Yusra Habib Abdul Gani
Perang adalah seni hidup bernilai mahal dan universal. Betapa tidak? Dalam perang terjadi pergumulan antara rasa benci dan cinta; ... darah, air mata dan nyawa; keangkuhan dan rendah hati; ... keberanian dan ketakutan; ... ingin hidup dan mati; ... rasa ke-kami-an dan harga diri; ... kesetiaan dengan pengkhianatan; ... kepatuhan dan keingkaran; ... kehidupan dan kematian; ... keserakahan dan dermawan; ... alat perang convensional berhadapan dengan alat perang tradisional; ... bengis dan kasih sayang; ... moral dan inhumane, ... kemunafikan dengan keikhlasan; ... pihak yang merebut dan mempertahankan hak; ... agressor dan pihak yang dihabisi; ... munajat orang yang membunuh dengan do’a orang yang dibunuh [di Australia, John Howard menghadiri acara do’a bersama dalam sebuah Gereja agar serdadu yang dikirim untuk membunuh bangsa Iraq selamat, sementara di Masjid-Masjid di kota Baghdad dan kota-kota lainnya, kaum muslimin bertakbir dan berdo’a agar Allah menyelamatkan hidup mereka dari prilaku sang agresor]; ... propaganda dengan realitas dalam medan perang. Semuanya larut dalam perang.
Perang benar-benar mengandung multi dimensi kemanusiaan yang amat paradox. Manusia bisa belajar untuk memahami betapa mahalnya nilai-nilai kemanusiaan yang dilahirkan dari perang itu sendiri. Ya, perang tak ubahnya seperti sebuah lukisan ekpresionisme, sarat dengan warna-warna kontras dan paradoxi yang masing-masing bertarung mengatas namakan manusia, kemanusiaan, kekuasaan dan perdamaian. Bahkan perang yang ditakuti dan dibenci manusia itu dikatakan: ”Si vis pacem, para bellum” (Jika anda inginkan keamanan, bersiaplah untuk perang)
Dalam konteks ini, masyarakat dunia sedang menyaksikan adu kekuatan antara Iraq melawan tentara sekutu . Yang hebat propaganda-lah nantinya tampil sebagai pemenang. Orang Aceh blang: ”Talo prang kareuna taki.“
Sesudah mengikuti jalannya perang lewat layar TV, mengingatkan saya kepada kisah perang Aceh, yakni: ketika Belanda melancarkan agresi ke dua ke atas Acheh, pada 25. Desember 1783 yang dipimpin oleh General Van Sweten dan Genderal Van Spijck dengan kekuatan 8.000 serdadu yang didatangkan dari Jawa-Madura menyerang Istana Sultan Acheh. ”Pada 6. Januari 1784, Belanda masuk ke Pante Pirak, dengan demikian, setelah satu bulan lebih lamanya baru Belanda bisa merambah maju sejauh 4 batu. Perang tidak berhenti siang malam. Pada 12. Januari, Belanda masuk ke kawasan Kuta Gunongan, artinya bisa maju hanya kira-kira 750 meter, itupun setelah berperang selama satu minggu. Dari Kuta Gunongan ke Istana Sultan Acheh berjarak 100 meter saja. Namun begitu, tentara Acheh tetap mampu bertahan dan setelah berperang selama 12 hari 12 malam barulah Belanda bisa memasuki kawasan Istana Sultan Acheh. Itupun karena diputuskan supaya mengosongkan Istana, sebab ketika masa itu sudah merebak penyakit kolera, akibat banyaknya korban dalam peperangan. Pada 24. Januari 1874, setelah berperang dua bulan lamanya, dalam jarak 5 batu, barulah Belanda masuk Istana dan serdadu Belanda tidak menjumpai seorangpun di dalamnya.” Baca: Perang Acheh.
