Yusra Habib Abdul Gani
DARI 273 pasal UUPA; hanya pasal 256 yang mengatur soal nasib masa depan calon independen yang sudah dimansukhkan oleh MK dan pasal 269 ayat (3), yang DPRA pakai sebagai dasar hukum pembanding untuk menyatakan ketidakabsahan pasal 256, merupakan dua pasal yang paling populer dan diminati sepanjang lahirnya UUPA 1 Agustus 2006. Hal ini mengalahkan pasal-pasal yang berhubungan dengan memajukan perekonomian, memasukkan muatan lokal dalam pengembangan budaya, pendidikan, simbul ke-Aceh-an, dll. Selain itu, ketentuan mengenai Wali Nanggroe diprediksi menjadi materi hangat, tinggal menunggu saat.
Lepas dari adanya unsur kesengajaan atau ketidaktahuan dari tim penyusun undang-undang DPR pusat, yang pasti: lembaga legislatif dan eksekutif pusat berhasil memasang “bom ranjau” (mine) yang akhirnya menyeret Aceh kepada konflik yuridis, sebagai konsekuensi logis dari ketidakmengertian tentang bahasa dan politik hukum dalam rumusan UUPA. Sayangnya, kalangan teoritis dan praktisi hukum Aceh, belum berhasil mengajari, mendidik dan menyadarkan DPRA-Pemda untuk tidak perlu konflik yuridis diperdebatkan di pusat, sebab ianya memalukan umat.
Diakui bahwa berbahaya sekali, apabila suatu peraturan hukum tidak dirumuskan secara jelas. Ianya akan menimbulkan multitafsir, bahkan salah tafsir oleh mereka yang tidak mengerti maksud dari hukum itu sendiri. Oleh karenanya, rumusan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, harus dijelaskan dengan kata kunci yang lazim dipakai, yaitu: ‘pengecualian’ (exceptional).
‘Pengecualian’ adalah penegasan kepada suatu subjek hukum untuk tidak atau wajib melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh hukum. Bentuk kalimat adakalanya disampaikan dalam kalimat langsung, seperti ketentuan yang terdapat pada pasal 18 (5)UUD 1945, bahwa:
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.” Di sini bisa disimak bahwa ternyata; dalam untaian kalimat: ‘menjalankan otonomi seluas-luasnya’, didapati urusan yang tetap merupakan kewenangan dari pemerintah pusat dan dirumuskan kemudian dalam undang-undang tersendiri.
Selain itu, ‘pengecualian’ disampaikan dalam bentuk kalimat tidak langsung, misalnya: “Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.” (Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang: Hak Asasi Manusia Pasal 18, ayat 2). Adanya bentuk `pengecualian’ ini, untuk mempertegas bahwa `asas legalitas’ mesti dihormati dalam penerapan hukum. Artinya: seseorang tidak boleh dihukum atas tuduhan melakukan kejahatan, terkecuali sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur sebelum kejahatan tersebut dilakukan. Ini sebagai `warning’ agar penegak hukum tidak bertindak sewenang-wenang; kecuali: hakim yang boleh menafsirkan dan memutuskan suatu perkara berdasarkan keyakinannya. Inilah yang dinamakan ijtihad di lingkungan fiqh politik Islam.
Dalam hukum Islam pun, terdapat ketentuan ‘pengecualian’, sebagai bentuk penegasan mengenai objek hukum yang diharamkan, misalnya: “Tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali: kalau makanan itu bangkai atau darah mengalir atau daging babi..” Surat Al-An-’aam ayat 145. Ayat ini memberi penegasan bahwa sesuatu yang diharamkan Allah, disebutkan secara tegas, supaya tidak menimbulkan perbedaan interpretasi di kemudian hari.
