Yusra Habib Abdul Gani
BAHWA demokratía (kekuasaan rakyat) lahir, menyusul revolusi rakyat di Yunani pada tahun 508 SM. Adalah benar dan banyak orang tahu. Tetapi, pengalihan dan pengaburan dari demokrasi sebagai perlawanan rakyat terhadap penguasa kepada demokrasi dengan sistem kepartaian yang berkedok suara rakyat; dipakai untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bukan memperjuangkan hak rakyat yang diwakilinya; jarang orang tahu.
Bagaimana pun juga, falsafah pembentukan partai politik (parpol) di dunia Timur lebih menjiwai demokrasi murni ala Yunani. Misalnya: Kuomintang (Partai Nasionalis Cina) yang didirikan oleh Sun Yat-sen tahun 1894, bertujuan untuk melawan Kekaisaran Qing dan sekaligus mendirikan Republik Cina demi terwujudnya pembaruan. Barulah kemudian dibentuk Partai Komunis Cina oleh Mao Zedong tahun 1921, sekaligus menduniakan Komunisme versi Cina. Demikian pula parpol “Kongres Nasional India” -Indian National Congress- (INC) yang didirikan tahun 1885, bangkit dan menyatukan langkah melawan kuasa British di India.
Sebaliknya, “Whigs” dan “Tory” (sekarang: Partai konservatif) adalah dua parpol pertama didirikan di Inggris tahun 1832; ternyata tujuannya bukan menantang, melainkan bekerjasama dengan dinasti Stuart dan menguatkan posisi raja William III mencakup: England, Skotlandia dan Irlandia. Di Amerika; kehadiran parpol yang bergabung dalam ‘Federalist’ juga bertujuan memperkokoh posisi pemerintah Puat (Federal) -berkedok ‘persatuan’ dan ‘kebersamaan’- agar tidak digoyang dan dijegal oleh kekuatan negara-negara bagian (state). Barulah kemudian muncul “Demokrat-Republik” sebagai parpol alternatif untuk mengimbangi kekuatan ‘Federalist’; walaupun pada tahun 1820, berpisah menjadi partai Demokrat dan Republik. Inilah yang membedakan falsafah pembentukan parpol antara Dunia Timur dengan Barat.
Supaya pasti-pasti, ketika Inggris dan USA punya parpol; Aceh sudah berdiri tegak sebagai suatu negara yang megah--satu-satunya--negara di Asia Tenggara yang berani menghadang dominasi Portugis, Inggris, Belanda dan Amerika di Sumatera dan ketika Barat masih dalam kegelapan, Aceh sudah mengenal prinsip ‘distribution and separation of power’, lewat “Aceh Code” dan “Iskandar Muda Code”: “Adat bak bak Po-teumeureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, qanun bak Putroë Phang, reusam bak Bintara”, jauh mengawali dan mengungguli teori “Trias Politica”-nya Montesquieu (tahun 1689-1755). Kejayaan “Aceh Code” dan “Iskandar Muda Code” karena pemerintahan Aceh tidak mengenal sistem kepartaian dan tidak mengekor kepada ajaran demokrasi (sistem kepartaian), walaupun Aceh bersahabat kental dengan orang Barat--Aceh tahu penempatkan diri--bahkan dalam banyak hal, Barat banyak belajar dari konsep kekhalifahan Bani Umayyah, Abbasyiah, Oesmaniyah Turki dan Aceh yang masyhur selama ratusan tahun tanpa parpol.