Tujuan perang ini hanya satu, yaitu: Surat menyerah dari Sultan Acheh! Sebab inilah syarat utama dalam perang yang sekaligus menentukan: siapa yang kalah dan siapa yang memang perang. Ketika surat menyerah tidak didapat, perangpun berlanjut sampai tahun 1942. Ketika itu, Van Sweten mempropagandakan kepada masyarakat dunia bahwa: Acheh telah ditawan dan takluk. Kebohongan Van Sweten kemudian terbukti, bahwa ternyata bangsa Acheh terus memberi perlawanan, sampai hengkangnya Belanda dari Acheh. Di penghujung karier Van Sweten, dia berkata: ”Acheh tidak bisa dikalahkan, meski kita tanami biyonet diatas rumput seluruh bumi Acheh”.
Masuknya pasukan Van Sweten bersama ribuan serdadunya ke dalam Istana Sultan Acheh, mengingatkan kita kepada kisah masuknya Napoleon bersama ribuan serdadu Perancis ke dalam Istana Presiden Rusia tahun 1912, dimana beberapa hari sebelumnya, Istana tersebut sudah dikosongkan terlebih dahulu dan Napoleon tidak menemukan seorang pun dalam Istana, konon lagi mendapat sehelai kertas dari pemimpin Rusia. Apa akibat daripada perang yang dilancarkan Napoleon ke atas Rusia? Perang ternyata bersambung, hingga meletusnya perang Dunia I dari tahun 1914- 1918, dan tidak terkira kerugian harta benda dan kemusnahan bangunan-bangunan bernilai seni.
Apa akibat perang antara Acheh-Belanda 1873-1942? 250.000 pejuang Acheh gugur dalam medan perang. Kerugian harta benda di pihak Acheh tidak terhingga dan yang menderita gangguan jiwa sakit saraf 1500 orang. Mereka dipindahkan oleh Jepang tahun 1942 dari penjara Aceh ke Pusat penampungan orang gila di Tanjung Rambutan, Perak Malaysia. Sementara di pihak Belanda, mengaku 150.000 mati. [angka ini berdasarkan data militer Belanda]
Kini, pada Kamis, 20. Maret 2003, Iraq , negeri bersejarah dengan kisah seribu satu malam, tokoh Abu Nawas dan keagungan tamadun manusia; untuk kedua kalinya mesti berhadapan dengan kekuatan tentara sekutu. Presiden USA memperhitungkan perang ini hanya memerlukan masa tiga hari, Baghdad akan ditawan dan takluk. Tetapi berselang satu hari kemudian, Bush berkata: ”perang melawan Irak tidak semudah yang diperkirakan”. Pasukan tentara sekutu diberitakan telah masuk secara merathon melewati satu demi satu kota dari arah perbatasan Kuwait menuju Umm Qasr terus merambah masuk ke kota Basra. Untuk menggambarkan situasi sebenarnya di medan perang, Menteri Penerangan Irak, Mohammed Sahef berkata: "Para pejuang Iraq berjuang dengan heroik dan mengajarkan bagaimana cara-cara perang kepada penjajah. Para pejuang Iraq akan menampar muka-muka gengster dari AS dan Inggris itu agar mereka terbirit-birit kembali ke kampung halamannya. Pasukan Iraq berhasil membuat keok tentara sekutu di selatan Iraq," Para agresor ini akan menarik mundur pasukannya setelah mereka menerima 'pelajaran' dan mengalami banyak kehilangan”
Media Barat menyiarkan bahwa kota Basrah telah ditawan, tetapi realita di medan perang sesudah memasuki hari ke lima, peperangan antara serdadu sekutu melawan tenatra Iraq yang disokong penduduk Basrah masih saja berlangsung sengit.
Kemudian, pasukan sekutu dikabarkan juga telah mara ke Nasiriyah, untuk selanjutnya menuju Najaf, ke kota Al-Hillah dan Karbala (kota bersejarah, dimana cucu Rasulullah . Karbala berdrah.
Kota-kota di bagian tengah Iraq ini, sarat dengan nilai sejarah yang perlu dikenang dan dipahami dalam konteks perang melawan kejahilan. Sebenarnya, tidak saja kota-kota di bagain tengah saja yang menjadi perbincangan, pertarung politik dan militer, melainkan juga kota Mosul, Kirkuk dan Kurdis yang terletak di bagian Utara Iraq, penuh dengan peristiwa-peristiwa bersejarah, terutama semasa daulah Osmaniyah Turki berkuasa di sana. Tidak perlu heran, kalau tentara sekutu bernafsu menakluki kota Mosul dan Kirkuk dan tentara Turkipun memancing di air keruh untuk memasuki wilayah Kurdis. Mengapa?
