Wednesday, August 5, 2015

Antara Pahlawan dan Nalar Kita

Oleh Yusra Habib Abdul Gani 

PADA tengah hari 1 September 2012, saya campakkan perasaan malu ke sungai Krueng Daroy dari atas jembatan yang mengapit pintu gerbang Meuligoe Gubernur Aceh dengan lokasi makam Sultan-sultan Aceh, di komplek Bapperis, Banda Aceh. Biarlah hanyut ke laut lepas, asalkan daku bebas menziarahi makam para pahlawan. Didampingi Sdr Muhammadar, kami dipandu langsung oleh Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Ibrahim, salah seorang cucu dari Tuanku Muhammad Daudsyah (Pemangku Sultan Aceh: 1874-1903). Ia mengisahkan satu per satu dari delapan keluarga Sultan Aceh yang berada di lokasi ini. “Ini makam Ayah saya, Tuanku Ibrahim bin Tuanku Muhammad Daudsyah,” katanya. Di lokasi itu, Tuanku Raja Yusuf juga menunjuk makam Sultan Alaudin Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870); Sultan Alaudin Muhammad Syah (1781-1795); Sultan Husin Jauhar Al-Alam Syah (1795-1824). 

Kemudian, kami menuju ke lokasi makam Sultan Iskandar Muda, yang lokasinya bersebelahan. Tidak tersedia brosur yang menceritakan sejarah ringkas mereka, kecuali: daftar nama-nama dan tarikh berkuasa tertulis pada marmar tipis yang tertampang. Terasa tidak ada getaran jiwa antara saya dengan para penghuni makam pahlawan itu, walau sudah berusaha mendekat, merapatkan emosional, bahkan menyentuh pusara mereka. Seakan-akan terdapat dinding yang tinggi, penghalang pandang mata-hati antara saya dan mereka. Saya akui itu! Generasi sesat Agaknya perasaan tadi wajar menjalar dalam nalar, sebab selama mengecap pendidikan, guru sejarah yang tidak pernah mengisahkan figur kepahlawanan Aceh secara detail. “Aku generasi sesat yang disesatkan”! Padahal, kalau mau jujur, di setiap jengkal tanah Aceh terhampar pusara para pejuang Aceh semasa perang melawan Portugis, Belanda, Jepang dan Indonesia, yang sebagian diketahui dan sebagiannya lagi tidak, karena tidak dikenalkan. Puluhan tahun lalu kita tidak tahu dan sekarang baru sadar, kalau muatan kurikulum pendidikan sejarah lokal begitu sarat dengan konspirasi politik pendidikan, yang tidak menyetarakan figur pahlawan Aceh dengan figur pahlawan lain di Indonesia. 

Supaya pasti-pasti, boleh dibuktikan dari soal ujian pelajaran sejarah, dimana pelajar lebih menguasai ketokohan Soekarno, Mohd Hatta, Mohd Yamin, Budi Utomo, Imam Bonjol, Patimura dan Pangeran Diponegoro, ketimbang ketokohan Sultan Ali Mughayatsyah, Merah Johan, Iskandar Muda, Mahmudsyah, Tgk Thjik di Tiro Mohd Saman, Tuanku Banta Muda Hasyim, Tgk Tjut Pliëng, Aman Dimot, Tgk.Thjik Paya di Bakong, Teuku Umar, Tgk Tapa, dan Pang Tjik, Malahayati, Datuberu dan Tjut Njak Dhiën dan Tengku Daud Beureuéh dalam sejarah Aceh. Dalam skala nasional, pelajar lebih menguasai sejarah pembantaian 7 jenderal TNI oleh PKI di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965; ketimbang peristiwa pembunuhan massal yang dilakukan TNI terhadap lebih dari 400 orang di Tjut Pulot Jeumpa tahun 1956, pembantaian terhadap lebih dari 3.000 orang dalam perang saudara (Peristiwa Tjumbok, Desember 1945 - Februari 1946) dan pembantaian selama konflik Aceh sepanjang 1976-2005. Lebih menguasai sejarah “Sumpah Pemuda” 1928, ketimbang sejarah “Sumpah Taat Setia para Uleebalang dan Pejuang kepada Sultan Aceh” demi mempertahankan Aceh dari serangan Belanda, 1873 dan Ikrar Lamteh, 1957. 

Dalam skala internasional, peristiwa kekejaman Nazi selama perang Dunia ke-2 (1939-1945), lebih dikuasai ketimbang sejarah ‘genocide‘ yang dilakukan oleh pasukan Mareusussee pimpinan Van Dalen terhadap lebih dari 3.000 orang Gayo, di Kute Rèh, Tampèng, Rikit dan Kute Panyang pada 1904-1905, yang heboh dibicarakan dalam Sidang Istimewa Parlemen Belanda 1907. Untuk mengukur kadar ketidakkesetaraan pengetahuan sejarah di kalangan pelajar, perlu pisau analisis, kajian dan penelitian komprehensif. Yang pasti, guru dan institusi pendidikan tidak boleh dipersalahkan. Ini sepenuhnya tanggung jawab penguasa bersama pakar sejarah, yang kurang memberi perhatian memajukan pendididkan sejarah. Orang tidak berpikir ke arah reformasi sylabus pendidikan sejarah bermuatan lokal. Jadi wajar; jika rentak politik berbangsa dan bernegara hanya mencetak generasi ‘binatang jalang’, kosong jiwa dari siraman dan suntikan semangat patriotisme, heroisme dan nasionalisme yang telah dipugar oleh para pahlawan. Sebenarnya, sejarah merupakan identitas dan karaterisktik kepunyaan suatu bangsa, yang sifatnya mendidik, mengenali diri dan menggapai cita-cita. Tiada masyarakat tanpa sejarah. 

Telah lama ditanyakan sejarah apa yang mendidik kita. Saat ini kita hidup di zaman postmodern yang merupakan fase terakhir dalam filosofi Barat. Sebagaimana kerap kali dinyatakan bahwa tahap tersebut adalah tahap dimana segalanya dianggap relatif dan setiap sesuatu dipercayai mungkin. Akibatnya terjadi banyak tekanan, khususnya dalam politik. Dan tanpa dapat dipungkiri, ikut mempengaruhi persepsi kita akan sejarah baik secara langsung maupun tidak (Dr. Mehmet Ozay, Makna 500 Tahun Peringatan Kesultanan Aceh Darussalam, Majalah Saman Magazine). Tak pernah mati Itu sebabnya, studi tentang sejarah dipandang penting; bukan saja terbatas pada aspek kognitif --yang menekankan pada hafalan tarikh dan anatomi sejarah-- melainkan lebih dari itu, menjadikan sejarah sebagai ilmu yang menggerakkan kesadaran dan rasa kesejarahan untuk menghidupkan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara. Semua artifak sejarah tak pernah mati, kecuali dimatikan oleh yang pemilik sejarah. Dengan begitu, tercipta suatu generasi yang tetap menenteng fragmen sejarah yang positif dan relevan untuk diaplikasi dalam peradaban kekinian kita. Akhirnya, “suatu bangsa yang tidak tahu sejarahnya, tidak punya masa depan.” Sah dan benar adanya. Wallahu’aklam bissawab.


Dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi Senin, 11 November 2013

Artikel Terkait