Oleh Yusra Habib Abdul Gani*
ASBABUN nuzul “Tari Guel”, bermula dari riwayat pembunuhan Bener Merie oleh Raja Linge ke-XIII. Keduanya saudara satu Ayah (Johansyah). Ibu Raja Linge ke-XIII orang Gayo asli, sementara Ibu Bener Merie adalah Putri Johor. Kronologi sejarahnya jelas, tetapi ketika alur cerita itu sampai pada bab Gajah Putih yang ditemukan sedang bersimpuh di atas pusara Bener Merie, kononnya penjelmaan dari Bener Merie, berdasarkan mimpi Sengeda (saudara kandung Bener Merie yang luput dari pembunuhan berencana ini). Mimpi Sengeda benar dan tidak perlu interpretasi. Sampai sekarang, kuburan Bener Merie masih tegak berdiri, walau pun kurang perawatan dan sejarah Gajah Putih adalah juga diakui keabsahannya. Masalahnya; kebanyakan orang Gayo sudah telanjur mempercayai, bahwa “Tari Guel” adalah wujud dari legenda: Bener Merie, Sengeda dan Gajah Putih. Kekeliruan sejarah ini perlu diluruskan.
Sebenarnya, “Tari Guel” itu adalah ‘Mesium gerak tanpa bangunan’, tempat menyimpan sejarah Gayo, agar orang tidak mudah melupakannya. Hingga sekarang, masih banyak fakta sejarah Gayo tercècèr dan disimpan dalam bentuk “kekeberen”, puisi dan pantun. Hal ini bisa dimaklumi, karena keterbatasan fasilitas pada masa itu. Imaginator menafsirkan fakta sejarah tadi ke dalam gerak “Tari Guel”. Selain daripada itu, imaginator ingin mengambarkan “aurat” orang Gayo yang tak pantang membunuh saudara sendiri, jika dirasa perlu untuk itu. Riwayat pembunuhan Bener Merie oleh saudara sedarah, bukanlah satu-satunya peristiwa dalam peradaban orang Gayo. Kisah Merah Mege (anak bungsu Muyang Mersa) membuktikan bahwa: ketika enam saudara kandungnya menunaikan niat jahat dengan mengikat dan menjatuhkan adiknya ke dalam Sumur tua dalam rimba. Dengan kuasa Allah SWT, Merah Mege selamat dan tidak jadi mati. Motif pembunuhan Merah Mege dan Bener Merie semata-mata karena khawatir kehilangan pengaruh, kuasa, irihati dan dengki. Jadi, peragaan “Tari Guel” adalah penyingkapan fakta, rahasia (aurat) orang Gayo yang sungguh memalukan, mengharukan, memilukan sekaligus peringatan.
Selebihnya, imaginator ingin menitipkan pesan-pesan kehidupan yang hanya bisa ditangkap lewat pendekatan falsafah. Artinya: salam semah dalam gerak “Munatap”, “Redep”, “Ketibung”, “Kepur Nunguk”, “Sènèng Lintah”, “Sèngkèr Kalang” dan “Cincang Nangka”, selain menyinggung aspek sejarah, juga mengandung falsafah moral, eksistensialisme, humanisme, realisme, futurisme, sekaligus menghubungkannya dengan emosional, romantika, dinamika dan problematika kehidupan orang Gayo itu sendiri. Gerak “Munatap” menggambarkan eksistensi diri dan kesadaran, di mana Gajah Putih yang enggan bergeming (bersimpuh) sadar sambil menatap realitas yang asing. Eksistensi diri dan kesadaran tadi mengkristal, setelah dirangsang oleh Sengeda dengan gerak diiringi irama, yang kemudian disebut “Tari Guel” (“Tari berirama”), agar Gajah Putih bangkit bersaksi; merubah diam menjadi aksi; memecah kebekuan jiwa agar larut dan menyatu dalam kemajmukan nilai-nilai; membangunkan kematian menjadi hidup dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Pada tahap gerak “Munatap”, yang dituntut hanya kesadaran diri, pengakuan dan pengenalan secara menyeluruh. Hal ini berhubung langsung dengan karakteristik orang Gayo, pada umumnya baru sadar dan beraksi setelah dirangsang terlebih dahulu.