Pertama, bagi bangsa Kurdis, yang terjepit oleh politik Turki selama beberapa abad, ingin memanfaatkan serangan serdadu sekutu ini sebagai peluang menuntut negara merdeka. Oleh sebab itu, tentara Turki masuk ke Kurdis semata-mata membuyarkan hasrat dan harapan bangsa Kurdis merdeka. Apalagi, sejak tahun 1918, bangsa Kurdis telah berjuang untuk merubah status Kurd dari suatu bangsa >>kepada suatu negara merdeka. Sheik Mahmud al-Barzani, pemimpin pergerakan kemerdekaan Kurdis pada masa itu telah mempersilakan serdadu Inggeris dan India untuk membantu sebagaimana disepakati dalam ”Perjanjian Anglo-French”. Perjanjian tersebut dipandang sebagai azimat oleh Sheik Mahmud al-Barzani untuk men-”transform his people into a nation”. Nasib perjanjian ini mengambang sampai sekarang, sampai akhirnya wilayah Kurdis yang luas dan berpotensi jatuh ke tangan penguasa Iraq. Soal merdekanya Kurdis atau akan dilaksankanakannya self-determination dalam wilayah Iraq, sebelumnya telah ditangani oleh Colonel Sir Arnold Wilson, sebagai pejabat Administrasi civil Inggeris di wilayah Iraq. Sayangnya, emrio kemerdekaan Kurdis ini justeru dugugurkan oleh Arnold sendiri tahun 1919. Bahkan dia meminta kepada Churchil untuk menggunakan kekuatan senjata menghancurkan harapan bangsa Kurdis.
Kedua, soal Mosul, yang menurut sejarahnya adalah wilayah impayer Osmaniyah Turki. Pada tahun 1922, Inggeris-Turki berjanji akan menyerahkan Mosul kepada Iraq tahun 1923. Kamal Atatuk yang kemudian menyesal dengan perjanjian itu, melancarkan invasi lagi ke Mosul, sebab kota kaya minyak yang sebelum tahun 1922 sudah dikelola oleh joint Venture antara Inggeris-Turki. Akankah Turki hendak menguasai Mosul kembali?
Ketiga, soal Kirkuk, yang sejak tahun 1927 sudah dibuka “Turkish Oil Company” di kawasan Iraq, dimana Perusahaan Minyak ini didanai oleh usaha patungan antara: Inggeris–Turki–Perancis dan Amerika. Agar perusahaan tersebut tidak diganggu gugat oleh pemerintah Iraq, maka tahun 1930, dijanjikan kemerdekaan Iraq dan diberi pengakuan (recognition) dari negara penanam saham di Kirkuk, Iraq.
Jadi kehadiran tentara Turki dan serdadu sekutu ke Iraq nampaknya rencam dengan berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Ini perang yang dirancang secara matang berskala internasional. Ini perang mempertarungkan kepentingan kaum kapitalis >memperebutkan kilang minyak seluruh bumi Arab<, kata pengamat politik di dunia Arab. Ini perang Euro dan Dollar, kata pengangat politik di Europah.
Terlepas dari Iraq mesti membayar mahal demi mempertahankan maruah, yang pasti perang ini akan berlumur darah manusia dan hancurnya bangunan–bangunan bernilai sejarah maha agung. Perang ini akan ada keputusan final: siapa yang kalah dengan kepala tertunduk dan siapa yang menang.
Yang sudah jelas kalah sebelum akhirnya dikalahkan ialah: kekalahan kemanusiaan dan moral PBB yang bankrut dalam upaya mengakhiri perang ini. Badan dunia ini yang tidak bertanggungjawab atas kekejian yang amat menjijikkan.
