Oleh Yusra Habib Abdul Gani
PROPAGANDA pada gilirannya dipandang sebagai suatu disiplin ilmu perang dan diakui oleh para ahli sejarah sebagai salah satu alat ampuh memenangi suatu peperangan, setidak-tidak dengan cara ini kurang resiko, murah biaya dan hasilnya mengagumkan. Betapa tidak, sejak dari tahun 1480 hingga tahun 1977, sudah terjadi kira-kira 2.610 peperangan besar di atas dunia yang kita huni ini. Peperangan tersebut telah menyeret negara-negara Eropa, Amerika, Jepang dan termasuk Aceh, Papua dan Republik Maluku Selatan. Dari angka tersebut Perancis terlibat 47%; Austria-Hongaria 34%; Jerman 25%; Inggeris 25%; Turki 15%; Sepanyol 12% dan Belanda 8%.
Khususnya Belanda, telah terlibat dalam perang paling dahsyat dan paling lama dalam sejarahnya Belanda ialah: perang melawan Aceh, dari tahun 1873-1942. Ternyata sebagian besar yang keluar sebagai pemenang dalam perang tersebut diperoleh karena kekuatan Propaganda. Ketika meletus Perang Dunia ke-I tahun 1914-18, Presiden Wilson dari Amerika Serikat berjanji akan memberikan hak untuk menentukan nasib diri-sendiri (self determination) bagi bangsa-bangsa Eropa Timur, yang saat itu dijajah Austria-Hongaria, Jerman dan Turki. Para ahli sejarah sudah sepakat mengatakan bahwa kemenangan pihak tentara Sekutu dalam perang Dunia ke-I adalah karena propaganda.
Begitu pula sebelum mencapai klimaks Perang Dunia ke-II tahun 1945, kemenangan Jerman di Scandinavia, Belanda, Belgia, Perancis dan di negara-negara Balkan, dalam realitasnya sangat ditentukan oleh kelicikan agen-agen Jerman, dimana "pasukan Kelima" yang membuka pintu negara-negara dijajah kepada tentara Jerman. Usaha tersebut ternyata berhasil, juga karena kakuatan propaganda. Pada masa meletus perang Aceh-Belanda priode ke-II (25. Desember 1884), Belanda mamakai propaganda untuk mempengaruhi opini masyarakat dunia. Misalnya: Van Sweten mengeluarkan pernyataan spektakuler: "Acheh sudah kita takluki dan kini selesailah sudah tugas berat, yang selama ini sangat mengganjal Belanda".
Untuk itu, Van Sweten nekad memberi laporan falsu kepada Ratu Belanda. Akibat pernyataan Sweten, serdadu Belanda yang berada dalam barak-barak militer di pulau Jawa berjingkrak-jingkrak kegirangan. Untuk menyambut 'kemenangan' ini, dalam benteng-benteng pertahanan Belanda di Jawa dan dalam Kraton-kraton Jawa didentumkan meriam 21 kali. Di Belanda sendiri, kabar 'kemenangan' ini dimuat pada halaman muka seluruh surat-surat kabar terkemuka, padahal yang terjadi di lapangan adalah Belanda berada dalam keadaan sekarat, terdesak oleh kekuatan tentara Acheh. Dunia internasional dan rakyat Belanda terbius dengan omongan Van Sweten, sehingga mereka memberi sokongan penuh kepada Belanda. Barulah setelah terbukti bahwa Van Sweten menipu, dia dipecat dan akhirnya dia mendirikan suatu partai politik baru untuk melawan kebijaksanaan Belanda di Aceh melalui Parlemen.
Sebelum masuk ke Sumatera (khususnya ke Aceh April 1942), Jepang menyebar propaganda, bahwa akan membantu mengusir Belanda dari bumi Aceh. Dengan begitu, Jepang malah diundang masuk ke Aceh, dijemput oleh Said Abubakar ke Pulau Pinang, sementara kalangan Ulèëbalang dan PUSA, pimpinan Tengku Daud Beureuéh mengerahkan rakyat Acheh turun ke jalan-jalan utama yang dilalui pasukan Jepang. Sesudah beberapa bulan, barulah Jepang memulai perbuatan biadabnya. Kaum Ulèëbalang dan Ulama PUSA --si penjilat-- menjelang kemerdekaan RI tahun 1945, Jepang memakai propaganda, dengan menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Untuk itu dibentuk BPUPKI yang 90% dari 70 anggota Badan ini adalah orang Jepang. Ketika itu, politisi Indonesia (Sukarno Cs) ikut saja telunjuk Jepang. Maksudnya supaya Jepang lebih leluasa di Indonesia. Untung Jepang menyerah kepada tentara sekutu setelah kota Nagasaki dan Hirosima dibom oleh Amerika. Tapi itu, soal lain.