Dalam gerak “Redep”, bahu dan tangan bergerak lentur dan bervariasi. Jari-jemari penari sesekali terbenam dalam lipatan “Opoh Ulen-ulen”. Tahap ini adalah proses belajar, meniru dan berpikir. Di sini, gerak dan irama yang dimainkan lebih cepat, walau tidak terlalu lama. Ini mengajarkan: berpikir dan gerak cepat jika mau dapat dan selamat. Gerak “Redep” lewat dan segera menuju ke gerak lain, yakni: gerak “Ketibung”, yang ditandai dengan hentakan kedua kaki berkali-kali secara bergantian ke bumi; mengangkat dan menurunkan atau memutar-mutar kedua tangan, dikombinasi dengan sorotan mata yang tajam. Inilah tahap pengetahuan dan pemahaman, di mana manusia berhadapan dengan dua pilihan: menginjak atau diinjak: membunuh atau dibunuh; Tuan atau budak; menguasai atau dikuasai (penguasa atau hamba). Kata: “ketibung” dalam bahasa Gayo, lazimnya dipakai bagi gadis-gadis yang mandi di kolam atau di sungai, membunyikan air dengan kedua tangannya; yang dalam tari ini diisyaratkan dengan variasi gerak tangan dan kaki, sebagai refleksi dari gelora pikiran dan luahan jiwa. Itu pula alasannya, hingga dalam sastera Gayo, gejolak hati kerap digambarkan dalam lirik: “berketibung iwanni jantung, berjunté iwanni até” (“bergejolak dalam jantung, bersemi dalam hati”).
Gerak “Kepur nunguk”, yang mengepak-ngepakkan “Opoh Ulen-ulen”, sambil berputar-putar, maju dan mundur. Gerakannya sangat agresif dan menantang. Tahap ini menggambarkan proses klarifikasi masalah, yang menuntut semua anasir atau “debu-debu” yang menodai supaya disingkirkan. Artinya: tangan siapa sih yang tidak kotor? Tangan kita telah mengotori negara, maruah bangsa, budaya dan bahasa. [Kata: “kepur” dalam bahasa Gayo berarti mengusir debu-debu (kotoran) yang melekat pada kain atau tikar dengan tangan, bukan dengan penyapu. Mengapa? Sebab tangan mempunyai konotasi kekuasaan yang bisa merubah, memperbaiki atau menjahannamkan.
Gerak “Sènèng Lintah” atau “Sèngkèr Kalang”, yang geraknya menggelepar, memiringkan tubuh bagaikan gerak burung Elang yang mau menyambar mangsa. Inilah gerak burung Elang yang terbang melayang, melingkar dan menukik dengan memiringkan badan untuk melihat dan memastikan posisi mangsa atau gerak lintah yang meliuk-liuk dalam air yang berarti: masalah mesti di lihat bukan dari satu arah saja, tetapi didekati dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Kata “Sènèng” dan “Sèngkèr” dalam bahasa Gayo bermakna: melirik atau memantau dengan gerak miring. Gerak ini menggambarkan tahap/peringkat aksi, cermat, konsentrasi dan terarah.
Gerak “Cincang Nangka” merupakan rangkaian terakhir, aksi memasukkan diri ke dalam kemajemukan. Yang berarti: makna individu larut dalam kebersamaan. Yang dituntut bukan lagi keserasian gerak, melainkan penyatuan perasaan dan emosi. Tahap ini menunjukkan bahwa apa pun masalah, mesti diselesaikan dengan mengikut sertakan orang lain.
“Tari Guel”, yang dimainkan tanpa syair oleh penari tunggal diiringi irama (menabuh) Canang dan Gong, sarat dengan nilai-nila kehidupan. Ianya, dipersembahkan dalam upacara perkawinan atau menyambut tetamu agung. Sebab inilah peluang terbaik untuk menyingkap segala-galanya, mendo’akan agar bahagia dan sejahtera, yang disimbulkan dengan menabur beras-padi dan air tepung tawar oleh Pengulu Mungkur. Persembahan tari ini kepada tamu asing, hanya sekedar ingin memperlihatkan ‘inilah Gayo’ yang suka berkata: “Yang penting iman kita mesti kuat dan menjaga adat nenek moyang” dan “Adat-istidat adalah pagarnya agama”. Jadi, “Tari Guel” boleh juga dikatakan sebagai “talqin”, agar orang Gayo terangsang, bergairah dan berani bangkit bersaksi atas nama kebenaran sejarah, jika tidak ingin mampus martabat dan maruahmu.
