Muniruddin, Habib Abdurrahman Zahir pernah diangkat sebagai wakil resmi kerajaan Turki untuk Arab. Jadi, siapa sebenarnya tokoh ini di depan cermin sejarah Aceh? Sejarah Aceh mengadili dan menjawabnya: Tunggu giliran terdakwa-terdakwa (penjahat sejarah Aceh) lain akan diadili.[Dimuat dalam SerambiIndonesia pada 28. September 2009]
*Director Institute for Ethnics Civilization Research.