Jika propaganda Jepang untuk menjajah Asia Tumur Raya, lain pula dengan propaganda Sukarno. Kepada Tengku Daud Beureuéh secara pribadi Sukarno berkata: "Indonesia akan dimerdekakan sebagai negara berdasarkan Islam, oleh sebab itu orang Aceh supaya membantu saya memerdekakan Indonesia". Dengan bisikan Sukarno, Ulama Aceh: (1). Teungku Hasan Kreung Kalé, (2). Tengku Daud Beureuéh, (3). Teungku Hasbalah Indrapuri dan Tuanku Mahmud, terperangkap dalam politik Sukarno hingga mengeluarkan fatwa supaya orang Aceh mau menyabung nyawa dalam perang di tanah Jawa (perang Surabaya dan Bandung) dan kalau mati: hukumnya mati syahid. Negeri sendiri (Aceh) masih tidak menentu, pejuang Aceh menggadai nyawa untuk kepentingan orang lain. Apa kesudahannya? Indonesia dibentuk berdasarkan Pancasila.
Ramai orang Aceh mati dalam perang Surabaya yang tidak memberi manfaat apa pun kepada Aceh. Kemudian, Sukarno berpidato di Meulaboh tahun 1948. Dia bilang: "Aceh adalah daerah modal". Orang Acheh terlena dan bangga degan julukan tersebut, sampai-sampai orang Aceh mau berkorban membeli dan menyerahkan 2 Pesawat Terbang untuk kepentingan diplomasi Indonesia ke luar negeri. Bahkan ada yang membayar dengan –Obligasi– Terakhir diketahui, surat Obligasi tersebut semua musnah sewaktu meletus konflik Darul Islam di Aceh. Demikian pengakuan Teungku Mansyur, Sekretaris Teungku Daud Beureuéh kepada penulis.
Untuk menghentikan pergolakan DI-TII 1953-1961, Rezim Sukarno menjanjikan bahwa: Aceh diberi status daerah Istimewa dalam bidang: agama, pendidikan dan kebudayaan. Ternyata, sampai Tengku Daud Beure-éh mati, yang dijanjikan tidak pernah wujud. Kado "Daerah Istimewa" yang dibawa oleh Mr. Hardi ke Aceh hanya cèk kosong. Ketika Habibie berkuasa, dia bilang: ”… orang Aceh akan disantuni dengan sebaik-baiknya, akan diberikan ganti rugi kepada para korban DOM semasa rezim Suharto, akan dibangun sistem transportasi kereta Api lintasan Aceh-Lampung.” Sampai kuasanya tamat, tidak terbukti.
Ketika Abdurrahaman Wahid (Gusdur) berkuasa. Dia bilang: "Kalau di Timor Timur bisa dilaksanakan referendum, mengapa di Aceh tidak?". Di belakang layar, dia buat resep bom (Kepres No.IV/2001) untuk membunuh bangsa Acheh, bom itu diledakkan di merata tempat di Acheh. Sampai Gusdur digusur, pembantaian demi pembantaian terhadap bangsa Acheh yang berlaku. Saat kampanye PDI-P di Acheh, Megawati sambil menangis: "Kalau PDI-P menang, akan dilaksanakan referendum dan setetes darah pun tidak tumpah di Aceh". Sewaktu penjabat Wapres dan sesudah dilantik sebagai Presiden, dia berjanji: "akan memberi kado (hadiah) dalam rangka ulang tahun RI kepada rakyat Aceh". Kadonya berisi: "pasukan khusus membunuh 43 orang Aceh di Julok Peureulak", terjadi bertepatan pada hari pelantikan kabinetnya, 9. Agustus 2001.
Berselang beberapa hari kemudian dibantai lagi 9 orang (saksi utama). Kado lain ialah: UU. No 18/2001 (UU-NAD). Aceh diberi 70% dari seluruh kekayaan Aceh dan 30% untuk Pusat selama delapan tahun. Setelah itu, 50%, untuk Aceh, untuk pusat 50%. Kado ketiga memberlakukan Kepres No. 19/2003, Aceh dinyatakan sebagai wilayah Darurat Militer di Aceh (priode 2003-2004), yang mengorbankan ribuan orang Aceh mati. Ingat, "Suatu bangsa tidak akan mati karena menginsafi kesalahan yang pernah diperbuatnya dan suatu bangsa akan mati jika mengulangi kembali kesilapan yang pernah dibuatnya" (Van Sweten). Wallahu'aklam bissawab![]
[Media Kutaraja, 09/09/2001]
PROPAGANDA pada gilirannya dipandang sebagai suatu disiplin ilmu perang dan diakui oleh para ahli sejarah sebagai salah satu alat ampuh memenangi suatu peperangan, setidak-tidak dengan cara ini kurang resiko, murah biaya dan hasilnya mengagumkan. Betapa tidak, sejak dari tahun 1480 hingga tahun 1977, sudah terjadi kira-kira 2.610 peperangan besar di atas dunia yang kita huni ini. Peperangan tersebut telah menyeret negara-negara Eropa, Amerika, Jepang dan termasuk Aceh, Papua dan Republik Maluku Selatan. Dari angka tersebut Perancis terlibat 47%; Austria-Hongaria 34%; Jerman 25%; Inggeris 25%; Turki 15%; Sepanyol 12% dan Belanda 8%.