Alur cerita di atas merupakan pengantar dari persoalan yuridis yang tengah diperdebatkan di Aceh, khususnya yang berhubungan dengan keabsahan pasal calon independen, pasca putusan MK yang memansukhkan kandungan pasal 256 UUPA; yang akhirnya mengharuskan “DPRA mewacanakan dua syarat; pertama, harus dikonsultasikan kepada pemerintah pusat. Kedua, akan ditanyakan langsung kepada rakyat Aceh lewat penyebaran kuesioner atau sarana (tool) lain yang mudah dijangkau masyarakat.” (Serambi Indonesia, 17 Maret 2011). Rupanya, yang dimaksud oleh DPRA dengan pemerintah pusat adalah: Menkopulhukam, Mendagri, dan Komisi II DPR RI yang membidangi masalah hukum dan pemerintahan.
Jika itu maunya, bisa dipastikan bahwa mereka pasti merujuk kepada putusan MK yang bersifat final, sebab sebagaimana sudah kami utarakan sebelumnya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak boleh ada campur tangan dari pihak mana pun, termasuk Presiden, yang punya hak prerogatif. Dalam teorinya demikian. Jika dalam praktik berlaku sebaliknya, maka putusan tersebut batal demi hukum! Terbukti bahwa, Kementerian Dalam Negeri RI menolak permintaan pemansukhan pasal Pasal 256 UUPA oleh DPRA yang punya dalih “calon perseorangan hanya dibolehkan sekali sejak UUPA diundangkan” dan memerintahkan supaya point calon independen mutlak harus dimasukkan dalam qanun pilkada Aceh. Ini sekaligus membuktikan bahwa mereka tidak mau tabrak putusan MK.
Kemudian, rakyat mana yang hendak ‘ditanyakan langsung lewat penyebaran kuesioner atau sarana (tool)? Apakah rakyat yang nota-bene masih buta hukum? Anggota DPRA sendiri tidak mengerti asas legalitas dan validitas hukum Indonesia, konon lagi rakyat Aceh yang tidak punya waktu berpikir hal itu?
akar masalah
Dengan mengenyampingkan kepentingan politik dan pro-kontra terhadap keberadaan calon independen; yang pasti: secara yuridis, rumusan pasal 269 ayat (3) UUPA yang menyebut: “Dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA” masih sangat umum sifatnya dan ujung-ujungnya akan melahirkan masalah dan berpotensi menimbulkan multitafsir di kalangan politisi, teoritis dan praktisi hukum. Ketiadaan ketentuan ‘pengecualian’ inilah yang menjadi punca masalah dan pemicu, sehingga anggota DPRA menerobos dengan garang menerjang pagar kawasan berdaulat hukum MK.
Terus terang, bunyi pasal 269 ayat (3) UUPA harus diikuti dengan ketentuan ‘pegecualian’, sehingga berbunyi sbb: “Dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA, kecuali: dalam hal yang berhubungan dengan putusan di lingkungan Lembaga Yudikatif, di mana permintaan ‘judicial review’ yang diajukan oleh pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan dan permintaan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.” Ketiadaan ketentuan ‘pengecualian’ dalam pasal 269 ayat (3), sama artinya dengan memasang jebakan dan korbannya adalah orang-orang yang sok tahu hukum.
Jika hendak memperalat pasal 18B UUD-1945 yang menyebut: “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa.” bagi Aceh; itu pun tetap harus ada ‘pengecualian’ yang dirumuskan secara jelas.
Aturan ‘pengecualian’ ini penting, sehingga tidak perlu terjadi konflik regulasi dan kalau orang Aceh arif dan tahu ‘rule of the game’ dalam ranah hukum, tentu boleh dimusyawarahkan di Aceh dan tidak perlu berkata: “Kami percaya, pemerintah pusat sangat arif dan bijaksana dalam mencari jalan yang baik terhadap masalah Aceh.”(Serambi Indonesia, 27 Juli 2011). Buat apa berdebat/bertarung mempertontonkan kebodohan di kampung si Pitung (Betawi), kalau akhirnya pulang kampung dengan piala kehilangan marwah dan harga diri?
