[Pengakuan Yusuf Abdul Jalil, Kèm Lenggeng].
USUL Abdul Gani (Apa Gani) dan Abu Makam untuk tidak makan malam, diterima secara aklamasi. Ternyata benar, tahanan asal Pakistan, Ruhingya dan Bangladesh di blok A dan B, yang lebih awal mendapat jatah makan malam, semua pingsan karena makanan dibubuh racun. Mukhtar, satu-satunya orang Aceh yang diam-diam ikut makan malam, turut pingsan. Beberapa menit sebelum dinding kawat berduri diterobos [jam: 21.00], Blok C terbakar, tapi berhasil dipadamkan oleh tahanan lain. Mukhtar, yang masih dalam keadaan setengah sadar, terpaksa dipanggul oleh Usman Tiro untuk melewati kawat berduri dan Abu Bakar (72 tahun) tersangkut di kawat, setelah ditarik beberapa orang baru selamat. Ratusan orang dalam rimba Karèt Lenggeng, masing-masing membentuk group.
Misalnya: ”Kompi” Yusuf Abdul Jalil [sekarang menetap di USA] beranggota: Muhammad, Salman, Hamid, Bustami dan Mukhlis, sampai pagi berputar-putar di kawasan kebun Karét. Pagi harinya (27/03/1998), hendak merapat ke perkampungan, tetapi dari semak-belukar nampak militer Malaysia dengan senjata berjaga-jaga. Akhirnya mereka berselimut lumut gambut tebal selama setengah hari. Kemudian, Yusuf berkata: “Biasanya antara jam: 12.00-13.30 aparat keamanan isterahat makan siang. Masa ini kita manfaatkan untuk merambah masuk bandar Lenggeng.” Semua anggota meng-amiiini! Mereka coba masuk. Di persimpangan jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak berusia antara (8-9 tahun), keturunan India. Katanya: ”Jangan masuk ke bandar Lenggeng, sebab ada 3 truck militer sedang meronda kota ini”. Sang komandan (yusuf) mempercaya dan mengajak kawannya berbalik arah semula ke kawasan hutan Karèt dan sembunyi sampai malam hari tanpa makanan.
Menjelang magrib, pasukan ini coba lagi menerobos kampung. Lagi-lagi mereka sesat –berputar-putar– sepanjang malam dalam kawasan kebun Karèt. Pada 28/03/1998, sepanjang hari dalam rimba, makan buah Nangka mentah dan Gelima, sambil terus meredah belantara. Tanpa disadari, jam: 21.00 sudah tiba di Berandang. Di sinilah berjumpa dengan seorang pemuda asal Flores, bekerja sebagai buruh bangunan.
Pemuda tadi mengisahkan bahwa ada orang Aceh bernama Marzuki di kampung ini. Mereka pun bergegas menjumpainya. Gayung bersambut: Marzuki ternyata mendapat tugas menyelamatkan orang Aceh dari kèm Lenggeng.
Setelah bermalam di sini, keesokan harinya, Marzuki menghubungi Muzakkir Manaf dan Sulaiman Langsa untuk datang menjemput. Waktu itu Muzakkir barkata: ”Situasi di jalan raya yang masih ketat operasi, tidak mungkin kami selamatkan saudara siang ini. Kami akan datang lagi malam hari nanti.” Ternyata yang muncul, bukan Muzakkir Manaf, melainkan Sulaiman Langsa dan Zakarya (Zèk) dari bt-6 Gombak membawa truck. Malam itu mereka diangkut dan menginap di kediaman Zèk dan besoknya dipindahkan ke rumah Wan botak di bt-7 Gombak).
[Pengakuan Murtala Ismail, Kèm Lenggeng].
”Kompi” Murtala, yang beranggota: Abu Bakar, Iskandar, Agus, Syukri, Yusuf, Zul, Jhonny dan Din tidak kurang getirya. ”Kami, beberapa kali terserempak dengan pasukan militer Malaysia dan anjing pelacak yang memaksa kami terpencar. Malam pertama berada dalam kebun Karèt dan keesokan harinya meredah hutan. Tidak ada kompas penunjuk arah, hingga kami berputar-putar dalam kawasan hutan ini selama 5 hari. Yang lebih membebankan lagi ialah: Syukri, yang terlalu banyak makan cacing tanah menderita sakit perut. Atas alasan ini, anggota ”Kompi” dirampingkan. Murtala diberi tanggungjawab menyelamatkan Syukri.
Suatu hari, kami kepergok dengan militer Malaysia yang sedang melakukan operasi. Waktu itulah Iskandar tertembak dan sampai sekarang tidak diketahui di mana rimbanya. Beruntung, saya dan Syukri bersembunyi di bawah gambut lumut tebal. Militer Malaysia menginjak tubuh kami. Alhamdulillah, anjing pelacak gagal mencium posisi kami yang tertimbun gambut, tapi berhasil mengejar kawan-kawan yang melarikan diri. Selama sehari semalam terlena kami di bawah gambut ini, sampai dipastikan kawasan ini sudah merdeka.