Khususnya Belanda, telah terlibat dalam perang paling dahsyat dan paling lama dalam sejarahnya Belanda ialah: perang melawan Aceh, dari tahun 1873-1942. Ternyata sebagian besar yang keluar sebagai pemenang dalam perang tersebut diperoleh karena kekuatan Propaganda. Ketika meletus Perang Dunia ke-I tahun 1914-18, Presiden Wilson dari Amerika Serikat berjanji akan memberikan hak untuk menentukan nasib diri-sendiri (self determination) bagi bangsa-bangsa Eropa Timur, yang saat itu dijajah Austria-Hongaria, Jerman dan Turki. Para ahli sejarah sudah sepakat mengatakan bahwa kemenangan pihak tentara Sekutu dalam perang Dunia ke-I adalah karena propaganda.
Begitu pula sebelum mencapai klimaks Perang Dunia ke-II tahun 1945, kemenangan Jerman di Scandinavia, Belanda, Belgia, Perancis dan di negara-negara Balkan, dalam realitasnya sangat ditentukan oleh kelicikan agen-agen Jerman, dimana "pasukan Kelima" yang membuka pintu negara-negara dijajah kepada tentara Jerman. Usaha tersebut ternyata berhasil, juga karena kakuatan propaganda. Pada masa meletus perang Aceh-Belanda priode ke-II (25. Desember 1884), Belanda mamakai propaganda untuk mempengaruhi opini masyarakat dunia. Misalnya: Van Sweten mengeluarkan pernyataan spektakuler: "Acheh sudah kita takluki dan kini selesailah sudah tugas berat, yang selama ini sangat mengganjal Belanda".
Untuk itu, Van Sweten nekad memberi laporan falsu kepada Ratu Belanda. Akibat pernyataan Sweten, serdadu Belanda yang berada dalam barak-barak militer di pulau Jawa berjingkrak-jingkrak kegirangan. Untuk menyambut 'kemenangan' ini, dalam benteng-benteng pertahanan Belanda di Jawa dan dalam Kraton-kraton Jawa didentumkan meriam 21 kali. Di Belanda sendiri, kabar 'kemenangan' ini dimuat pada halaman muka seluruh surat-surat kabar terkemuka, padahal yang terjadi di lapangan adalah Belanda berada dalam keadaan sekarat, terdesak oleh kekuatan tentara Acheh. Dunia internasional dan rakyat Belanda terbius dengan omongan Van Sweten, sehingga mereka memberi sokongan penuh kepada Belanda. Barulah setelah terbukti bahwa Van Sweten menipu, dia dipecat dan akhirnya dia mendirikan suatu partai politik baru untuk melawan kebijaksanaan Belanda di Aceh melalui Parlemen.
Sebelum masuk ke Sumatera (khususnya ke Aceh April 1942), Jepang menyebar propaganda, bahwa akan membantu mengusir Belanda dari bumi Aceh. Dengan begitu, Jepang malah diundang masuk ke Aceh, dijemput oleh Said Abubakar ke Pulau Pinang, sementara kalangan Ulèëbalang dan PUSA, pimpinan Tengku Daud Beureuéh mengerahkan rakyat Acheh turun ke jalan-jalan utama yang dilalui pasukan Jepang. Sesudah beberapa bulan, barulah Jepang memulai perbuatan biadabnya. Kaum Ulèëbalang dan Ulama PUSA --si penjilat-- menjelang kemerdekaan RI tahun 1945, Jepang memakai propaganda, dengan menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Untuk itu dibentuk BPUPKI yang 90% dari 70 anggota Badan ini adalah orang Jepang. Ketika itu, politisi Indonesia (Sukarno Cs) ikut saja telunjuk Jepang. Maksudnya supaya Jepang lebih leluasa di Indonesia. Untung Jepang menyerah kepada tentara sekutu setelah kota Nagasaki dan Hirosima dibom oleh Amerika. Tapi itu, soal lain.