Klimaks perang ini akan berlangsung di kota Baghdad dalam beberapa hari mendatang. "Kami sengaja membiarkan mereka melewati gurun pasir. Dan kami mengundang mereka masuk kota Baghdad untuk 'memberikan pelajaran' kepada pemerintahan setan dan konco-konconya," Kata Menteri Pertahanan Irak. Biar nantinya air sungai Tigris menjadi saksi bisu akan keberingasan manusia. Sungai Tigris yang membelah kota Baghdad, berulang kembali dalam putaran jarum sejarahnya, mejadi sebutan dan ingatan manusia setelah dilupakan orang, ketika terjadi perang Salib yang amat dahsyat itu.
Di dalam sungai Tigris, untuk pertama sekalinya terdampar dua pilot angkatan Udara USA dan British yang jatuh ditembak, akan mengingatkan kita kepada pasukan tentara Salib yang membunuh ratusan ribu manusia dan membumi hanguskan ratusan ribu buku-buku ilmiyah mengenai: Kedokteran, Sociologi, Aljabar, Anthropologi, Humanisme, Falsafah, Sejarah, Fisika, Pengobatan, Hukum Islam, Ilmu antariksa dll. Setelah isinya dicuri, buku-buku berharga tersebut dibuang ke dalam sungai Tigris. Air sungai Tigris, selain mengalir dengan darah-darah merah manusia, segera berubah warna menjadi biru, akibat tumpahan dawat buku-buku yang sangat bersejarah itu. Akankah Sungai Tigris berubah menjadi sungai darah kembali?
Jika meletus juga perang di Baghdad, maka perang ini disifatkan sebagai suatu perang: dimana tidak ada orang yang akan memberi ampun dan tidak ada seorangpun yang akan diampuni. Perang akan terjadi dari lorong ke lorong dan siang-malam. Keadaannya persis seperti dibayangkan Mansie, seorang demonstran di Spanyol: "Perang ini immoral, illegal and mad (tidak bermoral, tidak legal, dan gila)." Tidak bermoral, karena apapun alasannya, serangan-serangan AS dan sekutunya itu telah mengorbankan nyawa anak manusia titisan Tuhan. Ada korban anak yang tidak tahu apa-apa soal politik. Ada rumah yang seharusnya menjadi tempat hunian, kini sudah rata dengan tanah. Tidak legal, karena serangan AS dilakukan tanpa mendapatkan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun Ketua Tim Pemeriksa Persenjataan PBB, Hans Blix sudah melaporkan, "Ada kemajuan dalam pelucutan senjata Irak." Bahkan, kata Mansie: ”98 persen manusia di dunia, entah itu Islam, Kristen, Budha, Atheis, Yahudi atau apapun, ingin hidup damai, bisa makan, menyekolahkan anak-anak serta hidup aman dan harmonis dengan tetangga. Kita sedih dengan 2 persen lainnya yang membuat dunia ini trauma dengan sikap mereka yang lapar kekuasaan, agresi, manipulasi dan kekerasan. Kita semua menginginkan damai dan pemimpin baru.”
Perang masih bisa dielakkan, jika pihak yang terlibat dalam perang ini mendengarkan jeritan manusia yang bergelora di seluruh penjuru dunia. Dalam konteks ini, ”Paus Yohanes Paulus II telah menyatakan kesedihannya atas invasi itu. Paus berkali-kali mengimbau agar serangan tak dilakukan. Pesan itu juga tidak didengar. Pesan para biksu dari Thailand juga bernasib sama. Suara rakyat, juga tidak didengar. Berbagai demo di dunia, merupakan refleksi dari dari penentangan umat di dunia atas perang, sepertinya dianggap angin lalu saja.
Mereka, menyerukan dukungan, bukan buat siapa-siapa tetapi pada aspek kemanusiaan. Aspek kemanusiaan, yang tidak mengenal suku, agama, ras dan golongan. Vox popoli vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Adakah Bush, Blair, Arnaz, mendengar suara dei? Hakekat demokrasi pun kini menjadi satu hal yang menjadi pertanyaan. Menurut United for Peace and Jusctice, di dalam negara demokrasi, sikap dan tindakan pemimpin seharusnya tidak melenceng dari keinginan rakyat. Ironisnya, AS, Inggris, Spanyol, adalah negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai negara demokrasi. Mereka tidak saja mengabaikan Saddam Hussein, tetapi juga mengabaikan rakyat di dunia. Bush, Blair dan Arnaz off track dari rel yang diinginkan rakyat dunia, untuk mereka jalani. Kekuatan moral telah kalah dalam invasi itu.