* Director Institute for Ethnics Civilization Research.
[Serambi Indonesia, 21 June 2009]
Sebenarnya, “Tari Guel” itu adalah ‘Mesium gerak tanpa bangunan’, tempat menyimpan sejarah Gayo, agar orang tidak mudah melupakannya. Hingga sekarang, masih banyak fakta sejarah Gayo tercècèr dan disimpan dalam bentuk “kekeberen”, puisi dan pantun. Hal ini bisa dimaklumi, karena keterbatasan fasilitas pada masa itu. Imaginator menafsirkan fakta sejarah tadi ke dalam gerak “Tari Guel”. Selain daripada itu, imaginator ingin mengambarkan “aurat” orang Gayo yang tak pantang membunuh saudara sendiri, jika dirasa perlu untuk itu. Riwayat pembunuhan Bener Merie oleh saudara sedarah, bukanlah satu-satunya peristiwa dalam peradaban orang Gayo. Kisah Merah Mege (anak bungsu Muyang Mersa) membuktikan bahwa: ketika enam saudara kandungnya menunaikan niat jahat dengan mengikat dan menjatuhkan adiknya ke dalam Sumur tua dalam rimba. Dengan kuasa Allah SWT, Merah Mege selamat dan tidak jadi mati. Motif pembunuhan Merah Mege dan Bener Merie semata-mata karena khawatir kehilangan pengaruh, kuasa, irihati dan dengki. Jadi, peragaan “Tari Guel” adalah penyingkapan fakta, rahasia (aurat) orang Gayo yang sungguh memalukan, mengharukan, memilukan sekaligus peringatan.
Selebihnya, imaginator ingin menitipkan pesan-pesan kehidupan yang hanya bisa ditangkap lewat pendekatan falsafah. Artinya: salam semah dalam gerak “Munatap”, “Redep”, “Ketibung”, “Kepur Nunguk”, “Sènèng Lintah”, “Sèngkèr Kalang” dan “Cincang Nangka”, selain menyinggung aspek sejarah, juga mengandung falsafah moral, eksistensialisme, humanisme, realisme, futurisme, sekaligus menghubungkannya dengan emosional, romantika, dinamika dan problematika kehidupan orang Gayo itu sendiri. Gerak “Munatap” menggambarkan eksistensi diri dan kesadaran, di mana Gajah Putih yang enggan bergeming (bersimpuh) sadar sambil menatap realitas yang asing. Eksistensi diri dan kesadaran tadi mengkristal, setelah dirangsang oleh Sengeda dengan gerak diiringi irama, yang kemudian disebut “Tari Guel” (“Tari berirama”), agar Gajah Putih bangkit bersaksi; merubah diam menjadi aksi; memecah kebekuan jiwa agar larut dan menyatu dalam kemajmukan nilai-nilai; membangunkan kematian menjadi hidup dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Pada tahap gerak “Munatap”, yang dituntut hanya kesadaran diri, pengakuan dan pengenalan secara menyeluruh. Hal ini berhubung langsung dengan karakteristik orang Gayo, pada umumnya baru sadar dan beraksi setelah dirangsang terlebih dahulu.