Jika propaganda Jepang untuk menjajah Asia Tumur Raya, lain pula dengan propaganda Sukarno. Kepada Tengku Daud Beureuéh secara pribadi Sukarno berkata: "Indonesia akan dimerdekakan sebagai negara berdasarkan Islam, oleh sebab itu orang Aceh supaya membantu saya memerdekakan Indonesia". Dengan bisikan Sukarno, Ulama Aceh: (1). Teungku Hasan Kreung Kalé, (2). Tengku Daud Beureuéh, (3). Teungku Hasbalah Indrapuri dan Tuanku Mahmud, terperangkap dalam politik Sukarno hingga mengeluarkan fatwa supaya orang Aceh mau menyabung nyawa dalam perang di tanah Jawa (perang Surabaya dan Bandung) dan kalau mati: hukumnya mati syahid. Negeri sendiri (Aceh) masih tidak menentu, pejuang Aceh menggadai nyawa untuk kepentingan orang lain. Apa kesudahannya? Indonesia dibentuk berdasarkan Pancasila.
Ramai orang Aceh mati dalam perang Surabaya yang tidak memberi manfaat apa pun kepada Aceh. Kemudian, Sukarno berpidato di Meulaboh tahun 1948. Dia bilang: "Aceh adalah daerah modal". Orang Acheh terlena dan bangga degan julukan tersebut, sampai-sampai orang Aceh mau berkorban membeli dan menyerahkan 2 Pesawat Terbang untuk kepentingan diplomasi Indonesia ke luar negeri. Bahkan ada yang membayar dengan –Obligasi– Terakhir diketahui, surat Obligasi tersebut semua musnah sewaktu meletus konflik Darul Islam di Aceh. Demikian pengakuan Teungku Mansyur, Sekretaris Teungku Daud Beureuéh kepada penulis.
Untuk menghentikan pergolakan DI-TII 1953-1961, Rezim Sukarno menjanjikan bahwa: Aceh diberi status daerah Istimewa dalam bidang: agama, pendidikan dan kebudayaan. Ternyata, sampai Tengku Daud Beure-éh mati, yang dijanjikan tidak pernah wujud. Kado "Daerah Istimewa" yang dibawa oleh Mr. Hardi ke Aceh hanya cèk kosong. Ketika Habibie berkuasa, dia bilang: ”… orang Aceh akan disantuni dengan sebaik-baiknya, akan diberikan ganti rugi kepada para korban DOM semasa rezim Suharto, akan dibangun sistem transportasi kereta Api lintasan Aceh-Lampung.” Sampai kuasanya tamat, tidak terbukti.
Ketika Abdurrahaman Wahid (Gusdur) berkuasa. Dia bilang: "Kalau di Timor Timur bisa dilaksanakan referendum, mengapa di Aceh tidak?". Di belakang layar, dia buat resep bom (Kepres No.IV/2001) untuk membunuh bangsa Acheh, bom itu diledakkan di merata tempat di Acheh. Sampai Gusdur digusur, pembantaian demi pembantaian terhadap bangsa Acheh yang berlaku. Saat kampanye PDI-P di Acheh, Megawati sambil menangis: "Kalau PDI-P menang, akan dilaksanakan referendum dan setetes darah pun tidak tumpah di Aceh". Sewaktu penjabat Wapres dan sesudah dilantik sebagai Presiden, dia berjanji: "akan memberi kado (hadiah) dalam rangka ulang tahun RI kepada rakyat Aceh". Kadonya berisi: "pasukan khusus membunuh 43 orang Aceh di Julok Peureulak", terjadi bertepatan pada hari pelantikan kabinetnya, 9. Agustus 2001.
Berselang beberapa hari kemudian dibantai lagi 9 orang (saksi utama). Kado lain ialah: UU. No 18/2001 (UU-NAD). Aceh diberi 70% dari seluruh kekayaan Aceh dan 30% untuk Pusat selama delapan tahun. Setelah itu, 50%, untuk Aceh, untuk pusat 50%. Kado ketiga memberlakukan Kepres No. 19/2003, Aceh dinyatakan sebagai wilayah Darurat Militer di Aceh (priode 2003-2004), yang mengorbankan ribuan orang Aceh mati. Ingat, "Suatu bangsa tidak akan mati karena menginsafi kesalahan yang pernah diperbuatnya dan suatu bangsa akan mati jika mengulangi kembali kesilapan yang pernah dibuatnya" (Van Sweten). Wallahu'aklam bissawab![]
[Media Kutaraja, 09/09/2001]