Saturday, June 6, 2009

Musim “Stockholm syndrome”

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

ISTILAH “Stockholm syndrome” muncul pertama dalam sejarah psychology modern, setelah peristiwa perampokan bersenjata yang dilakukan oleh Jan Erik Olson, dengan menyandera pegawai “Kreditbanken” di jantung kota Stockholm selama enam hari (tgl. 23 - 28/08/1973). Belum setengah jam setelah kejadian, Polisi Swedia mengepung. Olson menembak seorang anggota Polisi yang merambah masuk. Anggota polisi yang luka tembak diselamatkan, sementara itu, para sandera diperintahkan duduk di kursi dan Olson menyanyikan lagu “Lonesome Cowboy” guna menghiburnya.
Ulah penyandera bikin pihak berkuasa dan Polisi geram dan marah, apalagi Olson menelefon Perdana Menteri Swedia, Olof Palme, yang nadanya mengancam akan membunuh semua sandera sambil mendengarkan suara jeritan, kalau tuntutannya tidak dipenuhi. Olof Palme sempat menyatakan rasa kesalnya atas sikap Polisi yang dinilai kurang agresif yang seolah-olah membiarkan perampok bebas dan para sandera menderita.

Padahal sesungguhnya, Polisi sedang menyususn taktik dan negosisasi dengan penyandera dengan maksud mengelak terjadi kontak senjata dan korban jiwa.
Dalam rentang enam hari itu, yang dihadapi serentak oleh penyandera ialah Penguasa, Polisi serta para sandera. Olson berhasil membangun rasa persahabatan -musuh yang mesti dimusuhi- saling percaya, mengubur kebencian dan merapatkan emosinya dengan para sandera. Hubungan emosi yang diciptakan Olson tak ubahnya seperti “emosi atau naluri anak baru lahir untuk membentuk suatu emosi yang akrab dengan orang dewasa, saling mengenal dan menghargai.” Frank M. Ochberg & David A. Soskis. “Victims of Terrorism”. Boulder Colorado: Westview Press, 1982. Penampilannya intelek, prilakunya menarik dan dalam situasi yang genting, Olson menyanyikan lagu Roberta Flack’s berjudul: “Killing Me Softly” yang membuat para sandera merasa kagum dan simpatik kepadanya. Pada 26. Agustus, Polisi coba melobangi dinding dengan perkiraan bisa menditeksi posisi sandera dan penyandera, tapi gagal.

Pada 28 Agustus, dalam pembicaraannya dengan Perdana Menteri Swedia, Olson mengancam membunuh para sandera dengan memakai gas. Dia menyandera 4 orang dalam bilik jerjak besi dan meminta tebusan supaya rekannya (Clark Olofson yang meringkuk dalam penjara), dihantar ke sana dengan membawa uang tiga million Kronor ($730,000 US 1973), dua pucuk senjata lengkap dengan peluru, pakaian tahan peluru dan mobil cepat. Bagaimana pun, atas izin dari pihak Penguasa dan Dinas inteligen, Olofson akhirnya diangkut dan masuk Bank bersama beberapa personil Polisi sebagai negosiator. Olson dan Olofson menghalangi Polisi merapat ke ruang jerjak besi, tempat 4 orang sandera. Juru runding setuju memenuhi semua perintah Olson, termasuk memberi sebuah mobil cepat untuk melarikan diri, tapi tidak mengizinkan membawa serta 4 orang sandera, jika mau selamat. Satu jam setengah kemudian mereka menyerah.
Kristin Enmark, seorang sandera mengaku bahwa mereka merasa lebih terjamin dan selamat bersama Olson dan Olofson.

Rasa simpatik, bukan saja diperlihatkan selama disekap enam hari, melainkan juga di luar, sesudah mereka bebas. Para sandera sering mengunjungi, mengirim kartu ulang tahun, mengantar makanan ke Penjara. Selama 10 tahun meringkuk dalam Penjara, Olson banyak menerima surat simpatik dari wanita-wanita yang pernah dikenalnya selama ini, bahkan berjanji kepada salah seorang, bila sampai saatnya nanti, akan mengajaknya untuk melakukan ‘unlawful activities’. Kristin Enmark berjumpa dan menganggap bekas penyanderannya itu sebagai teman akrab dan menyatu dalam famili Kristin Enmark. Semua ini Olson lakukan, berkat inspirasi dari film Norrmalmstorg, dibintangi oleh Håkan Lindhé yang disiarkan TV Swedia pada August 29, 2003.