Antara hari ke enam sampai duabelas, kami keluar hutan masuk kampung. Ketika tercium oleh penduduk, kami keluar kampung masuk hutan dan masuk ke kampung lain. Hari ke 12, kami sudah dekat dengan kota Kajang. Ketika itulah, saya terpaksa memaksa seorang Melayu memberi sedikit uang, demi menyambung hidup hari itu. Semoga Allah maklum dan mengampuni! Setelah kejadian itu kami menghindar ke kawasan hutan. Malamnya, kira-kira jam: 19:30 kami masuk perkampungan. Ketika itulah, saya menggaet sepasang pakaian lelaki yang dijemur di belakang rumahnya untuk persiapan pakaian menuju Kuala Lumpur esok. Hari ke-13, kami menuju Kajang dengan pakaian ”baru”. Dari Kajang naik bus menuju Kuala Lumpur dan terus ke bt-7, Sungai Cincin Gombak.”
Setelah berpeluk cium dengan kawan-kawan. Wan botak nyeletuk: ”Hai Tala, pakon bajèë droëneuh na pangkat?” Astaghfirullah, rupanya pakaian yang saya curi tadi adalah pakaian Dinas seragam Polisi Malaysia. Apakah karena tuah mengenakan pakaian Polisi hingga selamat dalam perjalanan. Hanya Allah Yang Maha Tahu.” [Hasil wawancara dengan Murtala, 16/03/2009. Jam: 19.00-20.00 waktu Scandinavia]
”Kompi” Abdul Gani (Apa Gani) dkk. Lain lagi ceritanya. Berbekal naluri yang tajam dalam perang grilya dalam hutan Aceh, mereka meredah hutan belantara Lenggeng hingga terdampar pada hari ke-empat di negeri Perak, Malaysia dan disambut hangat oleh Tengku Razak di Tiro.
[Pengakuan Mukhtar, Kèm Semenyeh]
”Sesudah blok A terbakar, kami pindah ke blok B. Situasinya sudah berubah, semua penghuni kèm bebas masuk ke semua Blok, sebab kawat penghalang antara blok sudah dirobohkan sampai ke blok penempatan tahanan wanita. Di pagi buta itu, masuk beberapa anggota pasukan FRU (Pasukan Anti Huru-hara). Terjadi perkelahian sengit satu lawan satu. Kali ini, pasukan FRU berhasil dipatahkan oleh pasukan Aceh dengan senjata alakadarnya. Kemudian disusul pasukan kedua. Saat itulah seorang anggota FRU yang berpakain besi disergap hingga meninggal. Karena kondisinya sudah tidak terkontrol, maka meletus tembakan yang menewaskan: Junaidi, Jakfar, Sofyan Tjut Malim dan Mhd. Nasir.
Setelah pasukan barani mati Aceh gugur dan bergelimpangan, barulah masuk pasukan lain memberangus pelarian Aceh. Terjadi kejar mengajar selama beberapa jam [jam: 06:00-11:00], sebab orang Aceh sudah bercampur aduk dengan tahanan non Aceh: Sabah, Bangladesh, Pakistan dan Indonesia. Apalagi wajah mereka tidak jauh berbeda. Bahkan kemudian diketahui, seorang warga Sabah turut menjadi korban penganiayaan dan diangkut sampai ke Aceh. Saya, terkena pukulan FRU di kepala bagian belakang, langsung tersungkur. Saya heran, ternyata saya masih hidup. Saya tidak tahu persis apa yang terjadi di sekeliling saya. Saat saya sadar kembali pada jam: 11: 30, keadaan kèm sudah sepi, yang terlihat Petinggi Polisi (Rahim Noor, Ketua Polis Negara Malaysia) dan pegawai pemadam kebakaran yang membersihan darah merah yang mengalir. Sebuah truck kecil menunggu. Pada jam: 12:00 tengah hari, kami: Mukhtar, Amni Ahmad Marzuki, Bukhari, Rafi, Nurdin Rasyid, Zailani, Junaidi (bukan Junaidi yang ditembak) dan beberapa orang lagi yang namanya lupa, diborgol dan baru tiba di Pelabuhan Lumut, Perak pada jam: 19: 00 soré. Rombongan kami yang terakhir sampai di sana.
Dalam kapal perang Angkatan Laut RI itu, kami lihat bang Yusuf Tjubo dkk. dari Kèm Juru, semua dalam keadaan kaki dan tangan diikat dengan rantai besi. Yang rada anèh, nampak Tengku Usman Kuta Kreung dan Adnan PM Toh (Seniman kondang Aceh). Entah untuk apa, saya tak paham. Yang satunya buat kocak, yang satu lagi baca do’a, mungkin!
Amni Ahmad Marzuki dan Yatim Usman, keduanya merintih kesakitan, akibat luka tembak di lutut yang tidak diberi pengobatan. Hanya saja Amni berhasil dipulihkan, sementara Yatim Usman terpaksa diamputasi di Rumah Sakit Lhok Seumawé.”[wawancara dengan Mukhtar, pada 17/03/2009 jam: 20:00-21:00 waktu Scandinavia]