DARI 273 pasal UUPA; hanya pasal 256 yang mengatur soal nasib masa depan calon independen yang sudah dimansukhkan oleh MK dan pasal 269 ayat (3), yang DPRA pakai sebagai dasar hukum pembanding untuk menyatakan ketidakabsahan pasal 256, merupakan dua pasal yang paling populer dan diminati sepanjang lahirnya UUPA 1 Agustus 2006. Hal ini mengalahkan pasal-pasal yang berhubungan dengan memajukan perekonomian, memasukkan muatan lokal dalam pengembangan budaya, pendidikan, simbul ke-Aceh-an, dll. Selain itu, ketentuan mengenai Wali Nanggroe diprediksi menjadi materi hangat, tinggal menunggu saat.
Lepas dari adanya unsur kesengajaan atau ketidaktahuan dari tim penyusun undang-undang DPR pusat, yang pasti: lembaga legislatif dan eksekutif pusat berhasil memasang “bom ranjau” (mine) yang akhirnya menyeret Aceh kepada konflik yuridis, sebagai konsekuensi logis dari ketidakmengertian tentang bahasa dan politik hukum dalam rumusan UUPA. Sayangnya, kalangan teoritis dan praktisi hukum Aceh, belum berhasil mengajari, mendidik dan menyadarkan DPRA-Pemda untuk tidak perlu konflik yuridis diperdebatkan di pusat, sebab ianya memalukan umat.
Diakui bahwa berbahaya sekali, apabila suatu peraturan hukum tidak dirumuskan secara jelas. Ianya akan menimbulkan multitafsir, bahkan salah tafsir oleh mereka yang tidak mengerti maksud dari hukum itu sendiri. Oleh karenanya, rumusan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, harus dijelaskan dengan kata kunci yang lazim dipakai, yaitu: ‘pengecualian’ (exceptional).
‘Pengecualian’ adalah penegasan kepada suatu subjek hukum untuk tidak atau wajib melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh hukum. Bentuk kalimat adakalanya disampaikan dalam kalimat langsung, seperti ketentuan yang terdapat pada pasal 18 (5)UUD 1945, bahwa:
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.” Di sini bisa disimak bahwa ternyata; dalam untaian kalimat: ‘menjalankan otonomi seluas-luasnya’, didapati urusan yang tetap merupakan kewenangan dari pemerintah pusat dan dirumuskan kemudian dalam undang-undang tersendiri.
Selain itu, ‘pengecualian’ disampaikan dalam bentuk kalimat tidak langsung, misalnya: “Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.” (Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang: Hak Asasi Manusia Pasal 18, ayat 2). Adanya bentuk `pengecualian’ ini, untuk mempertegas bahwa `asas legalitas’ mesti dihormati dalam penerapan hukum. Artinya: seseorang tidak boleh dihukum atas tuduhan melakukan kejahatan, terkecuali sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur sebelum kejahatan tersebut dilakukan. Ini sebagai `warning’ agar penegak hukum tidak bertindak sewenang-wenang; kecuali: hakim yang boleh menafsirkan dan memutuskan suatu perkara berdasarkan keyakinannya. Inilah yang dinamakan ijtihad di lingkungan fiqh politik Islam.
Dalam hukum Islam pun, terdapat ketentuan ‘pengecualian’, sebagai bentuk penegasan mengenai objek hukum yang diharamkan, misalnya: “Tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali: kalau makanan itu bangkai atau darah mengalir atau daging babi..” Surat Al-An-’aam ayat 145. Ayat ini memberi penegasan bahwa sesuatu yang diharamkan Allah, disebutkan secara tegas, supaya tidak menimbulkan perbedaan interpretasi di kemudian hari.