Lebih buruk lagi, Perancis, Jerman, Rusia, Cina, PBB seperti mengulangi lagi tindakan Pontius Pilatus (Prokurator Romawi di Judea pada Kekaisaran Tiberius). Pilatus menyerahkan--meski memiliki kekuasaan--keputusan penyaliban Jesus kepada orang Jahudi.Perancis cs hanya bisa menolak invasi tetapi tidak berbuat apapun menghindari perang brutal di Irak. Padahal, hanya mereka yang memiliki senjata, lobi, yang mendekati kekuatan senjata AS.”( Kompas, 23/3/2003)
Kota Baghdad masih berdiri, kendati sudah sempoyongan, sebab beberapa bangunan, termasuk Istana Presiden Saddam Husen dikabarkan sudah ranap. Baghdad masih bersuara, masih menunggu seteru yang dinanti-nantikan tiba, agar perang yang sesungguhnya nyata. Kalau Masjid Baiturrahman Kutaraja menjadi pusat pertahanan tentara Acheh melawan serdadu Belanda, mengapa tidak Masjid-Masjid di Baghdad. Masjid-Masjid di Baghdad masih berdiri tegak, yang alasnya dikuatkan oleh kaki-kaki orang shalat, dinding dan atapnya dikukuhkan oleh gema takbir dan suara azan, yang menyeru manusia kepada pembebasan dari perbuatan keji dan mungkar serta menggapai kememangan dunia akhirat. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.
Seperti sudah dibayangkan di atas bahwa perang ini sarat dengan „... keberanian dan ketakutan; ... ingin hidup dan mati; ... kesetiaan dengan pengkhianatan“, ternyata segalanya terungkap. Iraq yang memiliki persenjataan perang modern: 400.000 personel tentara terlatih, puluhan pesawat tempur taktis, ribuan tank anti peluru, senjata kimia yang pernah disemburkan ke kota Khurasham (sewaktu perang Iraq-Iran) dan dalam sejarahnya, dalam jangka 3 hari saja mampu menakluki Kuwait; ternyata anak cucu Nebukadnezar yang dikenal garang berperang berkhianat. Pemimpin garda revolusi diikuti oleh sebagian besar tentara nasional Iraq berkhianat, hingga semua senjata perang ini tidak bisa difungsikan secara maksimal, termasuk pengkhianatan oleh famili yang menyembunyikan Sadam Husein di kota Tirkit. Negeri seribu satu malam dengan tokoh Abu Nawas yang kaya raya akal itu, ternyata lesu dan buntu pikiran. Akhir dari perang Iraq ialah: Amerika kehilangan ribuan tentara terlatih dan bangkrutnya perekonomian USA. Sementara Iraq, matinya ratusan ribu rakyat sipil dan hancurnya sarana umum. Lebih dari itu, yang kalah total dalam perang ini adalah hancurnya nilai kemanusiaan!
Akhirnya, dari perang ini didapati aksioma bahwa: senjata (semodern apapun) bukanlah suatu jaminan yang menentukan menangnya suatu perang. Prancis dan Amerika Serikat yang memiliki senjata convensioanl perang misalnya: ternyata keok melawan Vietnam, yang memiliki senjata tradisional. Tentara Prancis dan Amerika Serikat rontok semangat dan kehilangan kekuatan jiwa dan moral dalam perang di Vietnam. Secara psychis, faktor jiwa sangat penting dan menentukan, sebab manusialah yang menghidupan dan menggunakan senjata. Komitmen dan kekuatan jiwa suatu bangsalah yang mampu memenangkan perang. Wallahu’aklam bissawab!
Thursday, October 15, 2009
Antara Baghdad & Kutaraja
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 10:52 AM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)