Inti dari “Stockholm syndrome” ialah: gejala atau perubahan prilaku jiwa orang-orang yang disandera, dirampas kemerdekaannya, dizalimi, diteror dan trauma berubah secara ektreem dari rasa membenci menjadi cinta dan simpatik kepada penyandera mereka. “Unsur yang paling penting dalam “Stockholm Syndrome” ialah: tidak didapatinya perkataan kasar dan penjagaan ketat dari penyandera, sehingga lebih mudah dimengerti, mengapa ada sokongan para sandera, cinta dan merasa saling ketergantungan sesama mereka. Setiap syndrome mempunyai beberapa gejala, tapi “Stockholm Syndrome” merupakan pengecualian.” Dr. Joseph M Carver, PhD. “Love and Stockholm Syndrome”. Korban “Stockholm syndrome” sama sekali tidak menyadari kalau mereka dalam aksi penjagaan.

Inilah yang kebanyakan terjadi dalam ‘psychologically traumatic situations’ dimana mereka tidak pernah tahu epilognya. “Stockholm Syndrome” menyertakan ikatan emosional yang dalam dan saling memerlukan.” Dee L.R. Graham, Edna Rawlings, Nelly Rimini. “The Stockholm Syndrome: Not Just For Hostages.”
Gejala (sympthom) kejiwaan ini menjadi objek menarik untuk dikaji dalam laboratorium psykology. Bayangkan saja, mereka justeru lebih takut kepada polisi yang kemungkinan menambah runyam masalah oleh sebab menggunakan pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan kasus ini. Yang tidak kurang menariknya adalah: “They clearly sympathized with their captors, which has led to academic interest in the matter.” Kata Kriminolog Nils Bejerot.

Berdasarkan analisis psycholog ini disimpulakn bahwa: Natascha Kampusch (10 tahun) yang diculik oleh Wolfgang Priklopil selama delapan tahun di Austria, menderita “Stockholm syndrome.” Dia sukar menyembunyikan rasa sedih dan simpatik kepada penculiknya yang mati bunuh diri. Begitu pula Patty Hearst, pewaris millioner, diculik oleh “Symbionese Liberation Army.” Setelah dua bulan, Patty ikut serta menyusun strategi perampokan yang dilakukan bersama. Pengacaranya gagal membela, kalau kliennya mengidap “Stockholm syndrome”. Kemudian Patty sadar dan meminta pengurangan hukuman kepada Presiden Jimmy Carter tahun 1979 dan barulah menerima pemaafan dari Presiden Bill Clinton.

“Stockholm Syndrome” bisa saja terjadi dalam lingkungan keluarga dan hubungan persahabatan. Charles T. Brusca malah lebih jauh mengaitkan dengan politik dan ideologi. “Rentang masa yang panjang, memungkinkan mereka merapatkan emosi dan rasa ‘human being’ antara para sandera dengan penyandera, terutama saat berhadapan dengan masalah politik atau ideology. Ianya bisa berubah menjadi familiar, bertukar pandangan dan sejarah mereka menentang penguasa. Sampai akhirnya percaya, bahwa penyadera itu berada pada posisi yang benar.” Charles T. Brusca “Psychological Responses to Terrorism.”

Demikianlah duduk perkaranya. Jadi, “Stockholm syndrome” merupakan suatu pengajaran penting tentang prilaku labil (multi dimensi) manusia . Apalagi jika dikaitkan dengan politik dan ideology. Rasa dendam dan kebencian terhadap seseorang atau satu kelompok, karena terbukti telah melakukan kejahatan kamusiaan yang menghancurkan martabat dan peradaban manusia, bisa bertukar menjadi idola, hormat, tempat mengadu dan simpatik kepada sipenjahat kemanusiaan itu, bahkan untuk menyatakan kesetiaannya, mereka memilih sipenjahat itu menjadi Imamnya (pemimpinnya). Sekarang, lagi musim sakit jiwa karena mengidap “Stockholm syndrome”. Hati-hati.

* Director Institute for Ethnics Civilization Research.
[Serambi Indonesia, 6/06/2009]

Artikel Terkait

2 Comments

Nice Posting.. saya tertarik dengan Opini bapak yang sering terbit di harian serambi, boleh tahu rahasianya pak...??

Rahasia nya ?????? Anda harus tau kapan waktu berpikir he he meuah cut lem