Alur cerita di atas merupakan pengantar dari persoalan yuridis yang tengah diperdebatkan di Aceh, khususnya yang berhubungan dengan keabsahan pasal calon independen, pasca putusan MK yang memansukhkan kandungan pasal 256 UUPA; yang akhirnya mengharuskan “DPRA mewacanakan dua syarat; pertama, harus dikonsultasikan kepada pemerintah pusat. Kedua, akan ditanyakan langsung kepada rakyat Aceh lewat penyebaran kuesioner atau sarana (tool) lain yang mudah dijangkau masyarakat.” (Serambi Indonesia, 17 Maret 2011). Rupanya, yang dimaksud oleh DPRA dengan pemerintah pusat adalah: Menkopulhukam, Mendagri, dan Komisi II DPR RI yang membidangi masalah hukum dan pemerintahan.
Jika itu maunya, bisa dipastikan bahwa mereka pasti merujuk kepada putusan MK yang bersifat final, sebab sebagaimana sudah kami utarakan sebelumnya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak boleh ada campur tangan dari pihak mana pun, termasuk Presiden, yang punya hak prerogatif. Dalam teorinya demikian. Jika dalam praktik berlaku sebaliknya, maka putusan tersebut batal demi hukum! Terbukti bahwa, Kementerian Dalam Negeri RI menolak permintaan pemansukhan pasal Pasal 256 UUPA oleh DPRA yang punya dalih “calon perseorangan hanya dibolehkan sekali sejak UUPA diundangkan” dan memerintahkan supaya point calon independen mutlak harus dimasukkan dalam qanun pilkada Aceh. Ini sekaligus membuktikan bahwa mereka tidak mau tabrak putusan MK.
Kemudian, rakyat mana yang hendak ‘ditanyakan langsung lewat penyebaran kuesioner atau sarana (tool)? Apakah rakyat yang nota-bene masih buta hukum? Anggota DPRA sendiri tidak mengerti asas legalitas dan validitas hukum Indonesia, konon lagi rakyat Aceh yang tidak punya waktu berpikir hal itu?
akar masalah
Dengan mengenyampingkan kepentingan politik dan pro-kontra terhadap keberadaan calon independen; yang pasti: secara yuridis, rumusan pasal 269 ayat (3) UUPA yang menyebut: “Dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA” masih sangat umum sifatnya dan ujung-ujungnya akan melahirkan masalah dan berpotensi menimbulkan multitafsir di kalangan politisi, teoritis dan praktisi hukum. Ketiadaan ketentuan ‘pengecualian’ inilah yang menjadi punca masalah dan pemicu, sehingga anggota DPRA menerobos dengan garang menerjang pagar kawasan berdaulat hukum MK.
Terus terang, bunyi pasal 269 ayat (3) UUPA harus diikuti dengan ketentuan ‘pegecualian’, sehingga berbunyi sbb: “Dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA, kecuali: dalam hal yang berhubungan dengan putusan di lingkungan Lembaga Yudikatif, di mana permintaan ‘judicial review’ yang diajukan oleh pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan dan permintaan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.” Ketiadaan ketentuan ‘pengecualian’ dalam pasal 269 ayat (3), sama artinya dengan memasang jebakan dan korbannya adalah orang-orang yang sok tahu hukum.
Jika hendak memperalat pasal 18B UUD-1945 yang menyebut: “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa.” bagi Aceh; itu pun tetap harus ada ‘pengecualian’ yang dirumuskan secara jelas.
Aturan ‘pengecualian’ ini penting, sehingga tidak perlu terjadi konflik regulasi dan kalau orang Aceh arif dan tahu ‘rule of the game’ dalam ranah hukum, tentu boleh dimusyawarahkan di Aceh dan tidak perlu berkata: “Kami percaya, pemerintah pusat sangat arif dan bijaksana dalam mencari jalan yang baik terhadap masalah Aceh.”(Serambi Indonesia, 27 Juli 2011). Buat apa berdebat/bertarung mempertontonkan kebodohan di kampung si Pitung (Betawi), kalau akhirnya pulang kampung dengan piala kehilangan marwah dan harga diri?