Dalam gerak “Redep”, bahu dan tangan bergerak lentur dan bervariasi. Jari-jemari penari sesekali terbenam dalam lipatan “Opoh Ulen-ulen”. Tahap ini adalah proses belajar, meniru dan berpikir. Di sini, gerak dan irama yang dimainkan lebih cepat, walau tidak terlalu lama. Ini mengajarkan: berpikir dan gerak cepat jika mau dapat dan selamat. Gerak “Redep” lewat dan segera menuju ke gerak lain, yakni: gerak “Ketibung”, yang ditandai dengan hentakan kedua kaki berkali-kali secara bergantian ke bumi; mengangkat dan menurunkan atau memutar-mutar kedua tangan, dikombinasi dengan sorotan mata yang tajam. Inilah tahap pengetahuan dan pemahaman, di mana manusia berhadapan dengan dua pilihan: menginjak atau diinjak: membunuh atau dibunuh; Tuan atau budak; menguasai atau dikuasai (penguasa atau hamba). Kata: “ketibung” dalam bahasa Gayo, lazimnya dipakai bagi gadis-gadis yang mandi di kolam atau di sungai, membunyikan air dengan kedua tangannya; yang dalam tari ini diisyaratkan dengan variasi gerak tangan dan kaki, sebagai refleksi dari gelora pikiran dan luahan jiwa. Itu pula alasannya, hingga dalam sastera Gayo, gejolak hati kerap digambarkan dalam lirik: “berketibung iwanni jantung, berjunté iwanni até” (“bergejolak dalam jantung, bersemi dalam hati”).
Gerak “Kepur nunguk”, yang mengepak-ngepakkan “Opoh Ulen-ulen”, sambil berputar-putar, maju dan mundur. Gerakannya sangat agresif dan menantang. Tahap ini menggambarkan proses klarifikasi masalah, yang menuntut semua anasir atau “debu-debu” yang menodai supaya disingkirkan. Artinya: tangan siapa sih yang tidak kotor? Tangan kita telah mengotori negara, maruah bangsa, budaya dan bahasa. [Kata: “kepur” dalam bahasa Gayo berarti mengusir debu-debu (kotoran) yang melekat pada kain atau tikar dengan tangan, bukan dengan penyapu. Mengapa? Sebab tangan mempunyai konotasi kekuasaan yang bisa merubah, memperbaiki atau menjahannamkan.
Gerak “Sènèng Lintah” atau “Sèngkèr Kalang”, yang geraknya menggelepar, memiringkan tubuh bagaikan gerak burung Elang yang mau menyambar mangsa. Inilah gerak burung Elang yang terbang melayang, melingkar dan menukik dengan memiringkan badan untuk melihat dan memastikan posisi mangsa atau gerak lintah yang meliuk-liuk dalam air yang berarti: masalah mesti di lihat bukan dari satu arah saja, tetapi didekati dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Kata “Sènèng” dan “Sèngkèr” dalam bahasa Gayo bermakna: melirik atau memantau dengan gerak miring. Gerak ini menggambarkan tahap/peringkat aksi, cermat, konsentrasi dan terarah.
Gerak “Cincang Nangka” merupakan rangkaian terakhir, aksi memasukkan diri ke dalam kemajemukan. Yang berarti: makna individu larut dalam kebersamaan. Yang dituntut bukan lagi keserasian gerak, melainkan penyatuan perasaan dan emosi. Tahap ini menunjukkan bahwa apa pun masalah, mesti diselesaikan dengan mengikut sertakan orang lain.
“Tari Guel”, yang dimainkan tanpa syair oleh penari tunggal diiringi irama (menabuh) Canang dan Gong, sarat dengan nilai-nila kehidupan. Ianya, dipersembahkan dalam upacara perkawinan atau menyambut tetamu agung. Sebab inilah peluang terbaik untuk menyingkap segala-galanya, mendo’akan agar bahagia dan sejahtera, yang disimbulkan dengan menabur beras-padi dan air tepung tawar oleh Pengulu Mungkur. Persembahan tari ini kepada tamu asing, hanya sekedar ingin memperlihatkan ‘inilah Gayo’ yang suka berkata: “Yang penting iman kita mesti kuat dan menjaga adat nenek moyang” dan “Adat-istidat adalah pagarnya agama”. Jadi, “Tari Guel” boleh juga dikatakan sebagai “talqin”, agar orang Gayo terangsang, bergairah dan berani bangkit bersaksi atas nama kebenaran sejarah, jika tidak ingin mampus martabat dan maruahmu.
* Director Institute for Ethnics Civilization Research.
[Serambi Indonesia, 21 June 2009]