Ketika ajaran demokrasi masuk ke ranah ketatanegaraan negara-negara bekas jajahan, maka bersamaan dengannya muncul fenomena dalam sistem kepartaian (demokrasi) yang melahirkan sejumlah masalah. Misalnya: bangunan hukum Islam, mustahil ditegakkan tanpa wujud suatu pemerintahan yang menghendakinya. Oleh sebab itu, muncul wacana mendirikan partai-partai berbasis Islam, yang inginkan supaya syariat Islam diatur dalam Konstitusi negara. Fenomena di atas akhirnya berubah menjadi dilema dan malapetaka dalam pemilu tahun 1955 di Indonesia, yakni: ketika PNI (Nasionalis), Masyumi, Perti (Islam) dan PKI (Komunis), mempertahan masing-masing konsep dalam sidang Konstituate, yang akhirnya gagal dan Masyumi pun dibubarkan oleh Soekarno--tidak membubarkan PNI&PKI--dan menamatkan sengketa ideologis ini dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dalam literatur Islam, urusan pemerintahan memang disinggung dalam suatu Hadis: “tidak ada agama tanpa kelompok, tidak ada kelompok tanpa pimpinan dan tidak ada pimpinan tanpa seorang pemimpin”. Dasar pijakan ini bersumber dari “Manusia itu adalah umat yang satu.” [Q: surat Al-Baqarah, ayat 213.] Jadi, konsep “ummatan wahidah” (kaum muslimin harus berada dalam sebuah ikatan kenegaraan) merupakan keharusan, bukan suatu keniscayaan. Karena belum ada penegasan tentang aplikasinya, maka Peter Mansfield menyimpulkan: “Islam memang sejak kelahirannya tidak mengemukakan konsep tentang sebuah negara. Namun, seluruh bangunan hukum, tradisi dan ajaran-ajaran Islam bertumpu pada kekuasaan negara untuk mengatur kehidupan individu menurut garis-garis yang jelas...” (History of the Middle East). Perkara ini mudah terlaksana karena penguasa berkehendak. Sementara itu, dalam masyarakat plural tidak semudah dibayangkan, karena sarat dengan berbagai kepentingan golongan. Inilah konsekuensi logis dari kegagalan Masyumi-Perti dan PNI-PKI; sebab nama parpol bertopeng agama nasionalis dan ideologi yang bukan ideologi negara. Lain halnya Partai Komunis di Cina dan Rusia, di mana Komunisme merupakan satu-satunya ideologi negara dan rakyat, bahkan berhasil menduniakan komunisme lewat slogan lama: “Semua Orang Adalah Saudara” kepada slogan internasionalnya: “Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!” [Kongres pertama Liga Komunis di London tahun 1847], yang terang-terangan memperjuangkan ideologi Komunisme, bukan ideologi pembebasan yang mensejahterakan rakyat.
Akhirnya, ke-29 parpol yang ikut bertanding dalam pemilu 1955, memakai nama dan simbul parpol bertopeng ideologi, nasionalis, organisasi keagamaan, patriotisme dan slogan-slogan sosial-politik. Nama parpol yang ‘bukan-bukan’ ini, berulang dalam pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 parpol; berulang kembali dalam pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 yang ikuti oleh 3 parpol; 48 parpol dalam pemilu tahun 1999; 24 parpol dalam pemilu tahun 2004 dan 38 parpol dalam pemilu tahun 2009. Rakyat terjebak dalam proses pembodohan politik lewat simbol-simbul parpol yang membingungkan. Di Indonesia, proses pembodohan politik ini sudah berlangsung sejak tahun 1907, saat Haji Misbach mendirikan “Insulinde”, partai berhaluan ‘persatuan lokal’ di Pulau Jawa dan “Indische Partij” (Partai Hindia) berhaluan “nasionalisme Hindia” yang didirikan oleh Douwes Dekker tahun 1911. Bukankah ini parpol dan nasionalisme yang ‘bukan-bukan’?
Anehnya, politisi lokal Aceh ikut mendirikan parlok dengan nama yang ‘bukan-bukan’, seperti: Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh, dan Partai Bersatu Aceh, yang semuanya tidak jelas konsep, arah dan wawasan perjuangannya.
Inilah kisah selintas mengenai sejarah parpol yang bertopeng suara rakyat. Tegasnya, ketiadaan visi, missi, identitas kolektif yang jelas dan kontrak politik antara parpol dan rakyat, akan memperpanjang masa kebodohan rakyat. Untuk itu, demi mengelak dari wujudnya identitas/nama parpol yang ‘bukan-bukan’, maka saatnya rakyat bangkit mendirikan parlemen tanpa parpol, yakni: parlemen yang seluruh anggotanya merupakan refresentatif langsung dari suatu unit masyarakat tertentu, seperti: organisasi wanita, petani, nelayan, lembaga pendidikan, pemuda dan mahasiswa, pedagang, budayawan, organisasi keagamaan dan lembaga independen lainnya. Hal ini, selain memudahkan hubungan antara rakyat dan wakilnya di Parlemen, juga rakyat bebas menyuarakan ide, protes dan menyampaikan mosi tidak percaya kepada wakil-wakilnya, bila didapati berpikir sungsang.
Lupakan saja parpol dari benak kita, konsentrasi dan bentuk organisasi profesi yang dimanaj secara profesional, dipimpin oleh orang berilmu, jujur, ikhlas, bertanggungjawab, dan berakhlaqul karimah untuk menduduki dan menguasai kursi parlemen yang akan datang. Jika jawabannya: mungkin; inilah langkah menghidupkan sejarah. Jika tidak; perpanjang masa kebodohan dan bernyanyilah: “Buat apa susah, buat apa susah; susah itu tak ada gunanya”!